MENGGANDENG SAINS DAN JALALUDDIN RUMI
By Ahmad Gaus AF.
(Sembilan Pemikiran Denny JA Soal Agama di Era Google)
Buku berjudul Spirituality of Happiness Spiritualitas Baru Abad 21, Narasi Ilmu Pengetahuan (2020) ditulis oleh Denny JA sebagai intisari 40 tahun perjalanan spiritual dan intelektualnya.
Ia menuturkan bahwa sejak tahun 1980-an, di usia mahasiswanya, ia menjadi seorang pelancong spiritual. Aneka agama besar didalaminya: Islam, Kristen, Hindu, Budha.
Ia juga bergumul dengan ajaran Theosophy, Krishnamurti, Perennial Philosophy, Swami Vivekananda, Osho, Subud, hingga Ki Ageng Surya Mentaram.
Sebagai seorang pemikir, Denny menggabungkan perjalanan spiritualnya menyelami berbagai tradisi keimanan dan kepercayaan itu dengan tradisi sains. Ia bukan hanya menghormati apa yang dihormati oleh kaum beriman sebagai Yang Gaib, melainkan juga menaruh kepercayaan pada riset sains. Iman, selain sesuatu yang datang dari keyakinan, juga harus berbasis riset.
Sejak tahun 2000-an, Denny menekuni berbagai riset, terutama riset positive psychology. Isu terpenting dari riset ini mengenai hidup bahagia dan bermakna. Isu ini belakangan dianggap penting, hingga PBB pada tahun 2012 menerbitkan World Happiness Report (WHR), dan terus dilakukan setiap tahunnya hingga sekarang.
WHR dikeluarkan oleh Sustainable Development Solutions Network untuk PBB sebagai laporan tahunan yang dirilis menjelang Hari Kebahagiaan Sedunia setiap tanggal 20 Maret. Tujuannya adalah untuk mengetahui tingkat kebahagiaan suatu negara yang diukur berdasarkan sejumlah faktor yang telah ditetapkan sebelumnya.
Bagi Denny, World Happiness Index juga menjadi ukuran kemajuan sebuah negara. Negara hanya dianggap maju, apabila dapat membuat warga negaranya bahagia. Namun tidak cukup faktor bahagia, Denny menambahkan faktor lain yaitu hidup bermakna.
Untuk menekuni dua hal itulah ia mengaku berendam di pertemuan dua samudera: samudera spiritualitas dan samudera ilmu pengetahuan. Hasilnya ialah rangkuman intisari dan panduan hidup bahagia dan bermakna yang dirumuskan dalam Formula 3P+2S yang dikemukakan buku ini.
3P ialah: Personal Relationship, Positivity, dan Passion. Sedangkan 2S adalah: Sense of Progress plus Small Winning, dan Spiritual Blue Diamonds.
Formula itulah yang disebut sebagai spiritualitas baru. Tidak jauh berbeda dengan buku-buku Denny yang lainnya, buku ini pun mengeksplore data-data mutakhir yang relevan.
Bedanya buku ini memang secara khusus ingin menyelami samudera spiritualitas dan ilmu pengetahuan. Pada salah satu bagian penting buku ini Denny mengatakan bahwa hidup bahagia dan bermakna adalah narasi ilmu pengetahuan.
Sebuah pandangan yang cukup unik karena berbeda dengan arus besar gerakan spiritualitas dalam beberapa dekade terakhir yang cenderung skeptis terhadap ilmu pengetahuan, sebagaimana mereka skeptis pula terhadap agama formal.
Bagaimana Denny bisa mengambil arah yang berbeda dengan gerakan spiritualitas kontemporer, lazim disebut New Age, yang mendahului tesis-tesisnya? Inilah yang menarik untuk dikaji sebelum menyelami formula Denny JA tersebut.
***
Seperti sudah disebutkan di atas, Gerakan New Age cenderung skeptis terhadap nalar ilmu pengetahuan yang bersifat rasional. Pasalnya, ilmu pengetahuan rasional ditengarai tidak dapat memecahkan problem kemanusiaan yang serius seperti keterasingan, kesepian, depresi, disorientasi hidup, dan sejenisnya.
Alih-alih, ilmu pengetahuan beserta aplikasi praktisnya berupa teknologi modern justru mendorong terjadinya berbagai krisis seperti krisis lingkungan, krisis kemanusiaan (konflik bersenjatan, diskriminasi), sampai krisis eksistensial dimana banyak orang modern merasa kehilangan makna hidup.
Sejumlah ahli menengarai bahwa akar penyebabnya ialah pandangan yang melulu materialistik terhadap manusia. Padahal manusia bukan hanya makhluk fisik tapi juga makhluk spiritual.
Jika manusia semata-mata hanya memenuhi kebutuhan fisik dan mengabaikan kebutuhan spiritualnya, maka sesuatu yang serius akan terjadi pada dirinya.
Dimulai dari problem individual yang mengalami kekosongan jiwa atau diri yang hilang, kemudian semakin banyak individu lainnya yang merasakan problem yang sama, maka akan terbentuk masyarakat yang sakit secara spiritual.
Dalam kondisi seperti itu apakah manusia mencari diri mereka yang hilang itu ke pelukan agama? Ternyata, tidak lagi. Bahkan agama juga dipandang sebagai penyebab munculnya problem kemanusiaan tersebut. Sebab agama terlalu dogmatis, kaku, dan otoriter.
Sebelumnya, agama juga sudah ditentang oleh ateisme yang menganggap agama sebagai penghalang kebebasan manusia. Namun hasrat spiritual manusia tetap menggebu untuk disalurkan. Maka menjamurlah gerakan-gerakan spiritual yang ingin meninggalkan masa lalu dan membangun zaman baru yang dipenuhi cinta kasih, perdamaian, dan kebahagiaan.
Dari situlah istilah New Age (Zaman Baru) mulai popular sebagai gerakan spiritual.
Benih-benih Gerakan New Age dapat dilacak dari percobaan untuk memadukan ajaran-ajaran agama. Maksudnya, intisari terbaik dari ajaran berbagai agama diambil dan dipraktikkan oleh para pengikut gerakan ini.
