Suku Asli Lampung vs Pendatang Bali (2012)
KONFLIK “BALINURAGA” DALAM PUISI ESAI DENNY JA
Isbedy Stiawan ZS
(Penyair dan Jurnalis asal Lampung)
*** Denny JA seperti memiliki ‘100 mata’ untuk melihat, mengamati, sekaligus menentukan sudut yang pas untuk menulis kisah-kisah dramatik dalam konflik primordial di Lampung dan empat wilayah lainnya***
Jelang dan hingga usai rezim orde baru berkuasa, gesekan antaretnis di Indonesia sangat tinggi. Mengerikan. Menyedihkan.
Catat saja pertikaian dua etnis di Sampit; suku Dayak dan Madura. Lalu di Desa Balinuraga, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung. Dua peristiwa ini cukup untuk contoh dari kasus-kasus kerusuhan antaretnis lainnya.
Rezim Orba kala itu, yang dikenal menerapkan ‘politik’ represif dan “kaku” selama 32 tahun berkuasa, endingnya menelan kenyataan pahit. Harus dibayar mahal, anak bangsa berjatuhan sebagai korban.
Program transmigrasi (semasa kolonial disebut kolonisasi pada 1904) yang berlangsung besar-besaran dari wilayah berpenduduk padat ke daerah yang dinilai masih “kosong” tanpa dibekali pengenalan kebudayaan tempatan, menjadi salah satu pemicu gejolak ini di kemudian hari.
Hal lain ialah kesenjangan sosial antara pendatang (muhajirin) dan tuan rumah (anshar) yang memantik kecemburuan eksistensi.
Desa Balinuraga Way Panji, Kalianda Lampung Selatan. Desa berpenduduk etnis Bali tiba ke sini melalui program transmigrasi pada 1963. Selain Balinuraga, ada dua perkampungan suku Bali, yaitu Baliagung dan Balinapal.
Perkampungan ini bertetangga dengan Desa Agom yang mayoritas pribumi.
Perkampungan etnis Bali di Lampung Selatan. Balinuraga, Baliagung, Balinapal sudah benar-benar “menjadi Bali” dan lebih maju dibanding desa warga pribumi. Kemajuan–dalam hal fisik dan materi–tak bisa dipungkiri.
Tetapi diam-diam tertanam menjadi kecemburuan sosial.
Hanya dipantik hal remeh, api amarah bisa membesar. Sebab hal yang kecil, emosi menjadi amok yang tidak terkendali.
Begitulah potret kemanusian yang telah berlangsung di negeri ini. Sepertinya ada salah urus tentang sosial dan budaya.
Kerusuhan di Balinuraga adalah contoh yang tidak bisa diterima dengan akal sehat. Asbabun pertikaian tersebut, dua pengendara motor (perempuan) terjatuh saat melintasi kampung etnis Bali. Kedua korban kecelakaan itu ditolong pemuda Balinuraga.
Kabar yang tersebar menjadi lain. Mendapat bumbu negatif. Pelecehan. Padahal kepastian belum teruji.
Pertikaian etnis Bali-Lampung di Lampung Selatan memang menarik ditulis. Bukan saja sebagai kabar, tetapi juga bisa diangkat nilai-nilai kemanusiaannya.
–0–
Denny JA, penggagas puisi esai di Indonesia yang kini kian mengepakkan sayap hingga Asia Tenggara, meluncurkan kumpulan puisi esai berjudul Jeritan Setelah Kebebasan: 25 Kisah Drama dalam Puisi Esai Soal Kerusuhan Primordial di 5 Wilayah Era Reformasi”.
Buku puisi esai ini menarik lantaran ditulis sekitar puluhan tahun dari waktu kerusuhan.
Tentu telah terjadi pengendapan, sudut pandang yang kritis, dan ‘pesan’ bagi perbaikan dan kebaikan. Puisi bertema sosial akan selalu mengedepankan nilai-nilai kemanusian (HAM). Dan puisi esai, yang saya tahu, condong membicarakan ihwal sosial: kemanusiaan.
Ada kata “drama” dalam subjudul dari buku puisi esai Denny JA – selanjutnya saya tulis DJA – yang berisi 25 kisah tentang peristiwa 1998, Sampit, Balinuraga, Ahmadiyah di NTB, dan Konflik di Maluku.
Buku ini berisi 25 kisah drama kemanusiaan yang variatif dan dibidik dari sudut pandang (point of view) yang beragam pula.
Menurut saya, ini kekuatan dari buku puisi esai DJA. Dia seperti memiliki ‘100 mata’ untuk melihat, mengamati, sekaligus menentukan sudut yang pas untuk menulis kisah-kisah dramatik tersebut.
Pada kesempatan ini saya menilik dan mengapresiasi sebagai apresiator terhadap 5 karya DJA tentang Balinuraga.
