Kudatuli Menjadi Spirit Perjuangan Kader PDI Perjuangan

Kudatuli Menjadi Spirit Perjuangan Kader PDI Perjuangan

Kudatuli Menjadi spirit Perjuangan Kader PDI Perjuangan

Megawati adalah tokoh spirit perjuangan seorang wanita yang berjiwa baja untuk kader-kader PDI Perjuangan yang tak terbakar ketika dibakar dan tak basah ketika tersiram. Kekeh dengan segala perjuangannya demi tegaknya keadilan dalam mempertahankan PDI di era Orba sebagai partai yang telah mengamanatkan dirinya untuk berjuang demi keadilan dan kemakmuran Indonesia Raya.

Dalam perjalanan perjuangannya, setelah kongres PDI di Surabaya pada tahun 1993 dan mengamanatkan bahwa Megawati sebagai seorang Sarinah sejati untuk memimpin partai berlambang banteng dan walaupun Presiden Soeharto tidak merestuinya justru mendukung Suryadi sebagai ketua umum dari hasil kongres Medan.

Moreover, lahirlah ide mempertahankan PDI menjadi PDI Perjuangan sebagai partai yang sejatinya berakar pada partai nasionalis termasuk di dalamnya ada unsur PNI yang dibidani oleh Soekarno pada tahun 1927,

Janganlah kita meninggalkan sejarah, kata Bung Karno. Merefleksi sekelumit sejarah kudatuli yang sangat berdampak politis, peristiwa Kudatuli dan yang mengakibatkan sebanyak lima orang tewas, 149 orang terluka, serta 2K3 orang hilang, itu adalah sejarah yang tak boleh kita lupakan dan harus menjadi spirit perjuangan PDI Perjuangan.

Kerugian materiil yang ditimbulkan tragedi Kudatuli diperkirakan mencapai 100 miliar rupiah. Dua tahun paska peristiwa Kudatuli atau 21 Mei 1998, rezim orde baru tumbang, tetapi tantangan PDI Perjuangan tidak serta merta finished.

Justru tantangan PDI Perjuangan semakin berat, pertama harus mempertahankan kemenangan pemilu dan selanjutnya adalah menghadapi rongrongan ideologi lain yang mengatasnamakan agama inilah sangat berat belum yang ke dua bagaimana kader-kader PDI Perjuangan terus bekerja untuk mempertahankan NKRI dan menciptakan kesejahteraan rakyat.

(sumber, sindonews.com) -“Pada 21 Juli 1996 Mega bertemu Jesse Jackson, aktivis HAM Amerika Serikat di Hotel Hilton Jakarta. Mega membeberkan berbagai hal tentang situasi politik Indonesia yang terjadi saat itu.

Di dalam negeri Mega juga membangun koalisi politik dengan Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum PBNU. Duet Mega dan Gus Dur yang sama-sama memiliki basis akar rumput yang kuat menjadi ancaman bagi rezim orde baru, sehingga berbagai upaya untuk mendiskreditkan keduanya terus dilakukan.

Dalam sebuah rapat umum pada tahun 1995, Kapuspen ABRI Letjen Syarwan Hamid dalam pidatonya terang-terangan menyerang Gus Dur dan Megawati. Aliansi antara Gus Dur dan Megawati disebut akan merusak stabilitas seperti halnya yang terjadi di Negara Filipina.

Gus Dur dikatakan seolah sebagai Kardinal Jamie Sin dan Megawati sebagai Corry Aquino. Dengan gaya jenaka Gus Dur menjawab tudingan itu: “Syarwan, jika Mbak Mega adalah Corry Aquino dan saya Kardinal Jamie Sin, lantas siapa yang menjadi Ferdinad Marcos?,” kata Gus Dur seperti dikutip dari buku Biografi Gus Dur. Pada 22 Juli 1996.

Pangab Jenderal Feisal Tanjung menyatakan melarang aksi mimbar bebas yang terus digelar pendukung Megawati. Aksi dinilai mengganggu ketertiban dan dianggap sudah mengarah pada makar untuk menggulingkan pemerintah.

Namun massa tetap nekat menggelar mimbar bebas. Pada 25 Juli 1996 Presiden Soeharto menerima DPP PDI hasil kongres pimpinan Soerjadi. Pada saat itu Mega sempat meminta pendukungnya menghentikan aksi mimbar bebas, tapi selang satu jam kemudian mimbar bebas kembali berlanjut.

Dua hari kemudian atau 27 Juli 1996, massa pendukung Soerjadi menyerbu sekaligus berusaha merebut Kantor DPP PDI yang diduduki kubu Megawati.

Bentrok antar massa yang melibatkan ribuan massa tak terhindarkan. Kerusuhan tak berhenti hingga malam hari. Gedung milik departemen pertanian dibakar. Sejumlah kendaraan mobil dan motor juga turut disulut api.

Banyak orang mengalami luka-luka. Laporan Komnas HAM berdasarkan investigasi yang dipimpin Munawir Sadzali dan Baharuddin Lopa menyebutkan korban secara rinci. Peristiwa Kudatuli mengakibatkan sebanyak lima orang tewas, 149 orang terluka, dan 23 orang hilang.

Kerugian materiil yang ditimbulkan tragedi Kudatuli diperkirakan mencapai 100 miliar rupiah. Dua tahun paska peristiwa Kudatuli atau 21 Mei 1998, rezim orde baru tumbang.

Komnas HAM juga menilai terjadi enam wujud pelanggaran HAM oleh berbagai pihak,” demikian keterangan tertulis seperti dikutip dari buku PDI dalam Pusaran Politik Orde Baru. Komnas HAM juga menilai terjadi enam wujud pelanggaran HAM oleh berbagai pihak,” demikian keterangan tertulis seperti dikutip dari buku PDI dalam Pusaran Politik Orde Baru.” (sarinahnews.com)