Dengan keyakinan bahwa semua agama pada dasarnya merupakan saudara seiman. Setiap agama membawa satu keping kebenaran. Manusia harus meramu berbagai kebenaran itu untuk mencapai kesempurnaan.
Para pengikut gerakan ini tidak mau diasosiasikan dengan agama tertentu. Sebutan mereka ialah Masyarakat Teosofi (Theosophical Society) yang didirikan antara lain oleh Helena Petrovna Blavatsky di New York pada 1875. Inilah yang menjadi salah satu sumber dari gerakan New Age kontemporer.
Dalam buku yang sudah disebutkan di atas, Denny JA menemukan apa yang disebutnya Spiritual Blue Diamond yang tidak lain adalah intisari dari ajaran agama-agama juga.
Ia juga meyakini bahwa setiap agama dalam dirinya mengandung berlian yang tidak sepatutnya diabaikan, apalagi dijauhi atau dimusuhi hanya karena perbedaan konsep ajaran.
Nanti kita akan lihat di mana perbedaannya dengan ajaran teosofi, atau Gerakan New Age secara umum.
Mungkin anda pernah mendengar teori Psikoanalisa dari Sigmund Freud, yang menyatakan bahwa tindakan manusia didasarkan pada alam bawahnya, bukan oleh pikirannya. Karena itu dalam diri manusia ada naluri binatang.
Freud juga tidak percaya akan adanya Tuhan. Baginya Tuhan hanya gambaran dari sikap mental manusia yang lemah. Dampak dari teori ini ialah lahirnya pembenaran atas agresi manusia.
Tapi teori ini juga melahirkan lawannya, yang dicetuskan oleh murid Freud sendiri yaitu Carl Gusav Jung (1875-1961). Jung menggagas teori Psikologi Transpersonal, yang antara lain menyebutkan bahwa dalam alam bawah sadar manusia tidak hanya ada sampah, tapi juga berserakan mutiara.
Tidak hanya binatang tapi juga malaikat. Di alam bawah sadarlah terletak sumber pengetahuan dan kearifan.
Karena letaknya tersembunyi maka alam bawah sadar harus diselami atau “digali” untuk mendapatkan pengetahuan rahasia dan kearifan tersebut.
Jika anda berhasil menemukannya maka anda mencapai Pencerahan. Inilah salah satu kata kunci Gerakan New Age. Untuk mencapai Pemcerahan itu mereka melakukan meditasi, yoga, taichi, dsb. Tidak heran apabila kursus-kursus dan pelatihan yoga, meditasi, pernapasan, kesehatan holistic, menjamur di mana-mana dengan peserta yang membludak.
Sadar atau tidak mereka tengah berada dalam pusaran Gerakan New Age.
Mengapa hal itu terjadi? Karena memang gerakan New Age disebarkan melalui kebudayaan popular seperti musik dan fesyen, seperti yang dikatakan oleh David Spangler, salah saorang tokohnya.
Spangler bahkan menulis sejumlah buku sebagai pegangan gerakan ini seperti The Birth of New Age, Emergence, The Rebirth of the Sacred, dll.
Beberapa buku lain yang mewakili pandangan New Age juga dengan mudah ditemukan d toko-toko buku dalam dua puluh tahun terakhir. Sebut saja misalnya, The Power of Blessing, Unlimited the Potency of the Brain, Spiritual Company, The Secret (Rhonda Byrne) The Third Jesus (Depaak Chopra) dll.
Popularitas gerakan “New Age” semakin menonjol pada 1980- an dengan munculnya “New Age Journal”, buku New Age Politics karya Mark Satin, dan mencapai puncaknya para karya Marilyn Ferguson berjudul Aquarian Conspiracy dan karya Shirley MacLaine berjudul Out On a Limb. Buku Ferguson berisi filsafat Gerakan New Age dan sekaligus agenda sosialnya.
Sementara buku MacLaine mengisahkan pengalamannya merasakan mati suri dan berinteraksi dengan makhluk alam gaib. Dalam buku yang lain, Dancing in the Light, Shirley MacLaine memaparkan pengalamannya bereinkarnasi dan mampu mengingat kembali kehidupan sebelumnya.
Dalam peristiwa itu ia bertemu dengan Roh yang mengatakan bahwa setiap individu adalah allah. Pemerhati Gerakan New Age, Russell Chandler, dalam buku Understanding The New Age, menyatakan bahwa Shirley MacLaine adalah pendeta tinggi dari gerakan ini.
Sementara buku Ferguson disebut sebagai ‘kitab suci’ Gerakan New Age.
Melalui karya-karya itu New Age menjadi popular dan merambah dunia musik, fashion, kesehatan, pelatihan psikologi, pelatihan energi spiritual, dan pelatihan motivasi.
-000-
Maka kita mengenal ada new age music, new age shoes, new age fashion, dll. Di Indonesia pun kita mengenal buku-buku bernapaskan New Age hasil terjemahan seperti Super Cerdas dengan Aktivasi Otak Tengah, Revolusi IQ/EQ/ SQ. Termasuk buku-buku yang berhubungan dengan hypnoparenting dan hypnotherapy.
Juga berbagai pelatihan seperti body-mind-soul for success, forgiveness teraphy, self healing, dan Neurolinguistic Programing (NLP) yang sangat popular itu.
Tema-tema kesehatan menjadi fokus penting dalam gerakan spiritual New Age karena pandangan mereka bahwa manusia menderita suatu penyakit karena pola hidup yang tidak menjaga keseimbangan.
New Age mengusung gagasan kesehatan holistik, yang belakangan mulai dirujuk oleh dunia medis modern. Menurut mereka, manusia adalah satu kesatuan antara tubuh, jiwa, dan roh.
Memisahkan ketiganya sama dengan memecahkan diri manusia menjadi satuan-satuan yang kosong tanpa makna. Memisahkan ketiganya akan membawa penderitaan dan membuat manusia sakit.
Pandangan ini sebenarnya sama belaka dengan ajaran agama, seperti Islam, yang memandang manusia sebagai susunan dari jasmani (badan), ruhani (ruh) dan nafsani (jiwa).
