AGAMA : WARISAN KULTURAL BERSAMA UMAT MANUSIA

AGAMA : WARISAN KULTURAL BERSAMA UMAT MANUSIA

AGAMA : WARISAN KULTURAL BERSAMA UMAT MANUSIA

(Sembilan Pemikiran Denny JA Soal Agama di Era Google)

Oleh Ahmad Gaus AF

Sebuah gagasan yang kuat, yang dituangkan dalam kata-kata yang kuat, akan menjadi quote yang abadi karena akan terus diingat orang. Berjilid-jilid buku bisa ditulis oleh para ilmuwan.

Beratus-ratus karya bisa lahir dari tangan para intelektual yang produktif. Tapi, kalau mereka tidak mampu menuangkan gagasannya dalam satu kalimat yang kuat, mudah diingat, dan quotable, maka gagasan-gagasan mereka hanya akan menumpuk di lemari perpustakaan. Atau menguap begitu saja di antara gagasan-gagasan lain.

Di pasar ide yang sangat berisik, tidak setiap gagasan dapat didengar orang. Apalagi di era media sosial seperti sekarang ini. Semua orang berbicara dan ingin didengar. Akibatnya, kita tidak mendengar apa-apa, karena memang tidak ada yang layak didengar.

Maka, kalau seseorang ingin gagasannya didengar di tengah gemuruh pasar, ia harus membuat dentuman. Semua orang akan tertegun. Mendengarkan. Dan terkesima. Lantaran apa yang dikatakannya benar-benar segar. Baru. Mendobrak kebekuan.

Semua orang akan menjadikannya sebagai kutipan favorit yang akan disebarkan pada orang lain, karena dia yakin bahwa gagasan itu sangat kuat dan perlu diketahui oleh orang lain sebagai inspirasi.

Saya termasuk orang yang senang mengumpulkan kutipan- kutipan yang kuat dan inspiratif, yang mampu mengubah sudut pandang terhadap suatu persoalan yang rumit.

Dalam beberapa tulisan Denny JA, saya menemukan kata-kata ini: “Agama-agama adalah warisan kultural milik bersama umat manusia.” Saya merasa mendapat pencerahan.

Kata-kata itu sangat kuat. Kata-kata itu mengubah perspektif tentang hubungan antaragama yang selama ini cenderung dilihat dalam bingkai teologi atau keimanan.

Bagi saya, kata-kata itu mampu menerobos tembok pembatas antaragama yang sudah terbangun berabad-abad.

Tidak bisa dipungkiri bahwa hubungan antaragama di mana pun cenderung bersifat seremonial, kaku, bahkan konfliktual — laten maupun manifes.

Apalagi preferensi utamanya ialah truth claim, dimana masing-masing pihak merasa paling benar dan paling selamat — yang lain sesat semua dan harus diselamatkan.

Sejarah agama, sejarah kita, didikte oleh sejenis teologi eksklusif yang menyingkirkan orang lain. Memandang yang lain sebagai musuh abadi yang harus dimusnahkan. Para peneliti studi agama menyebut ini sebagai teologi kebencian.
Representasinya adalah para teroris atas nama Tuhan.

Tapi teologi kebencian dipeluk bukan hanya oleh teroris melainkan juga oleh mereka yang mendukung dan mengamini secara diam-diam tindakan para teroris itu.

Artinya, teologi kebencian tertanam sangat dalam di lubuk hati para pemeluk agama ketika berhadapan dengan pemeluk agama lain.

Kekerasan atas nama agama, termasuk perang dan terorisme, adalah perwujudan sejati dari teologi kebencian ini.

Maka kaum sekular dan ateis menuduh agama bertanggung jawab atas berbagai kekerasan berdarah di muka bumi.

Tidak mudah memang untuk keluar dari jebakan teologi kebencian ini. Sebab, jeratnya sudah dipasang di mana-mana: keluarga, lingkungan, tempat ibadah, sekolah, dll.