Selain kedekatan emosional karena keberadaan saya dekat dengan titik kerusuhan, saya pernah ‘terlibat’ menggalang solidaritas melalui panggung seni di Bandar Lampung. Acara ini difasilitasi sejumlah NGO di Lampung.
Adapun kelima puisi esai DJA tentang konflik di Balinuraga tersebut adalah “Mata Dibalas Mata, Parang Dibalas Parang”, “Lari Cucuku, Lari Sekencangnya”, “Menjauh Seribu Kilo Meter”, “Cintaku Tak Menentu di Pengungsian”, dan “Benda Pusaka yang Berdarah” (hal 109-145).
Kerusuhan di kampung Balinuraga, Way Panji, terjadi selama tiga hari pada 27- 29 Oktober 2012. Langit Kalianda pekat. Seakan turut berduka. Tokoh Bali yang mantan Korem 043 Gatam, Swisma, bahkan meminta warga Balinuraga agar kembali ke Bali. Seluruh beban akibat kepulangan akan disiapkan.
Kerusuhan antara etnis Bali (kampung Balinuraha Way Panji) dengan pribumi Lampung (kampung Agom, Kalianda) memang mencekam. Selain menelan korban jiwa, banyak warga etnis Bali yang diungsikan sementara di Sekolah Polisi Negara (SPN) Kemiling, Bandar Lampung.
Dalam pengungsian itu, sejumlah seniman dan relawan melakukan penguatan batin bagi para pengungsi. Juga mendukung finansial yang diperlukan
Dari peristiwa Balinuraga, DJA mengungkapkan ke dalam lima perspektif yang masing-masing memiliki kekuatan.
Membaca kelima puisi esai tersebut, sejatinya dendam harus disudahkan, kesalahan masa lalu mesti ditenggelamkan di laut terdalam.
Puisi esai pertama tentang Balinuraga (“Mata Dibalas Mata, Parang Dibalas Parang”) menceritakan Bharata yang menyesal tak mampu menjaga adiknya.
Sang adik, perempuan bernama Prastika, tewas pada saat kerusuhan. Abu kremasinya dilarungkan di Selat Sunda atau Laut Jawa. Sejak saat itu Bharata membawa dendam, bahkan 10 tahun lamanya.
Ia mencari pembunuh adiknya. Mata dibalas mata, parang dibalas parang. Artinya, nyawa mesti dibayar dengan nyawa!
Tetapi dari massa yang mengeluruk sekitar 500 orang itu, siapa yang membunuh adiknya?
Karena dendam itu, Baratha lupa bahwa ia punya anak dan istri. Ia meninggalkan tanggung jawab sebagai suami, ayah, maupun kepala keluarga.
Sepuluh tahun ia ‘menelantarkan’ hak-hak keluarganya hanya demi ‘menebus’ dosanya kepada ibu karena tak mampu menjaga sang adik.
Amarah yang dipendamnya membuat hilangnya akal sehat. Dendam yang terhunjam di hatinya bertahun-tahun, makin membuatnya tak berpikir rasional. Anjuran
guru Dewo, ia menuju Laut Jawa di mana abu jasad adiknya dilarungkan. Dendam yang berlarat-larat harus pula dilautkan (“Kucukupkan memikul dendamku/amarahku harus kubuang’, hlm 111). Baratha sadar bahwa ia punya istri dan anak yang selama ini dilupakan.
Puisi esai ini ditutup dengan baris “Tiga tahun sudah,/Ia lebih memikirkan yang mati/Tiga tahun sudah ia tak memperhatikan tanggung jawabnya kepada yang hidup”.
Puisi esai DJA yang mengangkat kerusuhan di Lampung bukan hanya untuk mengingatkan pada peristiwa berdarah dan melukai hati kemanusian setiap manusia.
Ada yang lebih penting, bahwa dendam, amarah, amok dan serupa itu, harus segera dibuang. Agar keharmonisan dalam berbangsa dijaga baik. Itulah filosofi manusia Indonesia, yang bersuku-suku namun satu dalam keragaman.
Telaah DJA amat mendalam tentang peristiwa Balinuraga Lampung Selatan. Kerusuhan antaretnis di Lampung itu ia ramu dengan apik.
Inilah yang menjadikan kelima puisi esai yang mengupas Balinuraga sebagai bacaan yang lincah, mengalir, dan jernih.
Misalnya ia buka salah satu puisi esainya dengan begini: “Gunung berapi meletus di Lampung//Tapi ini bukan gunung sebenarnya/ini gunung di dalam badan Dewo…”
Kalimat itu ada di dua bait puisi esai DJA berjudul “Lari Cucuku, Lari Sekencangnya”.