Lalu mengapa gerakan spiritual yang menolak agama formal ini justru mengadopsi ajaran agama? Sebenarnya tidak heran, sebab asal usul Gerakan New Age memang percobaan untuk menyerap intisari agama- agama. Dan ketika intisarinya didapat, agama ditinggalkan.
Bahkan ada ajaran New Age yang menyerupai ajaran tasawuf, seperti uzlah yakni memisahkan diri dari kehidupan dunia untuk menyucikan diri, seperri yang diintroduksi oleh David Spangler dalam buku-bukunya yang sudah disebutkan di atas.
Gagasan New Age tentang kesehatan holistik sebenarnya juga tidak orisinal. Dalam Taoisme, misalnya, kita mengenal konsep kesalingan di mana satu unsur di dalam diri manusia dan di alam semesta melengkapi unsur yang lainnya.
Mereka berhubungan dan saling membangun satu sama lain secara padu mengikuti gerak irama semesta yang harmonis. Kesehatan holistik yang dikembangkan dari filosofi ini mengandung ajaran bahwa sehat itu artinya harmonis, seimbang antara tubuh, ruh, dan jiwa. Dan sebaliknya sakit, atau penyakit, dipandang sebagai kondisi ketidakseimbangan atau penyimpangan dari harmoni alam semesta. Jadi, sakit bukan gejala fisik.
Walhasil, gerakan spiritual New Age mengembangkan kesehatan holistik dengan menghidupkan Energi Ruhani (dalam agama-agama disebut Tuhan) di dalam diri sehingga kebutuhan manusia akan spiritualitas terpenuhi.
Gerakan spiritual New Age memercayai adanya kekuatan energi yang tak terhingga dalam diri manusia, yakni energi ruhani tadi. Tapi lagi-lagi itu pun tidak orisinal karena tradisi spiritualitas
sudah memperkenalkan konsep kekuatan energi (atau “tuhan”) dalam diri manusia itu sejak lama.
Misalanya,!di China disebut Chi, di Jepang disebut Ki, dalam tradisi Yoga dikenal dengan nama Kundalini atau Prana. Di dunia kebatinan disebut astral, bahkan dunia perdukunan juga mengenalnya dengan sebutan Magi atau Mana.
Gerakan spiritual New Age sering kali dihubungkan dengan panteisme, yakni ajaran bahwa segala sesuatu adalah Tuhan. Tuhan adalah segala sesuatu. Dan Tuhan ada dalam diri kita. Satu adalah bagian dari semuanya, dan semuanya adalah satu kesatuan.
Konsep ini pun sebenarnya sudah sering kita dengar, dengan berbagai interpretasinya, dari para sufi seperti Ibn Arabi dan al-Hallaj mengenai konsep wahdatul wujud.
Jadi New Age mengambil banyak dari tradisi sufisme, termasuk konsep uzlah atau memisahkan diri dari keramaian. Sedangkan konsep reinkarnasi dalam New Age diambil dari ajaran Hindu dan Buddha.
Begitu juga konsep Pencerahan New Age, diadopsi dari agama Buddha. Tidak heran kalau para penentang New Age—dari berbagai kelompok agama—memang berkeberatan dengan gerakan ini karena dianggap “hanya” mencomot bagian-bagian tertentu dari ajaran agama.
Terlepas dari itu, kita menghargai Gerakan New Age ini sebagai pewaris dari tradisi spiritualitas agama-agama dan tradisi filsafat masa silam yang mungkin saja sudah banyak di antara nilai-nilai itu yang sudah terbenam.
Dalam hal ini, kita boleh saja berseberangan dengan kelompok-kelompok agama yang cenderung memusuhi gerakan New Age, dan memandang mereka sebagai pesaing iman.
Sampai hari ini, resonansi dari gerakan ini masih terdengar di mana- mana, bahkan sudah menjadi rasa manis dalam larutan yang tak lagi nampak gulanya.
Ia hadir dalam kesibukan orang-orang kota berlatih yoga, meditasi, senam pernapasan, pelatihan motivasi, hypnotherapy, dsb. Perempuan-perempuan berhijab pun tidak merasa canggung mengikuti program-program semacam itu.
Mereka tidak merasa bahwa mereka sedang berada dalam arus pusaran New Age. Apakah ini berarti gerakan spiritual ini secara formal sudah kehilangan nama, ataukah ia justru telah mencapai kemenangan substansial?
Jawabannya kita urai seraya menelisik pandangan Denny JA dalam bukunya Spirituality of Happiness Spiritualitas Baru Abad 21, Narasi Ilmu Pengetahuan (2020), yang seperti membunyikan kembali gerakan New Age?
Adakah sesuatu yang baru dari gagasannya dalam buku ini?
***
Saat ini terdapat sekitar 4.300 agama. Empat agama terbesar adalah Kristen, Islam, Hindu, dan Buddha. Namun ada satu kelompok yang menempat urutan terbesar di antara kelompok agama, yakni mereka yang tidak berafiliasi kepada agama formal apapun.
Ia ada di urutan ketiga setelah Kristen dan Islam. Artinya, jumlah mereka melebihi penganut Hindu dan Buddha. Mereka biasa disebut sebagai ateis, agnostik, dan kelompok-kelompok New Age yang sudah kita bahas di atas.
Sebanyak 4.300 agama itu tersebar di 195 negara dan 6.500 kelompok bahasa. Dunia saat ini sangat beragam dengan tingkat keregaman yang tidak pernah ada sebelumnya.
Dari fakta-fakta ini Denny JA memulai proposisinya bahwa keragaman yang ada kini jauh lebih tajam dan membelah. Perbedaan identitas sosial itu tak hanya melahirkan kekayaan peradaban, namun tak jarang itu ikut memicu konflik dan perang berdarah.
Perang dunia melibatkan banyak negara. Perang dunia kedua terjadi di tahun 1939-1945, digerakkan oleh 30 negara. Semua negara itu mengerahkan total lebih dari 100 juta manusia untuk saling membunuh. Sebanyak 50 juta manusia mati.
Perang agama tak kalah brutalnya. Sentimen atas nama Tuhan, atas nama kesucian, atas nama wahyu, ikut mengobarkan perang salib. Ini termasuk perang terlama, bahkan lebih lama dari dua perang dunia digabung menjadi satu.