Ia ibarat bom waktu yang siap meledak kapan saja. Dampaknya ialah disintegrasi sosial, instabilitas, sampai kekerasan harfiah.

Para reformis mencoba menawarkan sudut pandang yang berbeda atas teologi kebencian ini dengan teologi humanis. Tuhan tidak lagi dipandang sebagai provokator agung yang mengadu domba kaum beriman satu sama lain. Agama tidak lagi dipandang sebagai musuh perdamaian.

Faktanya, agama-agama secara inhern dalam
dirinya mengandung ajaran kasih sayang dan perdamaian.

Maka ada seruan-seruan untuk mencari kesamaan atau titik temu agama-agama. Gus Dur, misalnya, terhadap pastor YB Mangunwijaya pernah mengatakan: Saya dan Romo Mangun berbeda agama tapi satu iman.

Cak Nur mengatakan bahwa agama-agama adalah satu, tapi namanya berbeda-beda. Ungkapan-ungkapan itu menjadi semacam dalil bagi keharusan untuk meneguhkan perdamaian dan cinta kasih, ketimbang konflik, atas nama iman. Dan sekaligus argumen untuk keluar dari jebakan teologi kebencian.

Dan di titik ini pula kata-kata Denny JA di atas: “Agama- agama adalah warisan kultural milik bersama umat manusia,” menjadi penting karena menumbuhkan cara pandang yang berbeda terhadap hubungan antaragama.

Ia menjadi seruan kepada setiap pemeluk agama untuk memandang agama dan tradisi keimanan yang lain sebagai miliknya juga.

Dan agama-agama, at the end of the day, bukan hanya wahyu tapi juga bentukan sejarah. Dan sejarah dibentuk oleh kita, manusia dan peradabannya.

Karena itu setiap agama dan tradisi keimanan adalah milik kita bersama umat manusia. Mengingkari itu berarti mengingkari kemanusiaan kita sendiri.

-000-

Pertanyaannya, bagaimanakah Denny JA bisa sampai pada gagasan seperti itu? Dalam bukunya yang berjudul 11 Fakta Era Google: Bergesernya Pemahaman Agama (2021), Denny merefleksikan pengamatannya terhadap agama di masa revolusi industri keempat.

Menurutnya, di era ketika disrupsi dan perubahan mendasar terjadi pada teknologi, bisnis, politik, dan media massa, maka disrupsi dan perubahan mendasar juga terjadi pada cara kita memandang dan menikmati khazanah agama.

Denny mengamati sebuah fenomena yang menurutnya akan semakin sering kita saksikan. Ia akan melanda pada semakin banyak dan semakin beragam manusia. Yakni, perayaan hari besar agama yang dilakukan oleh lintas agama.

Hari Natal tak hanya dirayakan oleh pemeluk agama Kristen. Pemeluk agama lain, bahkan yang tak beragama sekalipun ikut merayakan. Mereka menikmati kehangatan komunitas. Tukar menukar hadiah. Menghiasi ruang tamu dengan pohon terang.

Bahkan ikut menjadi tuan rumah acara, walau sepenuhnya mereka tak percaya Yesus lahir tanggal 25 Desember. Mereka ikut membagi kasih sayang dalam perayaan itu, walau mereka tak percaya ada manusia yang bisa lahir dari ibu yang perawan.

Bulan Ramadan kini juga telah “dimiliki” oleh seluruh umat. Momen satu bulan itu, dan hari raya di ujungnya, tak hanya dirayakan oleh penganut Islam. Penganut agama lain, dan bahkan yang tak beragama ikut merayakannya.

Mereka ikut menikmati keunikan berpuasa, berlapar berhari-hari, walau mereka tak percaya konsep surga hanya untuk orang muslim. Mereka ikut merasakan kehangatan bermaaf-maafan, walau tak percaya Quran itu wahyu dari Tuhan pemilik semesta.

