KUBAWA CINCIN JANJIKU

KUBAWA CINCIN JANJIKU

Mereka Yang Terbuang di Tahun 1960-an (15)

KUBAWA CINCIN JANJIKU
By Denny JA

(Setelah 58 tahun terpisah oleh sejarah akibat prahara politik, Anwar kembali untuk menepati janji yang pernah terkubur bersama waktu.)
-000-

 

Langit Jakarta berwarna tembaga,
menggantung kelabu,
menjadi lukisan tua yang pecah.

Di hadapan tanah yang pernah ia sebut rumah,
Anwar berdiri menatap nisan beku,
nama Farah terukir samar,
kenangan yang tertutup debu sejarah.

Lima puluh delapan tahun lalu,
dikirim jauh ke negeri asing,
Anwar meninggalkan cintanya,
dengan janji berbisik di bibir:
“Untukmu, aku kembali.”

Bung Karno memanggil anak-anak muda,
mengirim mereka sekolah ke luar negeri,
memetik pelajaran di tanah jauh,
dengan harapan mereka pulang,
membangun negeri yang bermimpi.

Farah mengantar Anwar di batas kota,
matanya menyimpan luka perpisahan,
cinta mereka terjepit di ujung harapan,
seperti api kecil yang dilindungi dari angin.

Dan di Moskow, Anwar membeli cincin kecil—
sebuah janji yang ia simpan erat,
cahaya bagi cinta yang ia bawa pulang.

Namun badai datang,
memecah langit dengan raungan.

1965, Bung Karno tumbang,
impian berserak di jalanan yang berlumur darah.

Paspor Anwar direnggut,
ia melayang bagai daun lepas dari pohon,
tak lagi punya akar.

Cincin itu,
sebuah janji yang tertahan di sakunya,
tetap di sana, menunggu waktu pulang,
harapan yang tak kunjung padam.

-000-

Namun Farah tak menunggu,
hidupnya melangkah di jalan sunyi yang berbeda,

Farah menjadi ranting patah yang tumbuh menjauh,
dipaksa ayahnya mengikat diri pada pria lain,
takdir yang tak pernah ia pinta.

Di mata ayah Farah, Anwar hanya bayangan kelam,
terkubur prasangka dan tuduhan pengkhianat negara.

Anwar sendiri, terombang-ambing di negeri orang,
terdampar di Beijing, terkunci di Moskow,
tersesat di antara wajah-wajah asing,

Ia berjalan di keramaian yang sunyi,
bahkan bahasa pun seolah tak lagi menyentuh jiwanya.

Era reformasi datang.
Setelah sekian lama,
pintu pulang terbuka,
negeri ini memanggil mereka yang hilang,
menyambut anak-anak yang terbuang oleh sejarah.

Namun Farah—
kekasih yang ia janji pulang itu,
telah wafat,
menyatu dengan tanah.

Dan cincin itu,
tetap menggantung di saku Anwar,
sebuah janji yang terlambat,
menunggu untuk dipulangkan.

Dengan tangan yang kini bergetar,
Anwar menggali di bawah pohon akasia,
mengubur cincin itu di samping nisan.

“Farah,” ia berbisik,
“cincin ini milikmu,
cintaku yang tertahan di ujung janji,
kini pulang ke tanah, ke keabadianmu.”

Angin malam berembus pelan,
membawa daun-daun jatuh yang berserakan,
seperti harapan yang pudar dalam diam.

Tak ada yang bisa mengembalikan Farah,
tapi cinta yang telah terhanyut sejarah,
akhirnya tersampaikan, dalam tenang dan hening.

Langkah Anwar meninggalkan tanah itu,
namun hatinya tertinggal di sana,
di bawah pohon akasia yang memeluk kenangan,
di bawah langit Jakarta yang dulu memanggilnya pulang.

Anwar tahu,
meski sejarah mengoyak cinta,
ada janji yang tak pernah hilang,
ada cinta yang selalu mencari jalan pulang,
seperti air yang tak pernah lelah mengejar laut.***)

 

 

Reposted: sarinahnews.com
Jakarta, October 8, 2024

CATATAN:
(1) Puisi ini adalah fiksi, terinspirasi oleh kisah nyata eksil Indonesia yang akhirnya bisa pulang ke tanah air setelah lama diasingkan. Pada tahun 2023, kebijakan Presiden Joko Widodo membuka pintu bagi mereka yang kehilangan kewarganegaraan selama dekade-dekade sebelumnya.*

https://www.kompas.id/baca/polhuk/2023/08/27/korban-65-di-luar-negeri-diberi-kemudahan-masuk-ke-indonesia