Perang ini terjadi hampir seratus tahun, 1096-1271. Ia melibatkan keyakinan yang kini menjadi dua agama terbesar manusia: Kristen dan Islam.
Total korban perang salib ketika jumlah penduduk dunia masih sedikit adalah satu juta tujuh ratus ribu manusia mati.
Tak hanya perang antar agama, perang antara satu agama yang berbeda paham tak kalah garangnya. Mengatasnamakan Yesus yang sama dan Injil yang sama, meledak perang antara Katolik dan Protestan di banyak negara Eropa.
Perang berlangsung selama 30 tahun, mulai dari tahun 1618 hingga 1648. Sama-sama mengatasnamakan kemurnian kitab suci, 8 juta manusia terbunuh.
Itu terjadi pula di dunia muslim. Atas nama Allah yang sama. Atas nama Nabi Muhammad yang sama. Atas nama kitab Suci Quran yang sama, konflik dan perang antara paham Sunni dan Syiah terjadi.
Perang sipil di Lebanon di tahun 1975-1990 ikut diwarnai oleh konflik Sunni dan Syiah, di samping oleh sebab lain. Sebanyak 120 ribu manusia mati. Sekitar sejuta penduduk mengungsi.
Perbedaan warna kulit walau berasal dari homo sapiens yang sama tak kalah ganas. Era perbudakan kulit putih atas kulit hitam menjadi salah satu warna paling kelam sejarah peradaban.
Terlepas dari kenyataan-kenyataan keras tersebut, Denny menyebut bahwa peradaban manusia saat ini sudah sampai di titik kematangannya. Manusia yang berbeda agama, negara, dan bahasa kini berinteraksi secara sangat intens.
Sejalan dengan kemenangan ide- ide mengenai demokrasi dan kebebasan, prinsip hak asasi manusia kni membuat homo sapiens itu setara dan bebas memilih keyakinannya. Pandangan dan keyakinan tak bisa dipaksakan dan terus berevolusi.
Dari sinilah Denny mengenukakan pertanyaan-pertanyaan retoris: Bukankah keberagaman tak tehindarkan? Bukankah lebih nyaman hidup damai berdampingan? Bukankah kita berada di satu bumi? Bukankah kita homo sapiens yang sama? Bukanlah persamaan kita jauh lebih dalam, lebih asli, ketimbang aneka perbedaan kita?
-000-
Akhirnya sampailah ia pada pertanyaan terpenting dan sekaligus menjadi tesisnya: Bukankah kini, saatnya bersama kita kembangkan narasi besar yang baru: Satu Bumi. Satu Homo Sapiens. Satu Spiritualitas?
Dalam salah satu bagian bukunya yang mengupas spiritualitas baru, Denny JA mengutip seorang Sufi yang hidup sekitar 800 tahun lalu, Jalaluddin Rumi, yang menyatakan bahwa kedalaman spiritualitas
manusia melampaui jubah formal agama.
Kesatuan spiritualitas manusia lebih asli dibanding perbedaan identitas sosial. Rumi berkata: “Agamaku adalah Cinta. Setiap hati rumah suciku.” Di bagian lain Rumi menegaskan: “Kucari Tuhan di Masjid, di Gereja, di Pura. Kutemukan Tuhan di hatiku.”
Denny menyimpulkan bahwa ajaran Rumi yang terpenting itu ajaran cinta. Yang lebih penting dari rumah ibadah adalah compassion yang tumbuh di hati. Bukan di Masjid, bukan di Gereja, bukan di Pura, bukan di organisasi, bukan di lembaga.
Tapi Tuhan, sumber kesejatian itu bergetar dan bersemayam di hati manusia, apapun agamanya. Delapan ratus tahun kemudian, ujar Denny, ilmu pengetahuan datang membenarkan renungan Jalaluddin Rumi.
Apapun agama yang dipeluk oleh seseorang, apapun konsep tuhannya, bahkan jika ia tak percaya agama, jika ia mengembangkan compassion merasa satu dengan yang lain, Oneness with All, merasa menyatu dengan semesta, ia akan lebih bahagia.
Apapun agama seseorang, bahkan yang tak beragama sekalipun, jika ia terus menerus membayangkan sesuatu yang maha besar, yang penuh cinta, yang penuh kasih, yang melindungi, maka hidupnya akan lebih teduh.
Rupanya yang dimaksud oleh Denny bahwa renungan Rumi belakangan dibenarkan oleh ilmu pengetahuan adalah riset-riset yang dibuat mengenai kebahagiaan (happiness).
Pertama, riset soal rasa menyatu dengan yang lain (the ONENESS). University of Mannheim, Jerman, di tahun 2019, melakukan riset pada 67 ribu masyarakat. Mereka datang dari berbagai latar belakang agama. Bahkan banyak pula yang tak lagi percaya pada agama.
Riset dikerjakan dalam dua tahap. Awalnya diukur dulu skala seberapa mereka merasa satu, menyatu dengan manusia lain dan alam semesta. Atau sebaliknya, mereka merasa terpisah, berbeda, terisolasi?
Lalu ditanya pula seberapa hidupnya bahagia, bermakna dan puas. Hasilnya, semakin individu merasa menyatu dengan manusia lain, tak terpisahkan dari alam semesta, semakin ia merasa bahagia. Semakin ia merasa terpisah, terisolasi dari manusia lain dan semesta, semakin ia tak bahagia dan tak puas.
Perbedaan agama, perbedaan persepsi atas Tuhan tidak berbunyi. Perbedaan itu tidak berpengaruh bagi level
kebahagiaan.
Yang berpengaruh hanyalah sentimen rasa menyatu (ONENESS) atau terisolasi.
Kedua, riset yang dilakukan oleh Dan Gilbert dari Harvard University tentang compassion. Ini tentang rasa belas kasih dan service, sikap membantu, menolong orang lain.
Mereka yang mendapat lotre, jumlah dana yang sangat besar, pastilah akan melonjak rasa senangnya. Tapi rasa senang itu tak bertahan lama. Melalui waktu, rasa senang itu surut kembali kepada baseline. Kembali ke titik mula.