Orang-orang non-Hindu, kata Denny , kini juga merayakan Hari Nyepi. Malam dibiarkan gelap gulita. Merenung masuk ke dalam diri. Momen ini ikut dinikmati oleh siapa saja, bahkan yang tidak beragama.

Mereka ikut menikmati keunikan tahun baru Saka, walau tak percaya hadirnya dunia dewa-dewa. Mereka bahkan bersedia datang dari jauh ke Bali, menikmati momen ini, walau sama sekali tak percaya Bhagavad Gita itu karya Dewa Ganesha.

Mereka bisa semalam suntuk mendengar wayang yang berkisah tentang perang Baratayudha. Mereka ambil pelajaran moral kisah itu, walau tak percaya, dewa Ganesha itu makhluk sakti berwajah gajah.

Melampaui perdebatan yang tidak berujung tentang kebenaran atau ketidakbenaran kisah-kisah kenabian, Denny menyajikan sisi lain yang lebih positif terhadap narasi keagamaan.

Ia menuturkan bahwa kini banyak orang yang dapat menikmati dengan rileks kisah Nabi Musa membelah laut. Walau mereka tak percaya ini benar benar terjadi dalam sejarah.

Mereka ambil hikmah kisah Nabi Nuh, walau tak meyakini ada banjir besar yang bisa menenggelamkan seluruh bumi.

Air yang ada di seluruh semesta tak cukup untuk bisa menenggelamkan puncak gunung Himalaya.

Begitu juga kisah Nabi Ibrahim yang mengurbankan anaknya, mereka ikut menyelami dan menikmati filosofinya. Dan mereka tak terlalu peduli siapakah anak yang dikurban Nabi Ibrahim itu?

Ishak kah seperti yang diyakini umat Kristen? Atau Ismail kah seperti yang diyakini umat Islam? Mereka juga tak peduli kok bisa penganut dua agama besar meyakini dua fakta yang berbeda, dan tetap diyakini lebih dari satu miliar manusia, dan lebih dari seribu tahun.

Ilustrasi di atas disodorkan oleh Denny untuk menunjukkan bahwa kini agama telah dipahami sebagai kekayaan kultural milik bersama. Agama tak lagi didekati sebagai doktrin benar dan salah. Tapi agama dihidupi sebagai dokumen peradaban.

Mereka yang meyakini agamanya sebagai satu-satunya kebenaran mutlak tetap hadir, keyakinan “hanya agama saya yang benar,” itu tetap tumbuh dan dihormati.

Tapi mereka yang tak lagi percaya pada agama itu, tetap menikmati agama itu sebagai kekayaan kultural belaka. Sama seperti mereka menikmati kekayaan adat istiadat.

Inilah kearifan baru yang akan semakin banyak di era Google: memandang, menghormati, dan menikmati agama sebagai kekayaan kultural milik bersama.

Tak hanya sebanyak 4.300 agama yang kini ada dihormati, dan dianggap kekayaan kultural milik bersama. Tapi juga puluhan ribu aliran kepercayaan, mulai dari yang diyakini suku Aborigin di Australia, hingga suku terasing di pedalaman Afrika.

DUA TREN BESAR

Fakta bahwa agama-agama kini telah dipandang sebagai kekayaan kultural bersama mungkin masih terbatas di negara-negara maju, dan di kalangan orang-orang yang “tercerahkan”.

Namun di negara-negara berkembang, fakta ini masih samar-samar dan harus terus didorong menjadi sebuah pola hidup yang massif. Dalam hal ini Denny menyajikan dua tren besar.

Pertama, tren menetralkan ruang publik dari dominasi satu agama. Kedua, tren menjadikan intisari ajaran agama sebagai inspirasi.

Untuk tren yang pertama, Denny mengingatkan bahwa negara nasional yang modern bertumpu pada konsep kewarganegaraan. Sudah menjadi hukum besi semua negara modern: semua warga negara memiliki kedudukan hukum yang setara, apapun keyakinan agamanya.

