AGUS R. SARJONO: DENNY JA DAN LAHIRNYA ANGKATAN PUISI ESAI

AGUS R. SARJONO: DENNY JA DAN LAHIRNYA ANGKATAN PUISI ESAI

DENNY JA DAN LAHIRNYA ANGKATAN PUISI ESAI
OLEH: AGUS R. SARJONO

JAKARTA | SARINAH NEWS || – Sastra Indonesia berjalan lambat, minat baca sangat berkurang, apalagi sejak era digital serba vision menggusur sastra di era sebelum abat 19an. Semua serba digital. Pertunjukan drama dan pembacaan puisi bisa dinikmati langsung via digital tanpa harus datang di gedung-gedung theater.

Soal Pusi esai, Sarinah News mengangkat tulisan Agus R. Sarjono yang consent terhadap puisi-pusi esai. Saat ini mulai banyak diminati oleh para penggemar sastra khususnya puisi esai, pun Denny JA saat ini sudah banyak puluhan buku kimpulan puisi esai yang telah diciptakannya.

Benarkah di era reformasi ini lahir “Angkatan Puisi Esai?”

Dituliskan sebagai kajian lahirnya era baru atau angkatan baru, yaitu Angkatan Puisi Esai, ia sampaikan sebagai berikut:

“Angkatan Sastra menjadi perbincangan hangat dan luas setiap suatu angkatan sastra digagas dan/atau diumumkan.

Hal ini terjadi saat diumumkannya Angkatan 45 oleh H.B. Jassin, “Angkatan Terbaru” dan kemudian “Angkatan 50” oleh Ajip Rosidi, “Angkatan 66” oleh H.B. Jassin, “Angkatan 70” oleh Abdul Hadi WM, dan Angkatan 2000 oleh Korrie Layun Rampan.

Nampaknya, dalam urusan angkatan sastra, sejauh ini tidak ada penamaan dan perancangan yang sesukses H.B. Jassin. Meskipun canangan Ajip Rosidi atas “Angkatan Terbaru/50-an”, apalagi “Angkatan 70” yang digagas Abdul Hadi WM dan “Angkatan 2000” yang dicanangkan Korrie Layun Rampan, sejauh menyangkut bahan cukup meyakinkan, namun keduanya tidak pernah mendapat tempat kestabil dan sekokoh angkatan sastra yang diajukan H.B. Jassin.

Secara sekilas, dapat dilihat bahwa ketidaksuksesan Angkatan 50 dan 70 diakibatkan oleh lemahnya pewacanaan angkatan bersangkutan baik dari segi konsep, kekokohan argumentasi, maupun terutama koherensi.

Angkatan 2000 Korrie Layun Rampan, misalnya, sebagai sebuah ide dan bahkan fenomena, sangat meyakinkan. Namun, intuisi sastra Korrie yang hebat tidak ditunjang dengan argumentasi yang adekuat dan bukti yang koheren.

Dari segi apapun akan sulit mencari garis merah antara karya Afrizal Malna yang puisinya cenderung berestetika dekonstruktif dengan misalnya puisi Ahmadun Y. Herfanda yang konvensional bahkan mengarah ke Amir Hamzah.

Jika saja ia menyortir dengan keras dan teliti semua karya yang ia masukkan dalam Angkatan 2000, boleh jadi hasilnya akan lebih valid dan berterima.

Bahkan, akan lebih mudah baginya jika angkatan yang diumumkannya itu diberi nama “Angkatan Reformasi” dan memilih semua karya sastra yang selaras dengan nama angkatan tersebut.

Sudah barang tentu nama H.B. Jassin sebagai kritikus sastra—yang dijuluki Paus Sastra Indonesia—memberi dampak signifikan pada kesohoran dan kestablikan angkatan sastra yang diproklamasikannya.

Jika diperhatikan sejarah kesusastraan Indonesia dan kesusastraan dunia, maka akan tampak bahwa tiap 15 tahun atau 25 tahun timbul generasi baru, demikian H.B. Jassin.

Jika Angkatan 2000 yang dikemukakan Korrie Layun Rampan dijadikan patokan, maka pertanyaannya adalah:

15 tahun atau 25 tahun setelah “Angkatan 2000” dalam sastra Indonesia muncul angkatan apa?

15 tahun setelah Angkatan 2000 adalah 2015 sementara 25 tahun setelah Angkatan 2000 adalah 2025.  Ada apa di sana?

