Mereka Yang Terbuang di Tahun 1960-an (13)
SENIMAN YANG TAK KEMBALI
By Denny JA
(Setelah terlempar oleh prahara politik tahun 1960-an di negeri asing, Rahman menyadari bahwa hidupnya bukanlah tentang revolusi, melainkan tentang cinta yang dituangkan dalam lukisan dan puisi.)
-000-
Rahman duduk di kursi tua,
dinaungi pohon yang menggenggam kenangannya.
Tubuhnya layu,
seperti daun yang enggan jatuh.
Matanya menatap langit pudar,
kanvas kelabu yang kehilangan warna.
Hari-harinya membeku,
sepi.
Dulu ia seniman,
menyimpan senja di Bukit Bandung,
merangkai kata-kata selembut angin Tangkuban Perahu.
Namun sejarah menerjang seperti badai,
menyapu jejaknya dari tanah air,
menyeretnya ke negeri asing,
menghapus namanya dari catatan zaman.
Negara mengirimnya jauh,
belajar keluar negeri,
tahun enam puluhan,
mengejar bintang revolusi.
Padahal yang ia dambakan hanya gerimis
di atas genteng rumah di Bandung,
dan senja tenggelam di Dago.
Ia tak pernah ingin menjadi prajurit politik.
Ia hanya pelukis,
yang berbicara dalam diam,
penyair yang merangkul dunia dengan lembut.
Tapi roda sejarah tak berhenti,
menggilas warnanya,
menenggelamkannya dalam pusaran ideologi
yang tak pernah ia pahami.
Di Peking, kuasnya masih menari,
puisi mengalir lembut di dadanya.
Setiap goresan adalah harapan,
namun dunia tak mendengar,
politik memutar takdir dengan kejam.
Saat Bung Karno jatuh,
Rahman tersapu arus yang tak ia kenali,
hanyut bersama serpihan mimpi,
jejaknya menghilang di trotoar Braga,
sebelum ada yang bisa mengenangnya.
Kini, di ujung waktu,
Rahman tahu:
ia memang bukan pion revolusi.
Sejarah salah menempatkannya.
Ia hanya seniman yang tersingkir dari kanvas hidupnya.
Warnanya direnggut kekuasaan.
-000-
Di Moskow, di Belanda,
ia perahu tanpa dermaga,
terapung di pantai asing
yang tak pernah memberi rumah.
Negeri itu memang memberinya atap.
Tapi itu atap yang dingin,
hanya teh pagi yang tak lagi hangat di Lembang,
kabut yang menyelimut,
tapi tanpa keakraban.
Mereka memberinya tempat bersandar,
tapi hatinya masih tertinggal di gang sempit Bandung,
di tawa pasar alun-alun.
Rindu yang tak berjawab.
Rahman ingin pulang,
bukan ke tanah yang melupakannya,
tapi ke dirinya sendiri—
pelukis yang bebas,
penyair yang menghidupi cinta.
Namun tubuhnya rapuh,
tangannya gemetar di setiap sapuan kuas,
suaranya lenyap di balik gemuruh sejarah
yang tak pernah ia kendalikan.
Dulu, Rahman adalah seniman,
namun ideologi merampas jiwanya,
mencuri warnanya,
menjadikannya alat tanpa ruh.
Kini, di ambang waktu,
ia ingin kembali melukis matahari
yang tenggelam di Tangkuban Perahu,
menulis tentang pasar Bandung yang penuh kehidupan.
Bukan demi revolusi,
tapi demi cinta yang tak pernah padam,
demi kedamaian yang hilang.
Rahman tahu,
tak ada jalan pulang.
Tanah airnya tak lagi mengenali wajahnya,
dan dunia yang pernah ia warnai
telah berlalu tanpa menoleh.
Namun ia tak lagi mengejar bayangan.
Yang ia dambakan hanya jejak yang tersisa:
bukan sebagai roda ideologi yang keras,
tapi sebagai insan yang menitipkan cinta,
melalui puisi selembut angin,
melalui lukisan yang berbisik dalam diam.
Ia ingin kuasnya dikenang,
bait puisinya mewarnai hidup,
meskipun waktu akan memudarkan segalanya.
Rahman sepenuhnya menyadari.
Hidupnya akan pudar seperti warna di kanvas usang.
Namun ia titipkan cahaya kecil dalam setiap garis lukisan,
dan bait puisi.
Ketika ia tak lagi ada, kenangan atasnya tetap mengalir,
bukan sebagai suara lantang
revolusi,
melainkan bisikan lembut
seorang seniman yang
menghidupi cinta.***)
Reposted: sarinahnews.com
Jakarta 7 Oktober 2024
CATATAN:
(1) Kisah ini adalah fiksi, diinspirasi oleh Kuslan Budiman, seniman yang terbuang ke luar negeri akibat prahara politik tahun 1960-an.