Konflik Agama di Maluku (1999-2002) dalam Puisi Esai Denny JA
BIARKAN REBANA DAN TOTOBUANG KEMBALI BERSANDING
Jacky Manuputty
(Sekum PGI dan Penerima Tanenbaum Award, New York City, USA, pada 2012
untuk kategori Peacemakers in Action)
*** Melalui untaian larik-larik bermajas, Denny JA menghidupkan kembali ‘titik balik’ dari konflik kemanusiaan berwajah agama yang telah menubuhkan luka dalam rajutan kekerabatan orang-orang Maluku.***
‘Konflik Maluku’ membuktikan betapa digdayanya agama ketika digunakan untuk memprovokasi konflik dan melanggengkannya.
Dimulai pada 19 Januari 1999, dan berlangsung selama lebih dari tiga tahun, konflik kekerasan antara orang Kristen dan muslim pecah di Kota Ambon, ibu kota Maluku, dan di pulau- pulau Maluku lainnya.
Dalam beberapa hari, kecelakaan kecil antara seorang pengemudi minibus publik Kristen setempat dan dua imigran muslim meledak menjadi “konflik agama” yang luar biasa dan mencabik-cabik kedamaian di Maluku.
Kekerasan meningkat dengan cepat dan memobilisasi orang-orang dari kedua belah pihak, baik untuk melarikan diri ke tempat yang aman, atau untuk mendukung kelompok mereka dengan bergabung dalam pertempuran.
Di kedua sisi orang mempersenjatai diri dengan senjata rakitan, kemudian berkembang menjadi senapan mesin berat, bom rakitan, hingga granat dan mortir.
Seluruh wilayah itu secara ketat terbagi menjadi wilayah Kristen dan juga wilayah Islam.
Tidak ada keraguan bahwa elemen yang menonjol sejak awal konflik adalah agama.
Meskipun bisa dibilang tidak ada cara untuk mengkategorikannya hanya sebagai konflik agama, orang tidak dapat menyangkal bahwa agama berkontribusi besar terhadapnya.
Elemen agama memusatkan energi dari seluruh periode konflik dan membenarkan serangan yang berkepanjangan. Pada akhirnya, agama dibenarkan perannya ketika mereka menyebut konflik itu sebagai perang suci.
Dari banyak menara mesjid, perintah untuk berjihad hampir selalu diteriakkan. Sementara di dalam banyak Gereja, para pendeta berdoa untuk pejuang Kristen sambil memberkati mereka sebelum pergi berperang.
Alquran dan juga Alkitab, serta interpretasi dari teks-teks suci ini digunakan untuk membenarkan kekerasan dan hak untuk membunuh orang kafir.
“Ini adalah perang suci, dan kita harus membela agama kita dari musuh-musuhnya,” itulah yang diyakini kebanyakan orang selama konflik.
Oleh karena itu, sebagian besar simbol-simbol agama, meskipun merupakan simbol perdamaian, diinterpretasi ulang dan mendapatkan makna baru untuk menyulut konflik.
Kata “shalom” yang berarti “damai” telah digunakan dalam kelompok-kelompok Kristen untuk menggelorakan solidaritas kelompok ketika mereka pergi ke medan perang.
Setiap kali terdengar orang-orang meneriakkan “shalom,” itulah penanda bahwa para pejuang Kristen siap untuk berperang melawan musuh- musuh mereka.
Di sisi lain, ketika umat Islam memekikkan, “Allāhu Akbar” yang berarti “Allah Maha Besar”, maka itulah juga tanda bahwa mereka sedang berbaris untuk berperang.
Tidak ada tokoh lain yang menonjol di medan pertempuran selain seorang pemimpin agama yang mampu menafsirkan doktrin perang dan membenarkan bahwa Tuhan menghendaki perang suci melawan orang-orang kafir.
Baik pejuang muslim maupun Kristen tidak akan berangkat ke medan perang tanpa restu dari para pemimpin agama mereka; jika tidak, tidak ada berkah sebelum pemimpin mengutip beberapa ayat kitab suci mereka atas nama Tuhan.
Tidak bisa disangkal bahwa agama telah tampil dengan cara yang amat mengerikan selama periode konflik Maluku.
Akibatnya, kekerasan besar-besaran meletus dan berlanjut, menyebabkan ribuan luka dan kematian. Jumlah korban tewas meningkat menjadi lebih kurang 9.000 orang di kedua sisi, dan pengungsian internal mencapai sekitar 350.000, sepertiga hingga setengah dari total populasi provinsi.
Konflik barbar itu tidak meninggalkan apa-apa selain bencana. Setelah empat tahun, masyarakat Maluku telah mengalami kehancuran tragis dalam skala besar.
