KUBURAN MEREKA BERSERAKAN DI BANYAK NEGARA

KUBURAN MEREKA BERSERAKAN DI BANYAK NEGARA

Mereka Yang Terbuang di Tahun 1960-an (12)

KUBURAN MEREKA BERSERAKAN DI BANYAK NEGARA
Denny JA

Di tepi sungai Shkumbin, di Albania yang sunyi,
Malik duduk diam, menyusuri aliran air yang tenang.

Sungai itu membawa ingatan yang tak lagi bisa ia genggam,
seperti arus waktu yang tak kenal belas kasih.

Di kejauhan, pegunungan Dinaric berdiri megah,
namun bagi Malik, tak ada puncak yang bisa menggantikan Gunung Merapi.

Di sana, dulu ia berlari, bersembunyi,
menyimpan harapan yang kini tinggal bayangan.

Hening malam itu,
dan rasa sakit yang lama hinggap di tubuh,
membuat Malik merenung lebih dalam soal kematian,
soal kehidupan yang tak lagi terasa utuh.

Ia teringat puisi kawannya,
dibacanya berulang-ulang,
seperti mantra yang tak pernah padam:

“Kuburan kami berserakan di mana-mana
di berbagai negeri, di berbagai benua.
kami adalah orang-orang Indonesia
yang dicampakkan dari tanah-airnya,
paspor kami dirampas sang penguasa,
tak boleh pulang ke kampung halaman tercinta.
setiap hari disiarkan berita di media dan
koran-koran.” (1)

Pikirannya terbang jauh ke masa 60-an.
Bung Karno mengirimnya ke negeri ini,
untuk belajar, mengumpulkan ilmu dan harapan.

Saat itu, ia pemuda penuh semangat,
suaranya menggema di jalan-jalan Jakarta,
menyuarakan keadilan, memanggil perubahan.

Tapi semuanya berubah cepat,
Bung Karno jatuh,
dan angin sejarah berbalik arah,
membawa nasib yang tak pernah ia bayangkan.

Paspor dicabut, tanah air menutup pintunya.
Malik menjadi daun yang gugur di tanah asing,
terhempas jauh dari akar,
terisolasi di tempat yang tak pernah memanggilnya pulang.

Ia ingat malam itu, ketika kabar dari Indonesia menyapa,
badai yang menghantam,
meninggalkan kekosongan dalam hatinya.

Teman-temannya ditangkap, keluarganya diinterogasi,
dan namanya yang dulu ia banggakan,
perlahan lenyap dari ingatan orang-orang,
seperti halaman koran yang tertiup angin,
terkoyak, hilang tak berjejak.

Puluhan tahun ia hidup di Albania,
tak boleh pergi jauh,
bekerja apa saja untuk bertahan hidup.

Hari demi hari, ia hanya ditemani sunyi dan penantian,
sementara tanah airnya terasa semakin jauh.

Namun, dari luka dan duka yang tak pernah sembuh,
lahirlah pohon-pohon kata dalam dirinya.

Renungan getirnya menjelma daun-daun syair,
mengisi kekosongan yang tak terjawab oleh apapun.

Sastra menjadi napas baru bagi Malik,
membuatnya terus hidup, meski tubuhnya terkubur di negeri asing.

Ia tak lagi meneriakkan keadilan di jalanan,
kini ia menuliskannya dalam puisi.
Dalam setiap bait yang ia tulis,
ada air mata yang tertumpah.

Dari seorang aktivis yang lantang,
Malik berubah menjadi penyair yang sunyi.

Kata-katanya menjadi pelarian,
puisi menjadi perlawanan,
bukan dengan teriakan, tapi dengan renungan yang dalam,
dengan kata-kata yang melukai perlahan,
menyentuh hati yang paling sunyi.

Kini ia menulis sebuah novel,
kisah teman-temannya yang juga terbuang,
mereka yang terkubur di berbagai negeri,
namanya hilang di bawah angin sejarah.

Buku itu, ia persembahkan untuk tanah air,
tanah yang tak pernah ia injak lagi,
namun selalu ada dalam setiap tarikan napasnya.***)

 

Reposted: sarinahnews.com
6 Oktober 2024

CATATAN:
(1) Puisi esai ini adalah fiksi, terinspirasi dari kisah nyata Chalik Hamid yang menulis puisi Kuburan Kami ada dimana- mana, terdampar di Albania selama puluhan tahun, hidup tanpa kewarganegaraan, akibat prahara tahun 1960-an.

https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/09/150928_indonesia_lapsus_eksil_bui