Dalam puisi esai ini, DJA mengapungkan rasa bersalah dalam diri Dewo karena
ketakmampuannya bertindak/berbuat saat terjadi kerusuhan. Padahal secara kemampuan, ia mampu. Seorang pandai silat. Tetapi, itu ia tak lakukan. Ia bukan seorang pemberani. Akhirnya penyesalan dan rasa sesal itu menghantui benaknya selama bertahun-tahun.
Dewo merantau ke Jakarta ingin melupakan sesalnya, namun justru semakin menghantui. Satu-satunya ialah kembali ke Balinuraga.
Ia ajak Nami, istrinya yang juga dari Balinuraga, ke kampung kelahiran di Lampung Selatan. Ia meminta ampun. Duduk bersimpuh, dan diciumnya tanah yang dulu bersimbah darah sang kakek.
Di sini kakek itu dibantai
Aku sembunyi di sana
..
Kakek maafkan aku Seandainya waktu bisa diulang Aku akan membelamu
Tangis Dewo berderai, seiring semesta turut menangis.
Pada puisi esai yang lain, ada baris yang menarik dan mampu menggugah, dapat dibaca ini:
Pelan tapi mendalam nenek itu berkata:
Kau punya ibu.
Apa salahku padamu? Kejahatanmu akan menghantuimu. Hingga datang ajalmu
(“Menjauh Seribu Kilo Meter”, hlm 128)
Lalu, puisi esai “Cintaku tak Menentu di Pengungsian” mengisahkan dramatiknya arti cinta sesungguhnya.
Cinta tak mengenal suku, budaya, bahkan keyakinan iman. Selagi cinta telah melekat, segala halangan akan dibabat. Itu pepatah yang tak tertulis namun diyakini amat kuat bagi orang yang jatuh cinta.
Faras dan Asif adalah sepasang kekasih yang beda etnis dan agama. Hati keduanya ditautkan oleh cinta. Maka hari-harinya dipenuhi bunga-bunga. Janji melanjutkan bahtera cinta diikrarkan.
Asif mengusulkan tanggal ikrar tersebut pada 28 Oktober 2012. Alasannya, itu hari Sumpah Pemuda yang menyatukan Indonesia sebagai bangsa, setanah air, dan bahasa. Juga cinta, tentu saja.
“Itu hari baik kita menikah. Kau orang Bali . Aku orang Lampung. .. Kota menjadi orang Indonesia…” (136).
Tuhan adalah penentu bagi keinginan dan harapan manusia. Pada 23-27 Oktober 2012, meletuslah kerusuhan antarsuku itu. Meluluhlantakkan cinta keduanya.
Farah harus mengungsi ke SPN di Kemiling, dan Asif hilang seakan ditelan bumi. Berulang Faras mengusik pesan melalui telepon genggamnya, tiada satupun dibalas.
Di pengungsian, kenangan-kenangan bersama Asif tak terelak bermunculan. Silih berganti.
Di sini DJA pandai memainkan perasaan. Ia juga menyinggung budaya, misalnya kain tapis dan lainnya.
Tetapi, cinta yang berbeda etnis dan agama, memang tak bisa semulus untuk dipertemukan. Bahkan, bisa berakibat fatal. Kehancuran.
Apatah lagi, pertikaian dua etnis di Lampung Selatan itu teramat pahit. Terutama, ini diakui keluarga Asif.
Ia buka mata, sebesar-besarnya, melihat realita,
melihat jalan,
melihat pohon,
tapi yang terlihat hanya wajah Asif
….
“Asiiiiiiifffff, mengapa kau menyerah…? (144)
Alangkah pilu, cinta kedua manusia yang disatukan oleh kebangsaan, namun dibedakan oleh suku dan agama.
Sesuatu yang bisa menjadi musykil, tapi ini realita yang kerap kita jumpai.
Puisi esai yang bertema kerusuhan etnis Lampung-Bali ini ditutup dengan “Benda Pusaka yang Berdarah” (145-155). Senjata tajam khas orang Lampung (pesisir), candung, dianggap pusaka yang mesti dirawat dan dijaga sebagai peninggalan leluhur.
Suatu waktu di kala terjadi kerusuhan antaretnis, benda pusaka itu dikeluarkan. Oleh Prabu. Bahkan dibawa ke dalam pertempuran. Di ujung candung itu nyawa orang Bali melayang. Darah membekas.
Akibatnya, Prabu diusir oleh ayahnya. Ia telah menempatkan senjata pusaka salah.
Golok itu bukan untuk membunuh melainkan untuk dirawat sebagai benda pusaka. Sepuluh tahun lebih Prabu tak lagi pulang. Desa yang melahirkannya, desa yang mengasuhnya hingga remaja. Sampai pada malam yang kelam dan mengerikan.
Ia kembali justru saat ayahnya wafat. Tetapi ia tak lagi punya air mata. Tiada kesedihan. Seakan hatinya sudah berjarak dengan ayahnya.