Ruang publik negara nasional itu milik bersama yang harus bisa dinikmati oleh semua warga negara, tanpa diskriminasi.

Ada tiga alasan yang membuat negara modern menetralkan ruang publik dari dominasi satu agama saja.
Alasan pertama: solusi jalan tengah. Penganut agama A tak ingin agama B, atau agama C, atau agama D, dan agama lainnya yang mendominasi ruang publik. Penganut agama B juga tak ingin agama A, agama C, agama D dan agama lainnya yang mendominasi.

Sementara kini ada 4.300 agama. Di setiap agama besar ada aneka aliran yang berbeda pula. Di Kristen, ada Protestan, Katolik dan ratusan denominasi di dalamnya. Di Islam: ada Sunni, Syiah, Ahmadiyah, dan lainnya.

Perbedaan aliran internal lain juga terjadi pada agama besar lain. Ruang publik yang dinetralkan dari dominasi satu agama menjadi solusi jalan tengah. Jika tidak, akan terjadi pertarungan tiada henti, bahkan berdarah, berebut menjadi agama penguasa tunggal ruang publik.

Alasan kedua: alasan faktual. Dalam esai sebelumnya sudah dikemukakan data tentang 10 negara yang paling berhasil membuat warga bahagia. Top 10 negara yang pemerintahannya paling bersih. Top 10 negara yang paling sejahtera. Pada semua negara itu, warga menganggap agama tak lagi memainkan peran penting dalam hidupnya.

Bukankah negara ideal harus membuat warga negara bahagia, sejahtera, dan pemerintahannya bersih dari korupsi? Semua contoh faktual yang ada menunjukkan di berbagai negara Top 10 itu, ruang publiknya netral dari dominasi satu agama. Itu memang fakta. Dan fakta lebih kuat daripada kepercayaan.

Alasan ketiga: alasan esensial. Dunia agama adalah dunia kepercayaan. Kristen percaya Yesus (Nabi Isa) mati disalib. Islam percaya Nabi Isa tak mati disalib. Kepercayaan atas dua fakta yang bertolak belakang itu masing-masing dihormati.

Tapi ruang publik, tapi public policy, tapi roda ekonomi, tapi roda politik, tapi roda teknologi, adalah dunia perdebatan. Itu ruang saling berbantah untuk mendapatkan solusi lebih baik untuk lebih banyak warga negara. Itu ruang yang selalu berubah.

Ruang perdebatan adalah ruang riset empirik. Ruang itu tak bisa disandarkan kepada kepercayaan belaka. Justru ruang publik itu harus menghidupkan keraguan.

Itu sebabnya, semakin ruang publik dinetralkan dari dominasi satu agama, ia akan lebih mudah bahkan untuk membuat lebih banyak warga negara lebih bahagia.

Tren yang kedua ialah menjadikan intisari agama sebagai inspirasi. Denny merujuk pada riset terkait fenomena era post materialism. Era ketika data menunjukkan lebih banyak orang mati karena kebanyakan makan ketimbang kekurangan makan.

Data menunjukkan lebih banyak orang mati karena bunuh diri ketimbang karena korban terorisme plus perang plus bencana alam.

Ini era kebutuhan meaning of life. Sebanyak 4.300 agama yang ada plus puluhan ribu aliran kepercayaan lain adalah samudra inspirasi untuk meaning of life.

Tiga intisari terpenting dunia agama dan kepercayaan adalah kebajikan, power of giving dan kesatuan manusia (oneness). Kebajikan atau virtue dianggap satu-satunya nilai esensial. Semua hal lain hanya bernilai positif jika ia membawa kebajikan. Kekayaan, kekuasaan, ilmu pengetahuan hanya positif jika ia membawa kebajikan.

Tapi jika membawa keburukan, kekuasaan dan kekayaan, bahkan pengetahuan menjadi negatif.

