DENNY JA: SAMIN TERKAPAR DI ANYER- PANURUKAN

DENNY JA: SAMIN TERKAPAR DI ANYER- PANURUKAN

Yang Tercecer di Era Kemerdekaan (6)

 

(Di Era kolonial Belanda, di Indonesia Era Daendles, 1808-1811, dimulai pembangunan jalan raya dari Anyer ke Panurukan sepanjang 1000 Km. Sebanyak 12 ribu pekerja Indonesia mati karena buruknya kerja paksa. Samin salah satunya)

 

SAMIN TERKAPAR DI ANYER- PANURUKAN

By Denny JA

 

Dari jalan raya Anyer- Panurukan, mobil itu menepi.
Yudi turun dari mobil.
Dikeluarkannya lima plastik kembang tujuh rupa.
Juga lima botol air mawar.

Maya, sang kekasih, membantu.

Setelah doa khusyuk, Yudi taburkan bunga itu.
Ia siramkan juga air mawar itu ke tanah.

Suasana hening.
Angin bertiup pelan,
membawa ribuan tetes air mata, dari masa lalu yang sangat jauh.

Bulu kuduk Maya berdiri.
Dari dalam tanah,
ia seolah mendengar longlong panjang ribuan burung yang sekarat.

Ujar Yudi,
“Samin itu kakek buyutku, dari sembilan generasi di atasku.
Ku tak tahu.
Juga semua keluargaku sejak dulu tak tahu.
Di sebelah mana, buyut Samin itu mati.
Mayatnya terkapar.
Jazadnya dibiarkan saja membusuk.”

Di tahun 1808,
Buyut Samin berusia 25 tahun.
Ia sudah memiliki dua putra.
Bersama empat sahabat karibnya, mereka dari Banten, dikirim ke daerah Jawa.

Pak Lurah setempat hanya berpesan.
“Kamu semua kerja yang benar.
Penguasa Belanda akan bangun jalan, yang panjang.
Kamu semua akan banyak uang,
simpan untuk keluarga.”

“Tapi,” ujar Yudi,
“di lapangan, kondisi sangat berbeda.
Belanda ingin jalan cepat selesai.

Buyut Yamin sering kali kerja berpanas- panasan,
dibakar terik matahari.
Tak jarang pula mereka menggigil kedinginan, diguyur hujan deras.
Tapi mereka harus tetap kerja.

Kadang sehari, hanya makan sekali.
Minuman juga kurang, dan kotor.

Kerja sehari 12 jam.
Istirahat kurang.

Jika kerja mereka melambat,
oleh mandor, mereka dicambuk, dipopor.
Teriak rasa perih terdengar acapkali, di sela sela bunyi linggis dan pacul.

Buyut Samin ketika pertama kali bekerja, badannya tegap.
Dalam waktu lima bulan,
badannya kurus seperti tengkorak.

Teman sekampung,
banyak yang mati diserang penyakit malaria.
Ada yang mati karena kelaparan.

“Buyutku Samin, malam- malam,
pergi dari kemahnya.
Ia sudah tak tahan.
Ia ingin pulang, diam- diam, rindu anaknya.”

Tapi badannya tak lagi kuat.
Ia kelelahan di jalan.
Dan terkapar di pinggiran jalan Anyer – Panurukan ini.
Mati.
Sendirian.
Jasadnya membusuk.
Sendirian.

Keluarga tahu dua bulan kemudian.

“Apakah tak ada upah, untuk buyutmu?” Tanya Maya.

“Aku tak tahu pasti,” jawab Yudi.
Katanya upah diberikan Daendles lewat bupati masing- masing daerah.
Tapi dana tak sampai ke pekerja paksa.”

“Aku sudah baca sejarah jalan ini.
Hatiku mendua,” kata Yudi.
Aku sendiri dan banyak rakyat merasakan manfaat jalan ini.
Apalagi di zaman dulu.

Karena jalan ini,
hasil bumi dan panen petani lebih mudah diangkut.
Berdiri pula 50 kantor pos.
Komunikasi bisa lebih cepat.

Tapi 12 ribu orang mati,
karena kerja paksa untuk membuat jalan ini.
Ini sejenis genocida atas nama pembangunan.

Hari mulai malam.
Yudi memandang jalan itu,
dari ujung ke ujung,
seolah dilihatnya lagi,
ribuan orang bekerja, siang dan malam, dipecut dan dipopor.

Bunyi pacul dan rintihan,
terdengar bersama.
Badan mereka hembuskan wangi bunga kematian.

Dari dalam tanah,
seolah keluar suara,
yang purba, yang pilu:

“Jangan lupakan kami.
12 ribu nyawa sudah kami beri.
Kami tersiksa dan mati.
Terkapar di jalan ini. (1)

Kembali Yudi,
kirimkan alfateha.
“Buyut Samin,
semoga doaku sampai padamu.”

Reposted: sarinahnews.com
Jakarta, 9 Mei 2024

 

CATATAN
(1) Sebanyak 12 ribu pekerja Indonesia mati dalam kondisi kerja yang sangat buruk ketika dipaksa Belanda, di era Daendle, 1808-1811.

Republika Onlinewww.republika.co.id12 Ribu Pekerja Meninggal Saat Membuat Jalan Daendels