100 BUKU YANG MEWARNAI INDONESIA SEJAK ZAMAN KOLONIAL HINGGA KINI, FIKSI DAN NON- FIKSI

100 BUKU YANG MEWARNAI INDONESIA SEJAK ZAMAN KOLONIAL HINGGA KINI, FIKSI DAN NON- FIKSI

100 BUKU YANG MEWARNAI INDONESIA SEJAK ZAMAN KOLONIAL HINGGA KINI, FIKSI DAN NON- FIKSI

(Apa saja 100 buku itu, yang dipilih berdasarkan kriteria ahli dan survei?)

Oleh Denny JA

– Bisa diakses melalui link di bawah ini 👇

Daftar 100 Buku Bernilai Sejarah dan Budaya Indonesia Sejak Era Kolonial

👆

-000-

“Bangsa yang besar dilahirkan oleh buku- buku besar. Bangsa yang besar juga melahirkan buku buku besar. Tapi bagaimanakah cara mengakses dan membaca kembali buku- buku itu? Bagaimana cara kita dapat membaca kembali, misalnya, buku karya Bung Karno “Di bawah Revolusi?” Atau buku Takdir Alisjahbana, “Layar Terkembang?”

Ini potongan pidato Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena, Denny JA di bulan Desember 2021.

Kini setahun kemudian, November 2022, Satupena meluncurkan link tempat mengakses dan membeli buku- buku itu.

Awalnya Satupena berniat menerbitkan 100 buku itu kembali. Tapi ada kerumitan soal copy rights. Banyak pula input dari pecinta buku yang menyatakan lebih baik Satupena mendaya- gunakan saja penerbitan yang sudah ada, dan toko online yang menjual buku itu.

Bukankah yang penting bagi Satupena adalah informasi bagi pembaca soal 100 buku yang mewarnai Indonesia itu? Lalu memberikan info pula untuk memudahkan peminat mencarinya sendiri.

Maka inilah hasilnya: 100 link untuk 100 buku yang mewarnai Indonesia.

-000-

Satupena sudah memilih 100 judul buku itu melalui kriteria, survei dan penilaian para ahli.

Ini contoh buku yang terpilih. Di antaranya: Di bawah Bendera Revolusi karangan Bung Karno (1959), Renungan Indonesia karangan Sutan Sjahrir (1947), dan Demokrasi Kita karangan Bung Hatta (1963).

Selain itu, RA Kartini menulis Habis Gelap Terbitlah Terang (1922), buku Marah Rusli menulis Siti Nurbaya (1922), dan Layar Terkembang karya Takdir Alisjahbana (1936). Ada juga Azab dan Sengsara karya Merari Siregar (1920).

Perburuan oleh Pramudya Ananta Toer (1950).
“Itulah contoh buku fiksi dan non fiksi yang memengaruhi batin, sejarah dan budaya Indonesia.

Untuk menentukan buku-buku tersebut, Persatuan Penulis Indonesia (Satupena) menetapkan beberapa prosedur yakni,

1. 100 buku itu dipilih oleh forum penulis. Sebuah pertanyaan terbuka sudah diedarkan sejak akhir Agustus 2021- tengah September 2021 kepada empat WAG yang masing beranggotakan 100-250 penulis

2. Dari undangan itu terkumpul total 42 judul buku non-fiksi, 73 buku fiksi. Total terkumpul 115 judul buku.

3. Satupena membentuk tim ahli untuk menyempurnakan pilihan forum itu. Masing masing dua orang. Untuk non- Fiksi: Prof. Dr. Azyumardi Azra dan Manuel Kaisiepo. Untuk fiksi: Nia Samsihono dan Prof. Dr. Suminto A. Sayuti.

4. Sesuai usulan yang masuk, pilihan dipadatkan dan diperkaya menjadi 100 judul buku saja.

5. Tim selektor diberikan wewenang mengusulkan buku lain, termasuk menambah, mengurangi dari daftar itu agar lebih mendekati kriteria.

6. Kritreria buku yang dipilih dalam daftar harus memenuhi syarat ini:

a). Buku itu dibaca luas di eranya
b). Buku itu menciptakan genre baru, cara penulisan baru, perspektif baru, yang diikuti banyak buku setelahnya
c). Buku itu menyampaikan pesan/ pendekatan yang penting
d). Diupayakan satu tokoh/satu penulis darinya hanya diambil satu judul buku saja, kecuali yang sangat fenomenal.

Sarinah News, kamis, (10/11/2022) By Denny JA

 

Kini 100 link bagi 100 buku itu bisa diakses di sini 👇

Daftar 100 Buku Bernilai Sejarah dan Budaya Indonesia Sejak Era Kolonial

👆