Power of giving adalah intisari dunia agama berikutnya. Kapan pun, di mana pun, pasti selalu ada segmen masyarakat yang jauh lebih lemah. Tradisi memberi, menolong, berbagi, kini tak hanya dianggap penting.

Berbagai riset menunjukkan power of giving menjadi satu mindset dan habit yang menimbulkan kebahagiaan otentik. Kesatuan manusia menjadi tema sentral banyak agama. Karena Tuhan satu, alam semesta juga satu, maka manusia juga satu.

Bahkan rasa satu (oneness) antara sesama manusia, manusia dan alam, juga menimbulkan tak hanya happiness. Ia juga positif bagi lingkungan hidup karena pohon, sungai dan udara dianggap bagian dari keluarga.

Di era post materialism, justru peran dunia agama sebagai samudra inspirasi bagi meaning of life menjadi penting.
Menjadikan intisari agama-agama sebagai inspirasi bagi kehidupan umat manusia adalah seruan terpenting dari gagasan Denny JA.

Seruan ini tidak lahir dari ruang hampa. Ia hasil dari pengamatan dan renungan intensif terhadap berbagai tren yang muncul di era revolusi industri keempat.

Di era inilah terjadi disrupsi dan perubahan mendasar dalam cara kita memandang agama. Denny menyebutnya pergeseran pemahaman agama di era Google, dari Kebenaran Mutlak menjadi kekayaan kultural milik bersama.

SEBELAS FAKTA GOOGLE

Denny sudah menyodorkan dua tren besar yang memulai pergeseran itu. Yakni. menetralkan ruang publik dari dominasi satu agama, dan tren mengambil intisari agama untuk meaning of life.

Di balik dua tren besar itu, menurutnya, bekerja 11 fakta baru dan lama, yang semakin lama semakin kuat. Antara lain ilmu pengetahuan dan teknologi yang kini menjadi kekuatan kreatif peradaban.

Sebelas fakta (baru dan lama) di era Google menjadi hukum besi, yang perlahan tapi pasti, mendorong kita menghormati dan menikmati dunia agama yang kini jumlahnya 4.300 itu sebagai kekayaan kultural milik bersama.

Sebelum mengakhiri esai ini, ada baiknya kita sajikan kembali apa saja sebelas fakta dan temuan di era Google, yang sebagian sudah kita ulas pada esai-esai sebelum ini.

Sebelas fakta Google ini, menurut Denny, akan mengubah cara kita memahami agama.

Pertama, di negara yang indeks kebahagiaannya tinggi (World Happiness Index), umumnya level beragama masyarakatnya rendah.

Negara yang paling mampu membuat warganya bahagia, sebagaimana diukur oleh World Happines Index, populasi di negara itu cenderung menganggap agama tak lagi penting dalam kehidupan mereka (diukur dari religiosity index).

Kedua, di negara yang tingkat beragamanya tinggi (Religiosity Index), pemerintahannya cenderung korup. Banyak negara yang lebih dari 90 persen populasinya menyatakan agama sangat penting dalam hidupnya.

Di negara itu, tingkat korupsi pemerintahannya juga sangat tinggi (diukur dengan The Corruption Perception Index).

Ketiga, di negara yang pembangunan manusianya tinggi (Human Development Index), tingkat beragama masyarakatnya cenderung rendah. Human Development Index (HDI) mengukur kemajuan negara dengan aneka dimensi, mulai dari kesejahteraan, kesehatan, hingga pendidikan. Itu hal penting yang membangun manusia.

Top 10 negara yang tertinggi HDI-nya, cenderung masyarakatnya tak menganggap agama sebagai hal yang penting dalam hidupnya.

Keempat, pada masyarakat yang tingkat beragamanya tinggi, memiliki kecerdasan rata-rata (Cognitive Test Measurement ) lebih rendah dibandingkan masyarakat yang tingkat beragamanya lebih rendah.