Hal yang sama dengan mereka yang terkena musibah, katakanlah, tiba tiba kakinya lumpuh. Mereka pasti akan sedih sekali dan anjlok. Namun ini juga efeknya tak lama. Melalui waktu, rasa sedihnya menghilang. Dan ia kembali pada baseline.
Yang mengubah kebahagian lebih dalam dan permanen bukan perolehan materi. Bukan pula kondisi fisik. Yang memiliki efek lebih permanen adalah tumbuhnya compassion. Tumbuhnya rasa cinta. Tumbuhnya keinginan menolong. Rasa ini bisa dialami oleh siapa saja, tak peduli apapun agama formalnya.
Ketiadaan cinta dibanding hadirnya cinta jauh lebih berpengaruh efeknya bagi kebahagiaan dibandingkan perbedaan identitas sosial, termasuk agama.
Ketiga, adalah riset yang dikembangkan oleh Ahli Neuroscience: Andrew Newberg dan Mark Robert Waltman. Mereka awalnya mengeksplorasi hasil riset dari Baylor University.
Apapun agama yang dipeluk, setiap individu dapat mengembangkan konsep tuhan yang berbeda. Baik yang beragama Kristen, Katolik, Buddha hingga Islam, membayangkan citra tuhan yang berbeda.
Ada yang mengembangkan citra Tuhan sebagai penguasa yang otoritarian. Ini citra Tuhan yanng terlibat penuh dalam kehidupan tapi banyak menuntut. Tuhan yang banyak memberi instruksi. Tuhan yang memiliki neraka untuk menghukum. Ini jenis Otoritarian God
Ada juga yang membayangkan Tuhan yang penuh kasih. Ia Tuhan yang terlibat aktif dalam kehidupan tapi penuh pengertian. Tuhan yang penuh cinta. Pemurah. Tuhan yang maha mengampuni. Ini jenis Benovalent God.
Newbergh dan Waltman melakukan pendalaman dengan metode neuroscience. Apapun agama individu, bahkan yang tak beragama sekalipun, jika ia membayangkan Benovalent God, Tuhan yang penuh cinta, pemurah, akan muncul reaksi yang membuat rileks syarafnya.
Sekali lagi riset ini menegaskan bahwa perbedaan agama tak penting untuk membuat rasa damai. Yang lebih penting justru bayangan Tuhan seperti apa yang kita tumbuhkan dalam kesadaran. Jika yang kita bayangkan Tuhan yang penuh cinta, apapun agama yang dianut, rasa damai tercipta di pikiran.
-000-
Tesis Denny bahwa pada dasarnya manusia itu satu, didasarkan pada riset-riset di atas. Ia tidak menampik bahwa manusia memiliki agama dan keyakinan yang berbeda.
Tapi di balik perbedaan itu, manusia menyimpan persamaan yang lebih dalam: hati yang sama. Mereka sama, butuh mencintai dan dicintai. Mereka sama ingin dianggap bagian keluarga besar (ONENESS). Satu homo sapiens, satu pula spiritualitasnya.
Yang penting lagi kesimpulan nilai di atas datang dari riset empirik. Itu hasil metode ilmu pengetahuan. Ini hasil dari narasi besar gelombang ketiga.
Narasi besar gelombang pertama memberikan panduan berdasarkan mitologi. Narasi besar gelombang kedua memberi panduan lewat otoritas wahyu. Sedangkan narasi besar gelombang ketiga memberi panduan berdasarkan riset empirik.
Spiritualitas baru, menurut Denny, lahir dari hasil riset ilmu pengetahuan. Tentu spiritualitas baru tak pernah berbicara tentang dunia metafisik, seperti apakah surga dan neraka itu ada atau tidak. Itu adalah wilayah narasi besar gelombang satu dan dua.
Spiritualitas baru membatasi diri hanya memberi panduan hidup bermakna, bahagia, berbuat kebaikan yang semuanya semata hasil riset empirik.
Tak ada panduan spiritualitas baru tanpa dihasilkan dan terbukti dari hasil riset akademik.
Kesimpulan Denny, dan ini yang membedakannya dengan Gerakan New Age, adalah bahwa spritualitas baru tidak menggantikan agama. Ia membantah asumsi bahwa spiritualitas baru akan kering karena tidak menyentuh dunia metafisika.
Baginya, dunia metafisika itu wilayah agama. Sedangkan spiritualitas baru bukan agama baru dan memang tidak berpretensi menggantikan posisi agama.
Bahkan spiritualitas baru justru dapat memperkuat agama yang ada.
***
Penjelasan Denny mengenai spiritualitas dan agama semakin mempertegas perbedaannya dengan kelompok New Age.
Bagi Denny, spiritualiitas adalah renungan mengenai masalah eksistensial manusia. Siapakah Aku? Mengapa Aku dilahirkan? Bagaimana asal usul kehidupan? Di mana ujung dari semesta? Apakah ada kehidupan setelah mati? Apa itu baik dan buruk? Siapa yang harus dipatuhi. Adakah Yang Maha?
Sejauh yang bisa dilacak oleh fosil, manusia (Homo Sapiens dan Homo Neanderthal) sudah mengembangkan imajinasi mencari makna hidup sejak 100 ribu tahun lalu.
Di tahun 1908, ditemukan fosil di dekat La Chapelle-Aux Saints, Perancis. Di samping tulang belulang, ditemukan pula benda lain yang dimakamkan bersama tubuh manusia, seperti kalung.
Diduga itu bentuk ritus karena manusia sudah mengembangkan imajinasi soal kehidupan setelah mati. Kalung itu sebagai bekal yang mati di alam berikutnya.
Dari carbon dating, diketahui usia fosil itu sekitar 100 ribu tahun lalu. Ia bukan dari Homo Sapiens yang kini hidup. Fosil itu dari Homo Neanderthal yang sudah punah 60 ribu tahun lalu.
Spiritualitas yang didefinisikan sebagai renungan eksistensial itu melekat pada otak manusia. Agama adalah jawaban atas renungan spiritual itu. Jawaban agama juga berevolusi sesuai perkembangan kesadaran manusia.
Memang benar bahwa keyakinan pada YANG MAHA itu tak berubah. Namun, menurut Denny, sepanjang sejarahnya Homo Sapiens mendefinisikan Yang Maha itu berevolusi.
