DENNY JA: IBU MUSLIMAH MENGANTAR PUTRANYA MENJADI PENDETA

DENNY JA: IBU MUSLIMAH MENGANTAR PUTRANYA MENJADI PENDETA

Kritik Sastra: Puisi Esai,
IBU MUSLIMAH MENGANTAR PUTRANYA MENJADI PENDETA
Oleh Denny JA

 

“Pohon itu merelakan rantingnya tumbuh ke arah cahaya yang berbeda. Seorang ibu mengikhlaskan putranya menuju altar iman yang tak sama. Cinta menjadi jembatan aneka keyakinan.”

Kutipan ini yang saya ingat ketika selesai membaca sebuah peristiwa. Itu kisah yang menggugah, terjadi di tanggal 23 November 2024, di Tana Toraja.

Juniarto, seorang anak dari keluarga Muslim, berdiri di altar Gereja Toraja untuk diteguhkan sebagai pendeta. Yang menjadikan peristiwa ini istimewa adalah kehadiran ibunya. Ia seorang Muslimah yang taat, yang mendampinginya dengan penuh cinta. (1)

Di tengah ritual gerejawi, sang ibu berdiri teguh, mengatasi perasaan yang mungkin berkecamuk di dalamnya.

Ia tidak melihat perbedaan ini sebagai sebuah kegagalan, melainkan sebagai perjalanan spiritual anaknya yang unik.

Momen ini viral di media sosial, tidak hanya karena keberanian sang ibu. Tetapi itu juga karena pesan yang dibawanya: cinta melampaui batas keyakinan, menjadi jembatan yang menyatukan perbedaan.

Kisah ini saya baca kembali pada salah satu karya Ahmadie Thaha dengan judul Ibu Menangis, Anak Pindah Agama.

Dalam puisi esai tersebut, Ahmadie Thaha menggambarkan sisi emosi seorang ibu yang bergulat dengan dilema batin. Perang berkecamuk antara kesetiaannya pada iman dan cinta tanpa syarat kepada anaknya.

Puisi esai ini menghadirkan emosi yang mendalam. Bukan hanya tentang kehilangan atau konflik, tetapi tentang penerimaan karena cinta.

Sang ibu memahami bahwa cinta kepada anaknya tidak membutuhkan kesamaan keyakinan. Justru, ia menemukan dimensi baru dalam hubungannya dengan Tuhan melalui perjalanan spiritual anaknya.

“la memilih percaya, cinta seorang ibu akan selalu menjadi jembatan, meskipun mereka berbeda haluan.

Laut mungkin tak lagi tenang,
tapi sang ibu tahu, hatinya telah menjadi dermaga penuh karang.”

“Lautnya boleh bergelora,
tapi pelabuhan cinta seorang ibu tak pernah goyah.”

Puisi esai ini adalah salah satu dari 15 karya Ahmadie Thaha dalam buku Terowongan Iman. Buku ini membahas bagaimana cinta dan iman sering kali bertemu pada persimpangan yang sulit.

Pesan utama buku kumpulan puisi esai ini adalah iman sejati terletak pada cinta yang menghormati kebebasan spiritual dan keberanian menerima perbedaan.

Di samping puisi esai yang sudah dikutip di atas, dua puisi esai Ahmadie Thaha berikutnya juga memberi kita jeda untuk merenung.

Puisi esai “Beragama Bukan Sekadar Tanda” mengisahkan Raimona, seorang pria yang merasa terjebak dalam formalitas agama di kartu identitasnya.

Ia bergulat dengan kegelisahan batin karena keyakinannya tidak sesuai dengan apa yang tertulis. Ketika cintanya pada Maria, yang berbeda agama—terhalang aturan, ia memutuskan memperjuangkan kebebasan berkeyakinan melalui pengadilan.

Meski perjuangannya gagal, Raimona menemukan kekuatan dalam ketenangan batin dan keberanian untuk hidup jujur dengan dirinya sendiri.

Puisi ini menyoroti ketegangan antara formalitas agama, kebebasan spiritual, dan cinta.

“Di Medan, kembali Raimona merenung.
Agama, pikirnya, adalah rumah.
Tapi rumah tak bisa dipaksa dibangun, di atas tanah yang belum siap.”

Siapapun di posisi Raimona bisa berkata:

“Aku berdusta,
Berdusta pada nurani, pada dunia, pada negara.
Namun apa daya,
di negeri ini, agama bukan sekadar jalan ke surga,
tapi tiket hidup di ranah birokrasi.”

Lain lagi puisi esai berjudul: “Nani Mengenang Kakek Alkema.” Puisi ini berkisah soal gempa bumi di Cianjur yang merusak Gereja Palalangan. Ini gereja sebagai simbol harmoni dan sejarah yang didirikan oleh misionaris Belanda, Alkema.

Gereja itu berdiri di dalam masyarakat yang 90 persen lebih berpopulasi Muslim tradisional.

Nani, cucunya, merenungkan warisan iman kakeknya dan tantangan toleransi di masa kini. Di tengah kemiskinan dan prasangka, ia belajar bahwa cinta dan pelayanan adalah jalan untuk meneruskan semangat Alkema.