University of Rocherter secara khusus mengukur hubungan antara tingkat IQ dan agama. Hasil temuan itu diterapkan untuk teritori dunia.

Kelima, dua agama paling besar: Islam dan Kristen, meyakini dua fakta yang bertolak belakang. Mustahil dua fakta ini benar. Salah satunya pasti salah.

Publik luas menyaksikan. Fakta yang salah pun bisa diyakini oleh lebih dari satu miliar manusia, dan lebih dari 1000 tahun.

Kristen meyakini fakta bahwa Yesus (Nabi Isa) wafat disalib. Islam meyakini fakta sebaliknya: Yesus (Nabi Isa) tidak wafat disalib.

Kristen meyakini yang akan dikorbankan oleh Nabi Ibrahim adalah Ishak. Islam meyakini yang akan dikorbankan oleh Nabi Ibrahim adalah Ismail.

Dari kasus dua fakta itu, mustahil dua-duanya benar. Jika Nabi Isa (Yesus) wafat disalib, mustahil fakta Nabi Isa tak wafat disalib benar. Begitu pula sebaliknya.

Jika fakta yang “akan dikorbankan Nabi Ibrahim adalah Ismail,” mustahil fakta “Ishak yang akan dikorbankan” benar. Begitu pula sebaliknya.

Pasti ada yang salah di antara dua keyakinan itu. Toh fakta yang salah bisa diyakini oleh begitu banyak manusia. Begitu lama. Inilah kenyataan agama. Bahkan ini terjadi pada salah satu dari dua agama terbesar di atas.

Keenam, arkeolog, antropolog, dan ilmuwan menemukan banyak fakta. Menurut temuan mereka, beberapa nabi itu bukan tokoh sejarah: Musa, Nuh, Adam.

Arkeolog juga menemukan betapa beberapa kisah nabi itu menyerupai kisah rakyat dari era peradaban yang lebih tua dari usia kitab suci. Temuan ini juga mengubah cara kita memahami masa lalu di era kitab suci diriwayatkan.

Kisah Nabi Musa misalnya. Bahwa, Nabi Musa ketika bayi dibuang di sungai, diletakkan dalam keranjang, lalu ditemukan di negeri lain oleh petugas kerajaan. Kemudian ia dibesarkan di istana. Lalu ia kembali ke tanah asal, menjadi pemimpin.

Kisah Nabi Musa di atas sama persis dengan kisah Raja Sargon dari Summeriah/Mesopotamia, yang dokumennya lebih tua dibandingkan Bible.

Ketujuh, kebijakan publik top 10 negara paling sejahtera, paling bahagia, paling membangun manusia, tak lagi merujuk kitab suci.

Hukum yang disusun di parlemen. Temuan ilmu di labolatorium. Perkembangan bisnis di dunia modern. Keputusan politik pemangku kebijakan. Semua diambil dengan semakin tidak merujuk pada kitab suci.

Kedelapan. Kini hidup 4.300 agama yang berbeda. Peradaban menyaksikan pertarungan para fanatik mengklaim berbagai kebenaran mutlak yang saling tak identik.

Sebuah renungan untuk melihat betapa perbedaan itu terjadi pada isu dan pokok masalah yang tak bisa difalsifikasi. Tak ada pegangan objektif untuk mengetahui yang mana yang benar.

Kesembilan, setelah pendiri agama tiada, (penerima wahyu seperti yang diyakini penganutnya) wafat, yang tersisa hanya perbedaan tafsir para ahli.

Para pendeta, ulama, biksu berbeda beda memahami dan beropini mulai dari hal yang esensial hingga hal teknis. Di agama Islam, misalnya, soal siapa pengganti Nabi Muhammad selaku pemimpin masyarakat? Haruskah pengganti itu keturunan nabi atau pemimpin yang dipilih?

Perbedaan itu bahkan terjadi di kalangan generasi pertama muslim. Beda sikap bahkan sudah ada pada mereka yang mengenal nabi. Perbedaan ini telah membelah agama Islam menjadi Sunni versus Syiah. Hingga masa kini, pembelahan itu terus hidup.

