Puisi esai:
DAYA TAHAN SEBUAH KEYAKINAN
By Denny JA
(Di Hari Raya Nowruz, Haida Mendengar Sejarah)
Tujuh belas tahun sudah usia Haida. Ia sudah melihat puluhan bulan purnama.
Malam hari, setelah perayaan Now’ruz, hari raya agama Bahai, Ayah bercerita.
Mereka hanya berdua saja.
Duduk di beranda,
ditemani angin dan sepi yang syahdu.
“Haida itu juga nama nenekmu.
Ia lahir dan hidup dewasa di Iran.
Ayah ingin kau sekuat nenekmu.
Ketika kau lahir di Jakarta,
sudah Ayah niatkan memberimu nama seperti nama nenekmu.”
Ayah menunjukkan potret di dompetnya, potret yang sudah menguning.
Apapun dompet Ayah,
foto nenek selalu di sana,
sejak Ayah masih remaja.
“Ceritakan soal nenek, Ayah, pinta Haida.
Ceritakan, mengapa Ayah sangat mengaguminya.”
Ayahpun berkisah.
“Itu tahun 50-an, di Iran, anakku.
Nenekmu masih remaja.
Ia disiksa hanya karena keyakinannya.”
“Petinggi agama resmi yang sangat keras di sana, mengancam nenek.”
“Kau boleh pilih.
Hidupmu akan terus disiksa.
Atau tinggalkan keyakinanmu.
Kembali ke agama yang benar.”
Nenekmu melihat sendiri.
Lebih dari 1000 rumah penganut Bahai dibakar.
Puluhan kaum Bahai dibunuh dengan tuduhan murtad.
Rumah ibadah Bahai dihancurkan.
Penguasa politik bersatu dengan penguasa agama.
Bersama mereka menumpas keyakinan Bahai hingga ke akar. (1)
Haida terdiam.
Ia tak mengira perkara beda keyakinan berujung pembunuhan.
Ayah terus bercerita.
Pendiri pertama agama Bahai tak hanya dipenjara.
Ia pun dibunuh di depan regu tembak.
Tak hanya satu atau dua peluru menembus kepalanya.
Itu hanya karena keyakinannya.
Pendiri kedua agama Bahai juga disiksa.
Dipenjara di tempat gelap.
Kaki hingga lehernya dirantai.
Ia diusir dari negara asal,
harus berpindah- pindah dari satu negara ke negara lain.
Itu hanya karena keyakinannya.
Di era itu, di abad 19,
lebih dari 20 ribu penganut Bahai dibantai hingga mati.
Nenekmu tahu itu semua.
Nenekmu pun terancam mati.
Itu hanya karena keyakinannya.
Tapi nenekmu adalah besi baja.
Ia tak patah.
Walau remaja, ia berkata:
“Aku tak bisa menukar keyakinanku.
Biarlah Tuhan yang nanti mengadiliku.
Dan kau bukan Tuhan.”
Nenekmu disiksa,
dipenjara.
Tapi nenekmu tetap bertahan dengan keyakinannya.
Haida kembali bertanya:
“Mengapa nenek begitu kokoh dengan keyakinannya, Ayah?
Bukankah resikonya bisa membuat nenek mati dibunuh?”
Ayahpun memeluk Haida.
Ujar Ayah: “Itulah hebatnya keyakinan anakku.
Itulah Iman.”
“Semua pendiri agama baru, menjadi musuh penguasa agama sebelumnya.
Itu hukum besi sejarah.”
“Tapi sejarah menunjukkan.
Semua keyakinan yang kuat,
terus bertahan dan menyebar.”
“Keyakinan itu lebih kuat dari ancamam bom atom.”
Haida melihat foto neneknya,
Foto yang sudah menguning.
Cahaya keluar dari foto itu.
Cahaya berubah menjadi kembang api.
Berwarna- warni di langit.
Ikut menyambut hari raya Nowruz, hari raya penganut agama Bahai.
Suara nenek seolah terdengar membisik di telinganya:
“Cucuku,
Tetaplah berlari, walau tak terlihat jalan.
Tetaplah mendaki, walau banyak jurang.
Tetaplah percaya, walau dunia menyangkal.
Tetaplah teguh, walau paku menghujam hatimu.
Itulah iman.
Itulah kesadaran terdalam.
Itulah harta hidup tertinggi.”
Rewrited, sarinah
Maret 23, 2023
(Puisi esai ini dibacakan dalam hari Raya Baha’i Nowruz di komunitas Bahai bersama Forum Esoterika, 21 Maret 2023)
GRATIS SPP SELAMA 4 TAHUN
PENERIMAAN MAHASISWA BARU
UNIVERSITAS TRIBUANA TUNGGA DEWI
UNITRI MALANG
1. Kisah persekusi agama Bahai di Iran dapat dibaca dalam laporan Amnesty International tahun 2016
Amnesty International (October 1996). “Dhabihullah Mahrami: Prisoner of Conscience”. AI INDEX: MDE 13/34/96. Retrieved 2017-05-25.