Puisi ini menyoroti keberanian menghadapi beda keyakinan demi kemanusiaan.

“Malam semakin larut, doa dipanjatkan.
“Tuhan, jadikan kami saluran kasih-Mu,
bukan hanya bagi sesama iman, tapi bagi seluruh insan.”

Di bawah tiang-tiang kayu yang berusia seabad,
Nani merasa kecil di hadapan sejarah, namun besar dalam harapan.
Ia tahu perjalanan masih panjang,
namun cinta selalu menemukan jalannya, seperti air yang mengalir di lembah.”

“Hidup harus menjadi terang, bukan bara yang membakar,
Namun, di dunia kini, terang itu kadang dianggap ancaman.”

-000-

Cinta Sebagai Tema Sastra Dunia

Puisi Ahmadie Thaha ini membawa kita pada tema universal: cinta lintas keyakinan yang telah lama menjadi inspirasi para penyair dunia.

1. Rumi dan “The God of Love”

Dalam salah satu puisinya, Rumi menulis:

“Lepaskan agamamu, lepaskan dirimu.
Cinta tidak memiliki agama; cinta hanyalah cinta.”

Rumi mengajarkan bahwa cinta adalah esensi yang melampaui batas identitas, menjadi jalan menuju persatuan jiwa dengan yang ilahi.

2. Robert Browning dan “Meeting at Night”

Browning menggunakan metafora perjalanan malam yang penuh rintangan sebagai gambaran cinta yang melawan segala batas, termasuk agama.

Puisinya menunjukkan bahwa keberanian cinta mampu mengatasi sekat-sekat tradisi.

Tak ada suara yang lebih kuat, di tengah suka dan duka,
Daripada dua hati yang berdetak saling menyatu!

3. Mahmoud Darwish dan “Love Across the Borders

Darwish menulis:

“Kami adalah dua jembatan yang terpisah,
tetapi sungai cinta kami mengalir ke samudra yang sama.”

Puisi ini menggambarkan bagaimana cinta menciptakan ruang di tengah perbedaan, menjadikannya sarana untuk memahami dan menghormati.

Mengapa Cinta Penting dalam Menjembatani Perbedaan Agama? Dalam dunia yang sering kali terpecah oleh perbedaan, cinta menjadi kekuatan yang mempersatukan. Tiga hal ini menjadikan cinta begitu penting:

Cinta Menghidupkan Empati. Dengan cinta, kita tidak hanya memahami perbedaan, tetapi merangkulnya sebagai bagian dari keberagaman hidup.

Cinta Memupuk Harmoni. Harmoni lahir bukan dari keseragaman, tetapi dari penghormatan terhadap keberagaman yang dihidupi dengan cinta.

Cinta Mengajarkan Kebesaran Jiwa. Cinta sejati melampaui ego dan doktrin, mengajarkan kita untuk melepaskan demi kebahagiaan orang yang kita cintai.

Namun, tindakan seorang ibu yang mengizinkan anaknya pindah agama dan menjadi penyiar bisa memicu kritik tajam.

Ibu dianggap gagal menjaga amanah keluarga. Ia dituduh melemahkan tradisi komunitas.
Ia juga dianggap merusak moralitas sosial.

Namun, cinta sejati adalah keimanan yang hidup. Sang ibu tidak gagal. Ia justru berhasil menunjukkan kebesaran jiwa yang memuliakan kasih Tuhan, yang melampaui dogma manusia.

Dalam teori Attachment dari John Bowlby hal itu dijelaskan. Cinta seorang ibu melampaui sekat-sekat primordial karena ikatan emosional awal (secure attachment) yang terbentuk sejak bayi.

Ikatan ini menciptakan rasa aman, empati, dan kasih tanpa syarat, sehingga ibu mampu menerima anaknya sepenuhnya, meskipun berbeda dalam keyakinan atau identitas.

Namun attachment dapat juga terjadi dalam cinta universal, tak hanya kepada hubungan personal dengan keluarga. Cinta universal itu bisa tumbuh dari kesadaran spiritual yang tinggi dari seorang individu.

-000-

Ketika Cinta Menjadi Jalan Tuhan

Kisah Juniarto, puisi Ahmadie Thaha dan karya-karya penyair dunia adalah pengingat bahwa cinta adalah jembatan universal. Ia tidak membedakan, tidak memisahkan. Cinta hanya tahu cara menyatukan.

Bagi seorang ibu atau siapa saja yang memiliki kasih selayaknya seorang Ibu, baginya Cinta adalah angin lembut yang menyusup melalui celah-celah tembok keyakinan.

Cinta jenis ini tidak peduli warna, bentuk, atau doktrin; ia hanya tahu caranya membuat jiwa saling menyentuh. ***)

 

Posted: sarinahnews.com
Dubai, 11 Januari 2025

Note: -Epilog Buku Puisi Esai Ahmadie Thaha
Referensi:
(1) Kisah Ibu Muslimah menemani anaknya menjadi pendeta Kristen:

Viral, Kisah Haru Pendeta Baru Didampingi Ibu yang Berbeda Keyakinan di Hari Peneguhan