Ibu berpesan, mendapat wasiat dari ayahnya agar benda pusaka itu diserahkan pada Prabu. Anak lelaki pertama. Kelak candung tersebut harus diturunkan kepada anak lelaki pertama Prabu. Begitulah siklusnya.
Prabu hendak menolak. Ia tak percaya dengan keyakinan seperti itu. Tetapi Ibu memaksa agar menerima. Terserah mau kau apakan pusaka itu, risiko ada padamu. Kata Ibu.
Prabu menerima. Ia berniat akan menenggelamkan pusaka itu di tengah Selat Sunda. Dari kapal yang membawanya dari Bakauheni ke Merak.
Ia ingin melupakan segala peristiwa hingga dirinya menjadi pembunuh. Kepala Desa Agom kala itu yang semula memprovokasi dan berada di depan, telah menghidupkan bara dalam dirinya. Ia jadi pembunuh. Dengan candung yang sangat dirawat kepusakaannya oleh sang Ayah.
Tapi, ia batalkan untuk membuang pusaka itu, ketika dirasakan ada cahaya dari golok itu. Ia niatkan untuk menyimpannya sebagai pusaka. Seperti ayahnya dulu. Kelak akan ia serahkan kepada anak lelakinya. Tradisi keluarga akan ia teruskan. (154).
Prabu tersenyum.
Satu peristiwa di kapal laut mengubahnya. Dulu ia mengkritik ayah soal pusaka.
Kini ia sendiri merawat pusaka.
(155)
—0-–
Puisi-puisi esai di sini, khususnya ihwal Balinuraga, menyoal nilai diri (piil pesenggiri, marwah), kebudayaan, dan nilai-nilai kekerabatan orang Lampung Saibatin.
Dari kelima pues DJA, sebagai pembaca kita dapat belajar banyak tentang kekerabatan, persaudaraan, serta kemanusiaan. Nilai-nilai yang sesungguhnya universal.
Membaca lima puisi esai DJA dalam Jeritan Setelah Kebebasan (CBI, Oktober 2022) merupakan bagian dari empat subjudul, saya yakin menarik untuk dikaji lebih dalam lagi. Apalagi “kasus-kasus” yang dipilih begitu familiar dalam “pembacaan” kita sebagai orang Indonesia, dan mengundang keingintahuan bagi pembaca di luar Indonesia.
Semisal soal kerusuhan Mei 1998 yang terjadi jelang jatuhnya rezim Soeharto, atau soal Dayak-Madura, Lampung-Bali.
Dalam pengantar buku ini, DJA mengatakan secara keseluruhan, negara terlihat seolah mengabaikan konflik yang sudah membuahkan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. (hal. VIII).
Sejumlah NGO–seingat saya yakni LSM Damar, Komite Anti Korupsi (KoAK), AJI, LBH Lampung–menggelar malam seni di Bandar Lampung. Juga melakukan pendekatan kepada kedua belah pihak.
Ini semua dilakukan untuk meredam kerusuhan agar tak berlanjut.
Agenda yang sempat tercetus kala itu, sekiranya kerusuhan antaretnis di Kalianda Lampung Selatan lama reda, dan memungkinkan korban lebih banyak dan kehancuran di kampung Balinuraga semakin besar, para relawan dari NGO akan turun ke lapangan. Menggalang solidaritas, mempersuasi kedua belah pihak. Dengan cara dialog maupun pertunjukan seni.
Di negeri ini, masalah SARA sangat rentan, karena itu mudah tersulut. Pendekatan budaya memang dibutuhkan untuk meredam “api” yang gampang membesar.
Salah satunya dengan kesenian (sastra). Sebab sastra membawa pesan, menyentuh hati terdalam. Berbeda dengan karya jurnalistik: ia hanya mengantar kabar.
Contoh di Lampung kala itu, pendekatan budaya yakni dengan menghimpun para sepuh/tokoh kedua etnis serta melibatkan beberapa NGO, akhirnya tercapai kesepakatan.
Dan, puisi esai ini juga bagian dari sedikit upaya mengeliminasi terulangnya kerusuhan antaretnis di tanah air. Wallahu a’lam. []
Lampung Selatan, 11-18 Oktober 2022
–0–
(Isbedy Stiawan ZS, lahir di Tanjungkarang, Lampung pada 5 Juni 1958, dan sampai kini masih menetap di kota kelahirannya. Menulis puisi, cerpen, dan esai juga karya jurnalistik.)
– Buku Puisi Esai Denny JA: 25 kisah kekerasan Primordial di 5 wilayah Setelah Reformasi: JERITAN SETELAH KEBEBASAN (2022), dapat dibaca melalui link ini: 👇
–
https://www.puisiesai.com/wp-content/uploads/2022/11/Jeritan-Setelah-Kebebasan_compressed.pdf
Release, sarinah (7/12/2022)