Bahkan soal teknis, kapan lebaran dimulai, Muhammadiyah dan NU memiliki metode yang berbeda. Hasilnya pun, kapan lebaran terjadi, juga acap berbeda. Hal yang serupa terjadi pada agama lain.

Kesepuluh, perayaan hari besar agama, seperti Natal, juga mulai dirayakan penganut agama lain. Bagi mereka, Natal adalah peristiwa kultural yang cukup syahdu untuk ikut dirayakan walau mereka tak meyakini agama Kristen.

Pew Research Center mencatat betapa banyak sekali penganut agama lain, juga yang tak beragama, di Amerika Serikat tak hanya hadir. Mereka juga menjadi tuan rumah perayaan Natal.

Kesebelas, hak asasi manusia menghargai kebebasan beragama ataupun tak beragama. Apapun tafsir, dan keyakinan soal Tuhan, agama, dan kebenaran, itu diserahkan kepada pilihan individu.

Keyakinan itu dilindungi sejauh tak ada pemaksaan dan kekerasan kepada pihak lain. Kini mereka yang tak meyakini agama apapun adalah segmen terbesar nomor tiga di dunia, setelah penganut Kristen dan Islam.

Sebelas Fakta di Era Google itu, menurut Denny JA, akan mendorong kita menghormati dunia agama sebagai kekayaan kultural milik bersama.

Ini merupakan temuan penting Denny JA, yang untuk ringkasnya saya ingin menyebutnya sebagai DJA’s Way of Religion.

Di hadapan fakta bahwa kini ada sebanyak 4.300 agama dan puluhan ribu kepercayaan, tidak bisa lain kita harus menerima dan mengakuinya sebagai milik kita juga.

Agar kita terhindar dari konflik atas nama keyakinan yang selalu memakan korban. Agar dunia lebih nyaman untuk dihuni. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, ribuan agama dan kepercayaan itu telah menjadi pelita hidup homo sapiens sepanjang masa dan sekaligus sumbu penggerak peradaban.

Karena itu, sekali lagi sebagai penutup esai ini, saya ingin mengutip kembali kata-kata Denny JA: “Agama-agama adalah warisan kekayaan kultural milik kita bersama umat manusia.”

Kata- kata ini sangat kuat, quotable, mencerahkan, dan mengubah perspektif tentang hubungan antaragama yang selama ini cenderung dilihat dalam bingkai teologi atau keimanan. (sarinah)

Rewrited, sarinah
Malang, March 24, 2023

GRATIS SPP 4 TAHUN
PENERIMAAN MAHASISWA BARU
UNIVERSITAS TRIBUANA TUNGGA DEWI
UNITRI – MALANG
2023/2024

CATATAN:

1. Istilah teologi kebencian dipopularkan oleh George Michael dalam bukunya, Theology of Hate: A History of the World Church of the Creator, University Press of Florida, 2009. Esai ringkas dalam sejarah Islam mengenai ini lihat, M. Khoirul Huda, “Melacak Genealogi Teologi Kebencian Kaum Takfiri,” https: //islami.co/ melacak-genealogi-teologi-kebencian-kaum-takfiri/ 19 Mei 2020

2. Lihat, “Gus Dur & Romo Mangun”, https://redaksiindonesia.com/ read/gus-dur-romo-mangun

3. Nurcholish Madjid, Atas Nama Pengalaman: Beragama dan Berbangsa di Masa Transisi, Jakarta, Paramadina, 2001, hal. 123

(*** Ini bagian dari buku karya Ahmad Gaus AF tentang 9 Pemikiran Denny JA soal Agama di Era Google: Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama).

Buku itu dapat dibaca, diperbanyak dan disebar luaskan melalui klik:

https://m.facebook.com/groups/970024043185698/permalink/2174605606060863/?mibextid=lURqYx