Sudah barang tentu lahirnya suatu angkatan tidak menunjuk suatu waktu yang fixed.

Angkatan 45 diumumkan dan diterima kalangan sastra dengan tokoh-tokoh seperti Chairil Anwar, Asrul Sani, RIvai Apin, Idrus, Rosihan Anwar, Sitor Situmorang, Mochtar Lubis, Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, Sitor Situmorang, dsb.

Namun semua orang tahu bahwa Chairil Anwar, Idrus, Asrul Sani, misalnya, menulis dan memuatkan karyanya sebelum tahun 1945, sementara Sitor Situmorang setelahnya.

Demikian pula dengan Angkatan 2000. Hampir sebagian besar sastrawan yang dimasukkan ke dalamnya bahkan sudah menulis sejak tahun 90-an.

Maka, masa 15 tahun atau 25 yang dikemukakan H. B. Jassin bagi lahirnya suatu angkatan baru bersifat kurang lebih alias cair.

Kembali pada pertanyaan setelah Angkatan 2000 ada apa dalam sastra Indonesia?

-000-

Tahun 2012 muncul buku Atas Nama Cinta karya Denny JA. Sebuah buku “aneh” yang berisi puisi tapi bukan puisi, cerpen atau esai tapi berlarik-larik, bukan makalah tapi bercatatan kaki.

Buku aneh ini oleh penulisnya disebut “puisi esai”.

Setelah terbit buku puisi esai Atas Nama Cinta, bermunculan buku demi buku kumpulan puisi esai, seperti:

– Kutunggu Kamu di Cisadane Ahmad Gaus (2012),
– Manusia Gerobak Elza Peldi Taher (2013), Imaji Cinta Halima: Lima Kisah Kasih dalam Pergumulan Agama Novriantoni Kahar (2013),
– Kuburkan Kami Hidup-hidup, Anick HT (2014),
– Sanih, Kamu tidak Perawan(2014),
Testamen di Bait Sejarah Rama Prabu (2014),
– dan Mereka yang Takluk di Hadapan Korupsi Satrio Arismunandar (2014).

Kesemuanya berlabelkan puisi esai, kesemuanya memiliki basis estetika yang sama, dan kesemuanya mengelola tema-tema yang sama yang orang-orang yang terdiskriminasi atau terpinggirkan oleh sejarah atau sosial politik.

Setelah menerbitkan lima karya berbentuk aneh dan diberi nama puisi esai itu, Denny JA bergabung dengan Jurnal Sajak.

Waktu itu, Jurnal Sajak–media sastra/puisi tertebal di Indonesia sepanjang zaman (4x tebal Horison) itu baru memasuki edisi kedua.

Maka pada Jurnal Sajak edisi 3 dibuka rubrik baru, yakni rubrik puisi esai dengan redaktur Ahmad Gaus.

Jurnal Sajak juga menyelenggarakan Lomba Menulis Puisi Esai pada tahun 2013 dan 2014 dengan hasil yang mencengangkan.

Para pemenang Lomba Puisi Esai pertama terbit dalam buku Mata Luka Sengkon Karta (2013) yang memuat karya pemenang 1 Peri Sandi Huizche, pemenang 2 Beni Setia, dan pemenang 3 Saifur Rahman.

Bersama buku itu diterbitkan pula buku Dari Singkawang ke Sampit, Dari Rangin ke Ketelepon, Mawar Airmata, dan Penari Cinta Anak Koruptor, yang merupakan nominator lomba serta karya yang dianggap menarik dari lomba. Kesemuanya terbit tahun 2013.

Pemenang Lomba Puisi Esai kedua diterbitkan dalam buku Konspirasi Suci (2014) berisi pemenang 1 Burhan Shiddiq, pemenang 2 Riduan Siutumorang, dan pemenang 3 Isbedy Stiawan ZS.

Buku ini juga diikuti dengan terbitnya antologi nominator lomba serta karya menarik dari Lomba Menulis Puisi Esai ke-2, yakni Lumpur-lumpur Sejarah, Rantau Cinta Rantau Sejarah, dan Kisah Tak Wangi Belahan Jiwaku, semuanya terbit tahun 2014.

Yang menarik, dalam kedua Lomba Menulis Puisi Esai itu pemenangnya justru para debutan alias bukan dikenal sebagai penyair.

Dalam lomba pertama, Peri Sandi Huizche maupun Saifur Rahman pendatang baru, sementara Beni Setia penyair kawakan.

