sarinahnews.com – Malang, Berkumandang pelan sayup-sayup tembang mijil menyelimuti langit Muria ditembangkan dari bibir para bidadari yang sedang turun dari kayangan. Memberikan nasehat pada Bharep Kai Aiden putra Pandu & Lasata yang Mijil baru 7 bulan hari ini.
Mijil (lahir) berasal dari kata bahasa Jawa wijil yang bermakna keluar atau lahir. Tembang mijil memiliki makna saat anak manusia terlahir ke dunia dari rahim sang Ibunda. (1/9/2022)
Tembang mijil ini sering digunakan untuk memberi nasihat dan ajaran kepada manusia agar selalu menancap kuat di kalbu serta tabah dalam menjalani kehidupan.
(tembang mijil)
“Dedalane guna lawan sekti,
Kudu andhap asor,
Wani ngalah dhuwur wekasane,
Tumungkula yen dipundukani,
Bapang den simpangi,
Ana catur mungkur,”
Makna moral yang disampaikan dalam tembang Mijil di atas adalah sebagai berikut:
“Dedalane guna lawan sekti,” dapat dimaknai sebagai jalan agar seseorang memiliki ilmu pengetahuan dan kekuatan dalam dirinya. Carilah ilmu sebanyak yang didapat.
“Kudu andhap asor,” memiliki makna, setiap orang harus dapat menempatkan diri dengan selalu menghargai, menghormati tanpa melihat pangkat, harta, maupun jabatannya.
“Wani ngalah luhur wekasane,” artinya berani mengalah. mulia pada akhirnya. Lirik ini memiliki makna jika seseorang ingin menang, ia harus berani menaklukkan dan mengendalikan diri sendiri dengan tidak menuruti hawa nafsu yang ada pada dirinya.
“Tumungkula yan dipundukani,” memiliki arti jangan membantah ketika dimarahi atau dinasihati. Tidak membantah bisa diartikan diam, mau merenungi, mau belajar, dan mau mengakui kesalahan. Dan mau mendengar nasehat.
“Bapang den simpangi,” bermakna sebagai manusia yang berbudi luhur sebaiknya menghindari hal-hal yang bersifat hura-hura, bersenang-senang yang berlibahan, atau berpesta pora yang tidak ada gunanya. Jika ingin hidup dengan bahagia, lebih baik membiasakan diri untuk hidup sederhana dan tidak berlebih-lebihan.
“Ana catur mungkur,” baris terakhir ini memiliki makna bahwa jika ada pergunjingan atau prasangka buruk dalam lingkungan sekitar, dianjurkan untuk menghindarinya. Berdiam diri tidak perlu untuk membahasnya.
Dapat disimpulkan, baris-baris tembang mijil di atas mengajarkan tentang etika, sopan santun, atau tata krama yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Nasihat-nasihat tersebut akan sangat bermanfaat jika diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
“Pitonan” adalah satu tradisi suku Jawa yang masih sering ditemukan di ujung perkampungan Jawa. Tradisi ini merupakan peringatan tujuh bulan umur bayi setelah dilahirkan dan sebagai wujud rasa syukur orang tua Si Baby kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT, atas karuniaNya sehingga anak mereka tumbuh sehat, cerdas dan berbudi luhur.
Ada tujuh makna dalam prosesi Tedak Siten atau mudun lemah istilah lainnya adalah mulai turun menginjak tanah atau tujuh bulanan bahwa tiba saatnya Si Baby diperbolehkan menyentuh tanah sebagai awal anak manusia mengenal sang Ibu pertiwi.
Mbak Supini, yang akrab dipanggil Mbak Pini, beliau Istri Ki Sugiono, aktifis budaya Jawa. Mbak Pini membimbing prosesi upacara tedak siten atau awal turun menginjak bumi atau pitonan Jawa bahwa upacara untuk bayi usia tujuh bulan itu berisi semua harapan dan arahan dalam hidup.
Dalam bimbingan prosesi pitonan atau Tedak siten itu dibimbing Mbak Pini dalam tahapan laku bayi sebagai berikut:
Tebu menurutnya memiliki akronim anteping kalbu atau ketetapan hati dalam menjalani kehidupan.
“Tangga terbuat dari tebu adalah ibarat kehidupan jika tidak sesuai alur atau aturan yang ada, yaitu berjalan lurus ke atas tanpa ajaran budi pekerti nantinya akan roboh karena segala sesuatu itu harus diawali dengan niat dan kemantapan kalbu,” kata mbak Pini.
Next, si baby melalui proses napaki jadah atau berjalan di atas jenang yang terbuat dari beras ketan.
Ada tujuh warna jadah yang dilewati si bayi. Ketujuhnya adalah hitam, ungu, biru, hijau, merah, kuning dan putih.
“Maknanya, hidup berawal dari yang gelap dan berakhir dengan terang,” tuturnya.
Then, si baby dimasukkan dalam kurungan ayam yang diibaratkan sebagai simbol dunia (the world symbol of life).
Kurungan itu berisi aneka macam mainan mulai yang berbentuk alat dapur hingga musik.
Bayi harus memilih satu dari sekian banyak mainan yang diletakkan dalam kurungan.
Maknanya, lanjut Mbak Pini, itu merupakan simbol si anak memilih profesinya kelak ketika sudah dewasa.
Topi Proyek, yang terakhir diambil oleh Kai. Semoga harapan orang tua, Kai tidak hanya mampu membangun sebuah proyek bangunan besar tetapi juga harus mampu membangun budi pekerti besar pada dirinya.
Apalah artinya bila seorang anak manusia bisa membangun gedung pencakar langit dan bangunan besar lainnya bila tidak berbudi luhur. Justru akan lahir anak yang sombong, “Adigang aduguno, sopo siro sopo insun” Hal seperti ini, tentu saja tidak diharapkan oleh kedua orang tua Kai.
“Semua simbol profesi ada di kurungan, yang menjadi semacam penuntun bagi si baby dalam memilih pekerjaan nanti,” imbuh Mbak Pini.
Then, Si Baby ditempatkan dalam tikar yang sudah diberi uang koin.
Maknanya, rejeki dan kehidupan yang dilambangkan dengan agar supaya Si Baby pintar mencari rizky. Menurut Mbak Pini, dalam hidup mencari rizky yang baik dan halal.
Arti filosofi dalam proses ini, meski bergelimang uang dan kesejahteraan jangan sampai terperdaya. Bekerja mencari uang memang penting, tetapi yang terpenting adalah uang bekerja untuk Si Baby.
Finally, Si Baby dibiarkan bergaul dengan teman bermain dan lingkungannya. Maknanya, dalam hidup selalu butuh teman dan bersosialisasi dengan masyarakat serta alam sekitar.
“However, Islam juga mengajarkan pentingnya menjalin hubungan habluminanas atau hubungan baik sesama manusia selain contact lurus dengan habluminallah,” wejangan Mbak Pini bak seorang Mak Nyai.
“Sekarang kita dalam kondisi krisis moral. Krisis budi pekerti, banyak anak muda kehilangan sopan santunnya karena mereka lupa budayanya. Budaya menunjukkan bangsa,” tuturnya. (red)