Kritik Sastra: STORYTELLING MELALUI PUISI ESAI TENTANG LGBT DAN LAINNYA

Kritik Sastra: STORYTELLING MELALUI PUISI ESAI TENTANG LGBT DAN LAINNYA

Kritik Sastra:
STORYTELLING MELALUI PUISI ESAI TENTANG LGBT DAN LAINNYA

Pengantar Buku Puisi Esai Agus R. Sarjono
Oleh Denny JA

 

“Jika ada hal yang masih tabu untuk dibicarakan, sampaikanlah lewat sastra.”

Renungan ini yang saya ingat ketika membaca wawancara Gabriel Garcia Marquez, di The Paris Review pada 1981. Menurutnya, fiksi memberinya kebebasan untuk membahas topik-topik yang sulit diceritakan dalam kehidupan nyata.

Dalam karya terkenalnya, One Hundred Years of Solitude, Marquez mengeksplorasi isu-isu tabu seperti incest, kekerasan politik, dan ketidakadilan sosial, yang jarang diangkat secara eksplisit di masyarakat Amerika Latin pada masa itu.

Dengan gaya realisme magisnya, ia menciptakan dunia fiktif yang penuh warna, di mana batas antara realitas dan fantasi menjadi kabur.

Melalui kisah ini, Marquez tidak hanya menyampaikan keindahan naratif, tetapi juga menghadirkan kritik sosial yang menggugah tentang sejarah, politik, dan budaya.

Ketika pertama kali menulis puisi esai di tahun 2012, sudah lama saya renungkan untuk mengangkat kisah LGBT di Indonesia. Tapi isu itu masih tabu dibicarakan secara terbuka, apalagi jika spiritnya melakukan pembelaan atas dasar hak asasi manusia

Maka kisah LGBT yang terjadi di pesantren pun saya fiksikan dalam puisi esai berjudul Cinta Terlarang Batman dan Robin. Dengan berlindung di balik fiksi, diskusi isu tabu itu di ruang publik lebih mudah diterima.

-000-

Agus R Sarjono mengangkat isu tabu yang sama, di tahun 2024, melalui puisi esai dan bukunya: From the River to the Sea, Husam Husky Rhapsody.

Ia mengajak pembaca menelusuri dilema identitas dan cinta di tengah konflik Israel-Palestina.

Tokoh utama, Husam, adalah seorang LGBT asal Palestina yang hidup terpecah antara cinta dan kebangsaan. Kisah Husam sebagai penyanyi Palestina yang menemukan cinta di Tel Aviv, Israel, tetapi kehilangan kekasihnya akibat kekerasan perang, menggambarkan dualitas identitas dan perasaan keterasingan.

Dualitas ini dihadapi oleh kaum LGBT di tengah masyarakat yang tak sepenuhnya menerima keberadaan mereka.

Karya Agus ini bukan hanya narasi pribadi, tetapi refleksi tentang diskriminasi dan keterasingan yang dihadapi kaum LGBT dalam konteks budaya Timur Tengah yang kental dengan norma-norma sosial dan agama.

Di sini, karya Agus menggali dimensi budaya yang lebih dalam. Di dunia Timur Tengah, identitas LGBT kerap dianggap bertentangan dengan norma keagamaan dan sosial, dan eksistensi mereka sering kali terpinggirkan dalam perbincangan publik.

Dengan demikian, From the River to the Sea bukan sekadar kisah cinta, melainkan pengingat tentang bagaimana budaya lokal, agama, dan politik memengaruhi perjuangan LGBT di kawasan tersebut.

Melalui gaya bahasa yang intens dan puitis, Agus membawa kita ke dalam perjalanan emosional yang penuh konflik. Setiap larik puisinya mencerminkan pergulatan batin Husam dalam menemukan tempat di dunia yang sering kali menolak keberadaannya.

Karya ini menggambarkan bagaimana cinta dan identitas dapat menjadi medan pertempuran di mana konflik politik dan sosial bertemu dengan perjuangan individu untuk menemukan kebebasan.

Kehadiran AI bernama Sophia McCarthy sebagai penulis epilog dalam buku ini menambah dimensi unik dalam interpretasi karya Agus.

Sophia, sebagai AI, mencoba mengangkat relevansi sosial dari puisi-puisi ini, menawarkan perspektif baru tentang dinamika identitas dan kemanusiaan.

Meski Sophia memberikan pandangan kritis, interpretasinya sering kali belum sennsitif dengan konteks budaya Indonesia dan keunikan lokal yang melekat pada karya-karya Agus.

Ketika membahas cinta dan identitas dalam masyarakat Indonesia, budaya lokal dan nilai-nilai kebangsaan memiliki pengaruh besar, sehingga interpretasi Sophia yang berorientasi Barat belum menyentuh aspek budaya Indonesia yang kaya dan beragam.