Dalam lomba kedua, Burhan Shiddiq maupun Riduan Siutumorang pendatang baru dan hanya Isbedy Stiawan ZS yang penyair kawakan.

Motto puisi esai “yang bukan penyair boleh ambil bagian” sudah langsung terbukti sejak lomba kesatu dan kedua.

Selain kelahiran pertama buku puisi esai, Atas Nama Cinta karya Denny JA, semua gerakan puisi esai ini bisa dibilang “tidak alamiah” melainkan by design, yang berpusat pada Denny JA sebagai pelopor puisi esai.

Gerakan puisi esai, selain dilakukan melalui Jurnal Sajak, juga dilakukan Denny JA dengan berbagai cara.

Salah satunya adalah kiprah Fatin Hamama yang berhasil mengumpulkan sekian banyak penyair atau sastrawan yang lumayan dikenal untuk masing-masingnya menulis puisi esai yang terbit dalam empat antologi yakni Serat Kembang Raya, Sungai Isak Perih Menyemak, Jula Juli Asam Jakarta, Moro-moro Algojo Merah Saga, dan buku Testamen di Bait Sejarah—sebuah puisi esai fenomenal Rama Prabu sepanjang dua ratusan halaman dengan ratusan catatatan kaki.

Semuanya terbit tahun 2014.
Pada tahun 2019 terbit buku Gerakan Besar Puisi Esai Indonesia: Suara Batin Indonesia di 34 Provinsi dalam 34 Puisi Esai.

Buku ini merupakan puisi esai terpilih dari 107 puisi esai dari 34 provinsi di Indonesia yang terbit sebelumnya.

Sementara dari tahun 2012, 2013, 2014 hingga 2019 sudah banyak hal terjadi dalam perpuisiesaian.

Pendek kata, dalam sastra Indonesia selama rentang 12 dan 24 tahun setelah Angkatan 2000 boleh dibilang secara besar-besaran diisi oleh fenomena baru, yakni “Puisi Esai.”

Bahkan, pro-kontra serta kehebohan yang diakibatkan oleh puisi esai melampaui l semua perdebatan angkatan sastra di Indonesia digabung menjadi satu.

Jika mengacu pada pendapat H.B. Jassin tentang angkatan sastra, maka angkatan sastra Indonesia selepas angkatan 2000 kelihatannya tidak bisa lain selain puisi esai.

Mungkin akan timbul pertanyaan, mungkinkah suatu angkatan sastra dilahirkan tidak secara alamiah melainkan by design.

Meskipun pertanyaan semacam ini tidak layak dikemukakan, namun dengan mudah dapat dijawab: “bisa!”

Sekalipun demikian, untuk menentramkan fihak-fihak yang bersikeras pada kealamiahan, puisi esai punya jawaban meyakinkan, yakni Sabah!

Gerakan puisi esai di Sabah, Malaysia, boleh dikatakan berjalan secara alamiah berkat ketertarikan dan keberanian—jika bukan kenekatan—Datuk Jasni Matlani.

Puisi esai, ternyata agak diam-diam tapi meyakinkan berkembang pesat di Sabah dan meluas ke beberapa wilayah Malaysia, selain ke Brunei Darussalam, Thailand, dan Singapura hingga kemudian menjadi gerakan besar pula.

Tidak kurang dari Sabah pula lah yang pertama kali menyelenggarakan Festival Puisi Esai yang kini sudah memasuki festival puisi esai ketiga.

Festival Puisi Esai ini diprakarsai oleh Datuk Jasni Matlani dan kawan-kawan. Perlu diketahui bahwa Festival Puisi Esai Asean yang megah ini pendanaannya ditaja (disponsori) oleh Pemerintah Sabah, Malaysia.

Justru di Indonesia sendiri Festival Puisi Esai baru diadakan di bulan Desember 2023.

Dengan demikian, telah lahirkah sebuah angkatan sastra yang baru, yakni Angkatan Puisi Esai?

“Hanya ada beberapa istilah yang sering digunakan—tetapi sedikit dipelajari—selama dua puluh tahun terakhir selain istilah ‘generasi’ alias angkatan”, demikian Stephen Graubard Di dunia ilmiah, dalam profesi kebijakan sosial, dan dalam pers, konsep generasi telah menjadi salah satu tema wacana kontemporer yang paling mudah diadaptasi.