Konflik ini menghancurkan tidak hanya bangunan, termasuk fasilitas umum dan pemukiman, tetapi juga struktur sosial, nilai-nilai moral, dan hubungan dasar.
Komunitas dipisahkan oleh agama, tidak hanya oleh lokasi tempat tinggal mereka, tetapi juga oleh mentalitas masing-masing. Selain itu, komunitas terkondisikan dalam pengalaman trauma yang berkepanjangan.
Hubungan di antara kelompok-kelompok agama lokal ini ditandai oleh kecurigaan, ketidakpercayaan, dan kesalahpahaman.
Selain itu, kekerasan yang berkepanjangan mencederai tradisi budaya lokal tentang kerja sama antaragama, seperti pela-gandong (“sistem aliansi antar-etnis/desa”) dan salam- sarane (“persatuan Muslim-Kristen”) yang sumber daya budayanya telah berkontribusi pada koeksistensi damai antara muslim dan Kristen Ambon/Maluku selama ratusan tahun.
Bagaimanapun juga, tak ada yang dimenangkan dari konflik itu. “Kalah jadi abu, menang jadi arang,” kata para leluhur.
Selalu ada jalan pulang, titik balik bagi yang tersesat, hal mana dituturkan Denny JA dalam syair “Titik Balik Pendeta dan Bambu Gila.”
Melalui untaian larik-larik bermajas, Denny JA menghidupkan kembali ‘titik balik’ dari konflik kemanusiaan berwajah agama yang telah menubuhkan luka dalam rajutan kekerabatan orang-orang Maluku.
Menyandingkan sequence damai dengan dinamika konflik dalam syair-syair ini sesungguhnya penting untuk memperoleh rekaman utuh dari proses transformasi konflik.
Banyak kajian mengenai konflik Maluku cenderung memfokuskan diri pada analisa konflik serta penyebab-penyebabnya, dan tak banyak menelisik dinamika perdamaian.
Syair-syair Denny JA menawarkan pendekatan yang utuh dengan memotret proses transformasi aktor dari konflik ke perdamaian. Kisah-kisah titik balik adalah bentuk narasi damai yang inspiratif, memiliki dampak dan daya tarik yang sama dengan drama konflik.
Penyesalan memang selalu terlambat datangnya, namun penyesalan menyumbang vitalitas yang cukup pada sebuah titik balik serta pemulihan.
Pendeta Robert mengalaminya, begitu pula Walid ataupun Adrian, para tokoh dalam lima syair Denny JA tentang konflik dan perdamaian di Maluku.
Memotret penyesalan dan mengabadikannya memang diperlukan untuk membangun memori kolektif tentang perdamaian, sekaligus menegaskan tekad untuk tidak mengulangi kebodohan.
Ronald Regang, mantan tentara anak di pihak Kristen yang diangkat Denny JA dalam syairnya tentang titik balik, selalu katakan, “jangan melakukan glorifikasi kekerasan atas nama agama.
Kami di Maluku telah merasakannya dan membayar harganya dengan sangat mahal.”
Kini Maluku telah kembali bernyanyi. ‘Orang Basudara’ (orang bersaudara) sudah ulurkan tangan dan berpelukan. ‘Kain Gandong’ digelar lagi untuk satukan perbedaan antar sesama saudara.
‘Ambon Setelah Konflik Reda’ adalah cerita membayar hutang, hutang peradaban yang dihancurkan atas nama agama.
Getaran hati Sunu di malam Natal, dalam syair Denny JA tentang kondisi pasca- konflik, adalah getaran hati seluruh masyarakat Maluku yang tak henti membayar hutang dari kebodohan dan kesia-siaan konflik di masa lalu.
Kini rebana (instrumen musik tabuh di komunitas muslim) dan totobuang (instrumen musik tabuh di komunitas Kristen) kembali bersanding dalam rampak yang indah.
Agama kembali diwajahkan dengan sejuk dan damai di Maluku, meresapi dan membalut hati-hati yang luka, sambil menginspirasi anak- anak Maluku untuk menghadirkan rahmat dan shalom bagi semesta. []
–0–
Pdt. Jacky Manuputty. Pendeta Gereja Protestan Maluku yang juga Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI).
Ia pernah memperoleh Ma’arif Award 2007 untuk kategori Pekerja Perdamaian dan Tanenbaum Award, New York City, USA, pada 2012
untuk kategori Peacemakers in Action
– Buku Puisi Esai Denny JA: 25 kisah kekerasan Primordial di 5 wilayah Setelah Reformasi: JERITAN SETELAH KEBEBASAN (2022), dapat dibaca melalui link ini: 👇
–
https://www.puisiesai.com/wp-content/uploads/2022/11/Jeritan-Setelah-Kebebasan_compressed.pdf
Release, Selasa, (sarinah/13/12/2022)