Namun, Sophia memberikan perspektif bahwa teknologi juga dapat menjadi alat untuk menjelajahi tema-tema kompleks ini.

Buku ini, dengan puisi esai dan kontribusi AI Sophia, menjadi simbol perkembangan puisi esai di Indonesia yang pertama kali saya populerkan pada tahun 2012 lewat Atas Nama Cinta.

Genre ini sejak itu berkembang sebagai pohon yang terus mencari akar di tanah sastra Indonesia. From the River to the Sea adalah salah satu buah termanis dari pohon tersebut.

Buku puisi esai Agus R Sarjono menjadikan puisi esai From the River to the Sea Husam Husky Rhapsody sebagai menu utama. Puisi itu juga menjadi judul buku. Tapi hadir pula banyak puisi esai lain versi yang lebih pendek.

-000-

Mengapa hal- hal tabu lebih efektif disampaikan lewat sastra agar ikut memulai public discourse? Mengapa puisi esai memang diarahkan untuk memfiksikan true story, kisah sebenarnya, terutama isu yang masih menjadi tabu?

Sastra memiliki kemampuan unik untuk menyampaikan isu-isu tabu dengan cara yang lebih efektif dan halus. Ketika tema-tema yang sensitif, seperti LGBT, diskriminasi, atau konflik agama, dibahas melalui lapisan fiksi, sastra menciptakan “jarak aman” bagi penulis dan pembaca.

Pertama, alur naratif serta karakter fiksi memungkinkan publik untuk merenungkan persoalan tersebut tanpa merasa langsung terancam.

Lapisan fiksi ini berperan sebagai jembatan yang membuat topik-topik berat dan sensitif lebih mudah diterima, membuka ruang bagi refleksi dan diskusi yang lebih terbuka dan empatik.

Kedua, lebih dari sekadar penyampaian informasi, sastra menembus ke ranah emosi. Ketika pembaca terlibat dalam kisah seorang tokoh yang menghadapi konflik identitas atau ketidakadilan sosial, misalnya, mereka tak hanya “mengetahui” permasalahan, tetapi ikut “merasakan” penderitaan dan dilema yang ada.

Dengan demikian, sastra menanamkan empati—perasaan yang memungkinkan kita memahami orang lain dari dalam, melampaui sekadar logika atau argumen.

Empati ini, yang tumbuh dalam setiap kalimat puitis dan naratif, membuka hati dan pikiran, menciptakan ruang bagi penerimaan gagasan-gagasan baru yang mungkin sebelumnya ditolak atau dihindari.

ketiga, sastra membawa pengaruh yang kuat namun tidak konfrontatif. Lewat kisah atau puisi, gagasan yang mungkin menentang norma sosial ditanamkan dalam kesadaran pembaca dengan cara yang tidak langsung.

Karya sastra yang menyentuh isu-isu tabu seperti kebebasan berekspresi atau perjuangan identitas bisa membentuk pola pikir baru yang mengakar secara halus.

Sebuah puisi atau novel tidak hanya hadir untuk sekali baca; ia tertinggal dalam pikiran pembaca, membentuk sudut pandang yang baru dan berkembang seiring waktu.

Dalam hal ini, sastra menjadi medium perlawanan yang subtil, namun dengan pengaruh yang mendalam dan berkelanjutan, mengubah cara kita melihat dunia dengan sentuhan yang lembut, namun kuat.

“Sastra adalah suara yang membawa kita ke dalam rahasia dan kebenaran hidup yang tidak terucapkan.”

Melalui kata-kata, sastra memungkinkan kita untuk mendekati isu-isu tabu dengan kelembutan dan ketenangan, namun tetap mengguncang dan mengubah hati manusia secara perlahan, satu pembaca dalam satu waktu.

-000-

Buku puisi esai karya Agus R. Sarjono ini menjadi tonggak baru dalam perkembangan puisi esai.

Dari sisi gagasan, ia berani mengangkat tema yang masih tabu namun fundamental bagi hak asasi manusia, seperti isu LGBT, dalam latar dramatis konflik Israel-Palestina.

Dengan narasi yang tetap puitis, Agus membuktikan bahwa puisi esai bisa seindah puisi liris, menghadirkan keindahan kata ketika mengangkat isu sosial.

Lebih jauh lagi, karya ini memanfaatkan Artificial Intelligence untuk menyajikan epilog—suatu inovasi segar yang membawa puisi esai memasuki ranah teknologi mutakhir, memberi dimensi baru dalam berekspresi.***

 

Reposted: sarinahnews.com
Jakarta, 9 Oktober 2024

(1) Untuk mendalami soal puisi esai dapat dibaca buku:
https://www.facebook.com/share/p/q98NNMnbMGkzkqT2/?mibextid=K35XfP