Hingga kini tidak banyak yang berubah. Meskipun pentingnya gagasan generasi dalam pemahaman umum atau pemahaman awam tentang perubahan budaya, studi tentang generasi belum memainkan peran besar dalam pengembangan teori sosiologi.

Sementara itu, dalam kajian sastra, kata “generasi” digunakan dengan santai, seolah-olah kita sudah mengetahui apa yang dimaksud dengan penggunaan kata tersebut.

Meski begitu, bahkan ketika digunakan secara heuristik, istilah ini tetap mempertahankan kecemerlangan ilmu pengetahuan karena asal-usul biologisnya dan batasan objeknya (satu generasi berbeda dari generasi lainnya).

Hal ini sering kali berarti bahwa, tanpa disadari, suatu generasi atau angkatan melakukan semacam periodisasi, meskipun ia digunakan untuk menghindari periodisasi yang bersifat monolitik.

Rumusan angkatan sastra selalu problematis. Luigi Bambulea mengemukakan bahwa rumusan generasi sastra dengan segala sinonim kontekstualnya akan berkaitan dengan generasi sebagai konsep teori sastra, konsep dan kriteria kritik sastra, kriteria sejarah sastra, serta struktur kritik dan sejarah kebudayaan.

Untuk menghasilkan “ekspresi dinamis generasi—yaitu konsepnya, dan untuk menghasilkan ekspresi dinamika generasi tersebut—yakni strukturnya”.

Angkatan alias generasi punya dua kemasan terminologis. Pengertian pertama berkaitan dengan identitas angkatan (generationality), dimana sejarah angkatan dapat ditellusur balik ke suatu momen mendasar, misalnya Perang Dunia, Revolusi, Reformasi, dsb.

Pengertian kedua berkaitan dengan genealogy. Jika kajian sejarah dan sosial cenderung mengarah pada generationality, kajian sastra dan kajian budaya cenderung mengkaji angkatan dari segi genealogi.

Kedua konsep tersebut berbasis pada ide tentang ingatan kultural, sebuah fakta dimana studi atas ingatan belum dikenali dalam segala kompleksitasnya.

Bagi Stephen Spencer, pada abad ini, generasi demi generasi terjadi dengan kecepatan yang sejajar dengan perkembangan berbagai peristiwa.

Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Robert Wohl, bahwa “suatu angkatan/generasi dalam sejarah tidak dilahirkan; mereka dibuat.” Dengan demikian, Wohl berpendapat bahwa peristiwa lah yang menciptakan angkatan.

Namun, Marius Hentea berpendapat bahwa wacana lah yang lebih penting dan menentukan dalam konstruksinya.

Sejauh mana generasi didefinisikan sendiri atau ditentukan dari luar pasti bervariasi sepanjang sejarah.

Wordsworth, misalnya, yang mengalami Revolusi Perancis pada tahun 1790-an sadar bahwa hal ini sangat menarik bagi kaum ‘muda’, namun dia tidak memiliki bahasa Mannheim untuk menuliskannya secara umum.

Sebaliknya, di abad ke-21, sulit untuk melepaskan diri dari formulasi generasi.

Dalam beberapa bulan setelah merebaknya pandemi Covid-19, para pemerhati mulai membayangkan bagaimana anak-anak dan siswa yang tidak dapat mengikuti pendidikan tatap muka, akan memasuki pasar tenaga kerja di tengah kemerosotan ekonomi akibat pandemi, mungkin akan menjadi ‘Generasi Corona’.

Dengan demikian, kerap terjadi bahwa suatu angkatan telah lahir namun diabaikan dan/atau sirna begitu saja karena tidak mendapat pewacanaan yang kokoh dan memadai.

Hal ini pernah terjadi pada Wordsworth di Perancis era Revolusi Perancis, bahkan pada Angkatan 50 dan Angkatan 70 di Indonesia.

Lahirnya Angkatan 50 telah dikemukakan oleh Ajip Rosidi dan Angkatan 70 oleh Abdul Hadi WM.

Namun, keduanya tidak merumuskan lahirnya angkatan yang mereka gagas dengan adekuat dan disertai antologi karya yang mereka beri nama angkatan, sebagaimana dilakukan H.B. Jassin, misalnya, dengan Angkatan 66.

Diakui atau tidak, sekarang ini telah lahir satu angkatan baru dalam sastra Indonesia, yakni “Angkatan Puisi Esai”.