Pertanyaan mereka mungkin: Siapakah Aku? Mengapa Aku di sini? Siapakah penguasa tertinggi semesta? Renungan spiritualnya sama: yang ini-ini juga. Tapi jawaban Homo Sapiens sepanjang peradaban berevolusi mulai dari Animisme, Panteisme, Monoteisme.
Bahkan kini di abad 21, konsep Tuhan juga tumbuh menjadi Personal God, Impersonal God, Agnostik, Deisme, Panteisme, dan sebagainya.
Sampai di sini Denny menegaskan bahwa spiritualitas adalah renungannya. Agama yang jumlahnya 4.300 itu adalah jawabannya.
Akibat revolusi teknologi abad 21, interaksi homo sapiens semakin intens. Karena itu, terlepas dari ribuan agama yang dianut oleh manusia yang tersebar di 195 negara dan 6.500 kelompok bahasa, ada seruan yang menarik dari Denny tentang perlu generasi saat ini mendengungkan kembali kesatuan Homo Sapiens: Satu Bumi, Satu Homo Sapiens, Satu Spiritualitas.
Sebab di balik perbedaannya, homo sapiens adalah pencari makna yang sama. Mereka sama ingin dicintai, mencintai. Mereka sama bisa kesepian dan menderita.
Perjalanan sejarah dan peradaban manusia telah memenangkan ide-ide kebebasan. Ide hak asasi manusia, misalnya, menjamin setiap orang untuk meyakini apa saja dari 4.300 agama itu. Bahkan boleh juga tak meyakini apapun berdasarkan evolusi kesadarannya sendiri.
Keyakinan tak bisa dipaksakan.
Tapi kini, menurut Denny, telah datang spiritualitas baru yang menjawab ultimate question yang sama. Siapakah Aku? Bagaimana hidup bermakna? Apa tujuan hidup?
Bedanya, spiritualitas baru ini membatasi diri memberi panduan makna hidup bahagia sejauh sudah dibuktikan oleh ilmu pengetahuan.
Itulah spiritualitas baru versi Denny JA dengan narasi ilmu pengetahuan. Ia tidak menggantikan agama. Ia hanya menyatukan homo sapiens kembali. Kesatuan sesama manusia. Kesatuan manusia dengan lingkungan. Kesatuan manusia dengan semesta dan Tuhan.
Kembali Denny mengutip renungan Jalaluddin Rumi. “Kita adalah satu. Semua di alam semesta ada di dalam jiwamu.” Atau “Berbagai lampu memang beda. Tapi cahaya yang memancar di sana sama.”
Renungan Rumi yang lain. “Tempatku tiada bertempat. Jejakku tiada berjejak. Satu kita bersumber. Satu kita menuju.”
Dalam Bahasa Denny: Kini saatnya dunia mengembangkan sebuah narasi baru: Satu Bumi, Satu Homo Sapiens, Satu Spritualitas. Narasi baru ini menjadi moral tertinggi dan moral universal yang menyatukan homo sapiens yang kini hidup dalam tembok pemisah di 195 negara, 4.300 agama, dan 6.500 kelompok Bahasa.
-000-
Dengan dukungan riset akademik, Neuroscience, narasi besar gelombang ketiga, ujarnya, renungan Jalaluddin Rumi semakin bergaung: “Agamaku adalah cinta. Setiap hati manusia rumah ibadahku.
Apa itu neuroscience, dan apa hubungannya denga spiritualitas? Menurut Denny, neuroscience adalah ilmu baru soal sistem syaraf manusia, menjelaskan soal fenomena perilaku, keyakinan, kecenderungan manusia, dalam hubungannya dengan aktivitas otak.
Realitas sosial, termasuk agama, dan juga berdoa dihubungkan dengan realitas sistem syaraf manusia.
Pengetahuan dan spekulasi tentang otak manusia, tentu sudah tumbuh ribuan tahun lalu, sebelum masehi. Tapi dijadikannya realitas mekanisme syaraf manusia untuk menjelaskan realitas sosial, ini termasuk hal baru.
Sebagai contoh adalah doa. Mengapa manusia berdoa dan apa manfaatnya bagi kehidupan mereka?
Banyak ungkapan dari Jalaluddin Rumi yang dikutip oleh Denny untuk menjelaskan hubumgan doa dan neuroscience, seperti: “Ketika dunia menekanmu hingga dirimu jatuh berlutut , itulah posisi terbaik untuk berdoa.”
“Jika dalam doa, hanya satu kata yang dapat disebut, sebutlah kata itu: terima kasih.” “Doa menghalau kabut. Ia undang kembali rasa damai untuk pulang ke hati. Setiap pagi, setiap sore, biarkan hatimu bernyanyi. Ya Tuhan, Ya Kekasihku. Tiada realitas kecuali wajahMu.”
Manusia selalu berdoa, berharap, mohonkan pertolongan. Ia impikan perubahan, mujikzat, keajaiban tiba. Ketika datang kebahagiaan, manusia juga berdoa, bersyukur. Berterima kasih. Psikologi umumnya manusia tak lepas dari siklus itu: derita hingga bahagia.
Terancam hingga bersyukur. Berdoa menempati posisi sentral dalam kesadaran. Bisa dikatakan, menurut Denny, bahwa homo sapiens adalah hewan yang berdoa. Persisnya, ketika frontal lobe dalam otak homo sapiens jauh lebih besar dibandingkan hewan terdekat simpanse, kegiatan berdoa telah dimulai.
Sejarah homo sapiens, sejauh yang bisa dilacak oleh ilmu pengetahuan adalah sejarah makhluk yang berdoa. Kegiatan berdoanya sama. Tapi bentuk ritualnya berbeda dan berkembang.
Yang disembah juga berevolusi bersama berevolusinya kesadaran homo sapiens.
Sebuah temuan arkeologi dikemukakan Denny. Pada 1990, di gua tersembunyi di atas bukit, di Boswana, ditemukan sekitar 1.300 fosil mata tombak dari batu.