Lahirnya Angkatan Puisi Esai dilengkapi dengan 4 buku antiologi yang masing-masingnya tidak kurang dari 500 halaman.

4 buku antologi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Angkatan Puisi Esai: Kelahiran dan Masa-masa Awal (2012-2015);

2. Angkatan Puisi Esai: Menuju Indonesia (2016-2019);

3. Angkatan Puisi Esai: Menuju Mancanegara (2020-2024); dan

4. Angkatan Puisi Esai: Menuju Kritik Sastra Tempatan (2012-2024).

-000-

Berbeda dengan Angkatan Sastra sebelumnya, untuk pertama kali Angkatan Puisi Esai melengkapi diri dengan sebuah antologi kritik/bahasan/kajian.

Jumlah kritik, bahasan, atau kajian mengenai puisi esai cukup berlimpah dan ditulis oleh pakar dari beragam latar belakang, mulai dari sastrawan seperti Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Leon Agusta, Acep Zamzam Noor, Eka Budianta, Joko Pinurbo.

Juga kajian dari Jamal D. Rahman, Nenden Lilis Aisyah, Hanna Fransisca, S.M. Zakir, dsb, intelektual seperti Ignas Kleden, Berthold Damshäuser, Jakob Sumardjo, maupun akademisi seperti Dr. Ramzah Danbul, Prof. Ayu Sutarto, Dr. Sunu Wasono, Prof. Madya Dr. Haji Ampuan Haji Tengah, dan lain-lain.

Dari sejumlah puisi esai terpilih di masing-masing periode itu dapat dilihat dengan jelas telah lahirnya secara meyakinkan Angkatan Puisi Esai dengan sejumlah alasan, antara lain:

1. Genre dan bentuk
Dilihat dari segi ini, semua puisi esai pada dasarnya memiliki bentuk dan unsur intrinsik yang kurang lebih sama (relatif panjang, bercerita, bercatatan kaki, berima, dsb.) yang dengan kesamaan bentuk tersebut menghasilkan keragaman tak terbatas dalam pencapaian estetik dan keunikan individu masing-masing penulis;

2. Tema
Dilihat dari segi tema, puisi esai umumnya mengangkat tema anti diskriminasi, memberi suara pada kaum voiceless, serta mereka yang terpinggirkan dalam sejarah resmi.

Sejauh ini, keberagaman dan kekayaan tematik puisi esai sangatlah berlimpah hingga banyak tema yang diangkatnya belum pernah ditulis dalam sastra Indonesia;

3. Penceritaan (naratologi)
Puisi esai dalam sebuah teknik penceritaan dengan kehadiran tokoh, konflik, struktur dramatic, dan semacam klimak, baik berdasar struktur dramatik Aristotelian maupun struktur naratif Todorov, Joseph Campbell, dan sebagainya;

4. Adanya catatan kaki
Catatan kaki adalah salah satu unsur wajib sekaligus kekhasan puisi esai. Catatan kaki berfungsi sebagai jangkar faktual atas fiksionalitas puisi esai, maupun berfungsi sebagai the other voice dan contrapunt bagi bangun puisi esai;

5. Lahir dari moment besar dan ingatan kolektif bersama, yakni reformasi Indonesia dengan segala harapan maupun ekses diskriminatifnya;

6. Puisi esai lahir sebagai alternatif dan/atau tantangan atas narasi serta historiografi resmi;

7. Membuka ruang seluas-luasnya bagi yang bukan penyair untuk ambil bagian.
Kaum akademisi, profesional, aktivis, politisi, yang selama ini tak terbayangkan akan menulis puisi telah melahirkan puisi esai dengan nyaman.

Kiranya sejumlah alasan di atas lebih dari cukup untuk meneguhkan telah lahirnya Angkatan Puisi Esai.

Penjelasan yang komprehensif dapat ditemukan dalam serangkaian Antologi Angkatan Puisi Esai yang segera menyusul.

Maka, selamat datang Angkatan Puisi Esai sebagai angkatan baru dalam sastra Indonesia.” ***)
Reposted: sarinahnews.com
Jakarta, June 8, 2024

Notes:
– Sejak Tahun 2012 Telah Terbit Lebih Dari 100 Buku Puisi Esai, Dan Kajian Kritikus Sastra Dari Dalam dan Luar Negeri

– Dari Festival Puisi Esai ASEAN ketiga di Malaysia, Juni 2024

– Publisher Jurnal Sajak, Dosen, Kritikus Sastra, Penyair