Dari pelacakan radio carbon dating, diketahui usia ujung tombak itu sekitar 70 ribu tahun. Ditemukan pula batu besar. Terlukis di sana sisik
ular piton. Ular raksasa. Arkeolog menafsir. Ini bukti paling tua, manusia era pra sejarah, homo sapiens di zaman batu (stone age), mulai berdoa. Mereka menari-nari, bernyanyi dengan membawa tombak. Tombak dari batu. Yang disembah adalah ular piton yang mereka lukis.
Mereka meyakini ular piton sebagai nenek moyang manusia. Sejauh ini situs tersebut paling tua yang ditemukan untuk menggambarkan homo sapiens yang mulai berdoa.
Zaman batu pun dilewati. Homo sapiens mulai menetap, membangun peradaban. Yang paling kuno, salah satunya Mesopotamia-Sumariah. Ini peradaban pertama sekitar 5.000 tahun lalu.
Arkeolog juga menemukan situs yang unik. Fosil banyak hewan dalam satu tempat, berusia sekitar lima ribu tahun. Dulu tempat itu disebut Girus, kota tertua yang dikenal peradaban. Ditemukan pula di sana lukisan dan patung yang kemudian dikenal sebagai dewa perang.
Arkeolog mengembangkan narasi bahwa itu adalah situs tempat penduduk peradaban pertama berdoa. Mereka meminta bantuan dewa perang, agar mereka kuat dan menang melawan suku lain.
Dalam doa, mereka memberikan sesajen dan kurban hewan.
Di abad digital, dunia dilanda pandemik virus korona (2020- 2022). Melalui media sosial dan internet, seruan doa bersama secara global dikumandangkan. “Apapun agama dan keyakinan, mari kita berdoa bersama, agar Tuhan bersama kita, membantu kita mengalahkan dan menghalau musuh tak biasa: bukan berwujud manusia, tapi berupa virus.”
Maka Paus, kaum Muslim, Yahudi dan banyak penganut agama lain berdoa bersama di satu waktu. Berkumpul dalam satu momen, dari seluruh dunia, penganut beberapa agama yang sebagian saling mengkafirkan satu sama lain, tapi mampu menghalau perbedaan.
Di momen itu, mereka berlutut bersama. Beban dunia melalui virus korona, memaksa umat manusia berlutut, berdoa, apapun agamanya.
Sepanjang sejarah homo sapiens sejak 70 ribu tahun lalu, kegiatan berdoa selalu hadir.
Yang disembah bisa berbeda dan berubah. Dulu yang disembah itu ular piton. Lalu berubah menjadi dewa dewi perang. Kini yang disembah Tuhan Yang Maha Esa. Dulu cara menyembah Sang Gaib, untuk dimintakan pertolongan, dengan menari-nari mengacungkan tombak dari batu. Lalu berubah ritusnya dengan menyerahkan kurban hewan.
Kini doa bisa dilakukan secara online, tersambung dengan internet. Yang berubah hanya prasarana, ritus, dan konsep. Tapi yang berdoa itu hati homo sapiens yang sama. Yang sama merasa terancam. Yang sama percaya ada kekuatan lebih besar di luar manusia. Yang sama memohon pertolongan.
Ilmu berkembang sedemikian jauh. Tapi ilmu pengetahuan tak bisa menghilangkan spirit yang lebih purba: kehendak manusia untuk berdoa.
Yang berdoa tak hanya manusia awam. Bahkan di masa kini, para ilmuwan puncak, katakanlah pemenang hadiah Nobel untuk prestasi keilmuannya, juga banyak yang tetap berdoa. Kita bisa sebut beberapa nama. Werner Archer, pemenang Nobel untuk Medicine/ Physiologi. D.H.R. Barton pemenang Nobel untuk kimia. John Eccles, pemenang Nobel untuk Neuro-Chemestry, Manfred Eigen, pemenang Nobel untuk Chemestry, secara publik dengan gembira menceritakan kegiatannya berdoa dan keyakinannya pada Tuhan.
Bahkan William Philips, pemenang Nobel Fisika, tahun 1997, juga seorang aktivis gereja yang militan. Ia menyenangi doa setiap hari minggu ke gereja, sebagaimana ia gemar meneliti di labolatorium.
Bagaimana kita memahami hati yang berdoa ini, sepanjang sejarah homo sapiens? Mengapa mereka berdoa? Apa yang didapat dari doa?
Neuroscience menjelaskan itu. Di tahun 1950-an, pertama kali Francis O Smith menjadikan Neuroscience sebagai program di Departemen Biologi di Massachusset Institute of Technology. Tahun 1960-an, James L M Gaugh lebih maju lagi.
Neuroscience menjadi satu departemen sendiri, di Harvard Medical School, sebagai Departement of Neurobiology. Neuroscience sebagai ilmu pun berkembang sangat pesat. Ia meramu dan menyatukan disiplin biologi, medicine, physiologi, psikologi dan modeling matematika.
Dalam pohon Neuroscience itu berkembang pula Neurotheology. Ini objek ilmu di dalam neuroscience yang khusus mengamati fenomena pengalaman agama. Misalnya suasana batin: Oneness with universe, trance, ekstase, pengalaman mati suri (near death experience), rasa haru yang puncak.
Mengapa pengalaman batin yang tak biasa itu bisa terjadi? Di bagian otak sebelah mana kegiatan itu berlangsung? Adakah hormon di otak yang terpengaruh karena doa? Apa efek hormon itu bagi vision, relaksasi bahkan personalitas manusia?
Para ahli ini melakukan studi empirik, bereksperimen, mencoba berkali- kali, lalu menyimpulkan. Andrew Newbergh, misalnya, ia mengumpulkan para penganut agama yang sudah berdoa lebih dari lima belas tahun. Mereka berdoa sehari rata-rata 2 jam.
Dikumpulkannya para pendoa itu dari tradisi agama yang berbeda. Ada pendeta yang berdoa dengan gerakan dan suara. Ada biarawan yang berdoa, meditasi, diam dan hening. Eksperimen doa dari konsep Tuhan yang beragam, bahkan yang tak percaya Tuhan, juga diriset berkali- kali. Diulang oleh penelitian dengan sampel berbeda.
Ini yang disimpulkan oleh salah satu riset neuroscience itu. Tentu saja neuroscience tak bisa membuktikan konsep mana yang benar. Apakah Tuhan ada atau tidak? Apakah Ateisme, Personal God, Impersonal God, Deisme, Panteisme, yang benar?
-000-
Tentu pula neuroscience tak bisa menyatakan agama mana yang benar dari 4.300 agama itu? Yang mana yang benar-benar wahyu Tuhan? Itu
bukan bidang neuroscience.
Tak pula neuroscience hendak menjadi hakim yang memutuskan mana kebenaran dan mana ilusi dalam sistem kepercayaan. Dari hasil riset neuroscience disimpulkan: doa yang dilakukan berulang-ulang juga mengubah otak manusia.
Sistem syaraf kita juga bisa dibentuk oleh keyakinan yang berulang-ulang disugestikan ke dalam kesadaran. Mereka yang acap berdoa dalam waktu lama memiliki perbedaan bagian otak dengan mereka yang tidak biasa berdoa.
Apapun tradisi agama: Kristen, Islam, Yahudi, Buddha, hingga yang tak percaya agama, dapat mengembangkan citra Tuhan atau the higher self yang berbeda. Yaitu Authoritarian God dan Benovalent God.
Dalam kita berdoa, tak hanya agama formal kita yang berpengaruh. Tapi riwayat hidup, karakter, pengalaman pribadi, ikut membentuk citra Tuhan atau the higher self. Semua berpotensi membayangkan Authoritarian God: Tuhan yang menghukum, yang meminta ketaatan, yang mengancam dengan neraka, yang membuat aturan.
Semua juga berpotensi membayangkan the Benovalent God: Tuhan yang maha kasih, yang menyebar cinta, memaafkan, mengerti, menyayangi, melindungi.
Mengapa satu individu mengembangkan atau memilih konsep Tuhan yang authoritaran, atau Tuhan yang penuh kasih, itu perlu dijelaskan kasus per kasus.
Riset neuroscience mencatat kesimpulan penting: Apapun agamamu, atau bahkan tidak beragama, apapun konsepmu tentang Tuhan, kegiatan doa, atau kontemplasi, tapi membayangkan hanya the Benovalent God, hanya yang maha kasih, ia menghasilkan hormon di kepala kita, yang membuat rileks, damai, teduh.
Mereka yang acap merenung, berkontemplasi, berdoa, dengan membayangkan Tuhan, Allah, Yahwe, Yesus, the Higher Self, atau apapun namanya, sejauh itu citra yang maha kasih, yang penuh cinta, akan membentuk personality yang juga lebih compassionate. Individu yang lebih peduli. Yang lebih mengasihi, menolong, berderma.
***
Bagaimana hubungan neuroscience dengan bukti keberadaan Tuhan? Menurut Denny, neuroscience tidak bisa membuktikan Tuhan itu ada atau tidak. Tapi neuroscience mengkonfirmasi bahwa kontemplasi, berdoa, sembahyang, berzikir, meditasi, sejauh yang dibayangkan itu adalah Benovalent God, the Higher Self yang maha kasih, doa itu memberi efek yang mendasar pada diri pelakunya. Yaitu membentuk personality yang teduh, mendamaikan hatinya, membuat dirinya penuh kasih, compassionate.
Untuk sampai pada tujuan itu maka kontemplasi, meditasi, berdoa, sembahyang, atau berzikir harus dilakukan secara terus menerus.
Syaratnya: pusat doa itu adalah Benovalent God. Bukan Authoritarian God. The Higher Self yang maha kasih. Bukan yang murka dan menghukum. Menutup pandangannya mengenai neuroscience Denny kembali mengutip puisi-puisi Rumi. “Aku adalah rumah kasih. Dan hatiku tempat berdoa.” “Labuhkanlah jiwamu pada Cinta Tuhan. Tak ada yang lebih indah dari itu.”
Lalu ia menegaskan kembali tesisnya: Betapa panjang perjalanan homo sapiens. 70 ribu tahun sudah kegiatan berdoa. Walau homo sapiens itu kini terpilah dalam 4.300 agama, 195 negara dan 6.500 kelompok bahasa, homo sapiens itu satu. Ya, Satu Bumi. Satu Homo Sapiens. Satu Spiritualitas.[sarinah]
Rewrited: sarinah
Malang, March 27, 2023
CATATAN:
1. Lihat, misalnya, J. L. Schellenberg, “Religious Skepticism”, dalam Diego Machuca and Baron Reed, eds. Skepticism: From Antiquity to the Present, Bloomsbury Publishing, 2018.
2. Setidaknya hal ini tampak pada Gerakan New Age awal. Belakangan mulai muncul kembali apresiasi terhadap sains Ketika sains mulai melegitimasi pandangan dunia spiritual. Lihat, W. Hanegraaff W, New Age Religion and Western Culture, Albany, State University of New York Press, p. 62
3. Gerakan ini mulai popular pada tahun 1970-an dan 80-an, terutama melalui buku-buku karya Carlos Castaneda yang dianggap sebagai Bapak Gerakan New Age. Salah satu bukunya The Teachings of Don Juan: A Yaqui Way of Knowledge diterbitkan pada tahun 1968 dan menjadi best seller.
4. John Gordon Melton, Theosoph, Encyclopedia Britannica Online, https: //www.britannica.com/topic/theosophy
5. Lihat, Jeff Levin, “New Age Healing: Origins, Definitions, and Implications for Religion and Medicine,” https://www.baylorisr.org/wp-content/uploads/2022/08/2022- Reilgions-New-Age-Healing.pdf
6. Misalnya, dibuat kontras dengan keimanan Kristiani. Christianity vs. New Age Spirituality, https: //marcjsims.com/2017/07/0
(Ini bagian dari buku karya Ahmad Gaus AF tentang 9 Pemikiran Denny JA soal Agama di Era Google: Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama, 2023)
Buku itu dapat dibaca, diperbanyak dan disebar luaskan melalui klik:
https://m.facebook.com/groups/970024043185698/permalink/2174605606060863/?mibextid=lURqYx
Gratis SPP 4 Tahun
Penerimaan Mahasiswa Baru
Universitas Tribuana Tungga Dewi
UNITRI – MALANG