JEMBER | SARINAH NEWS || – Opini: Andang Subaharianto, tentang Pancasila Vs Ideologi “Negedan” ditulisnya berdasarkan fakta kejadian saat ini, bahwa manusia gak ngedam gak kumanan!
Sumber, nasionanal.kompas.com, Sabtu (1/6/2024). Andang Subaharianto, Antropolog, dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember, Rektor UNTAG Banyuwangi, Sekjen PERTINASIA (Perkumpulan Perguruan Tinggi Nasionalis Indonesia).
MASIH hidupkah Pancasila? Masih bergunakah 1 Juni diperingati sebagai hari lahir Pancasila? Benarkah Pancasila mendasari sistem dan moral bernegara kita?
Pertanyaan bernada menggugat itu masih bisa diperpanjang. Rasa-rasanya Pancasila hanya digdaya di atas kertas sebagai retorika, tapi terseok-seok di kehidupan nyata sebagai sistem dan moral bernegara.
Refleksi
Mari kita merefleksikan fenomena di beberapa tahun terakhir. Di satu tahun terakhir saja dua lembaga negara yang menjadi pilar reformasi “roboh”: Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
MK dan KPK lahir dari rahim reformasi. Dari koreksi atas reduksionisme Pancasila oleh Orde Baru. MK dan KPK dibuat agar negara tidak digerogoti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), penyakit kronis Orde Baru.
KKN membuat rakyat tak kunjung menikmati kesejahteraan yang dijanjikan kemerdekaan.
Namun, ironis dan tragis. Dua lembaga negara anak kandung reformasi ambruk hampir bersamaan justru akibat KKN pucuk pimpinannya.
Di MK, Anwar Usman dicopot dari jabatan Ketua MK. Ia melakukan pelanggaran etik berat, ikut mengadili norma yang menguntungkan keponakannya, Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo.
Tindakannya dinilai menabrak aturan dan etika. Implikasinya mendalam sekali bagi sistem dan moral bernegara. Tindakan Anwar Usman berujung pada carut-marut Pemilu 2024 dan legitimasinya.
KPK juga “roboh”. Ketuanya, Firli Bahuri, ditetapkan sebagai tersangka. Aneh bin ajaib. Firli diduga memeras mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL).
Bisa-bisanya pemimpin KPK melakukan pemerasan yang mestinya diberantasnya.
Mari kita ikuti persidangan SYL. Dari persidangan diketahui betapa mantan Menteri Pertanian itu memperlakukan kekuasaan seakan-akan milik keluarga.
Pembelian kacamata, perawatan kulit, renovasi rumah, sunatan cucu, membayar pembantu serta pengeluaran keluarga lainnya seakan menjadi tanggungan Kementerian Pertanian.
Yang juga menjengkelkan publik, dari persidangan SYL terkuak pula tindakan menyimpang seorang auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Ia disebut meminta uang untuk opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) Kementerian Pertanian, karena status WTP Kementerian Pertanian terganjal program “food estate” (Kompas.com, 10/05/2024).
Saat ini, mantan Anggota III BPK, Achsanul Qosasi, sedang didakwa menerima uang sebesar 2,6 juta dollar Amerika Serikat (AS), setara Rp 40 miliar.
Uang itu disebut untuk mengondisikan temuan BPK dalam proyek penyediaan infrastruktur “base transceiver station” (BTS) 4G di Kementerian Komunikasi dan Informatika. Di persidangan tiba-tiba Qosasi mengaku khilaf dan minta maaf (Kompas.com, 28/05/2024).
Status WTP yang seringkali dibangga-banggakan oleh pemimpin pemerintahan ternyata bisa diperjualbelikan. Temuan BPK bisa dikondisikan.
Korupsi SYL lalu menambah panjang deret korupsi menteri yang tertangkap.
Sebelumnya, pada pemerintahan Presiden Joko Widodo saja ada Juliari Batubara (mantan Menteri Sosial), Idrus Marham (mantan Menteri Sosial), Imam Nahrawi (mantan Menpora), Edhy Prabowo (mantan Menteri Kelautan dan Perikanan), Johnny Gerard Plate (mantan Menkominfo).
Korupsi menteri tentu saja melibatkan para pihak, baik dari pejabat pemerintah maupun swasta. Terkesan ada persekongkolan jahat untuk mengeruk kekayaan negara demi kepentingan sendiri.
Di lembaga kehakiman dan kejaksaan pun demikian, tak bersih dari korupsi. Menyasar pula sejumlah hakim dan jaksa. Setali tiga uang di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Data di KPK sejak 2004 hingga Juli 2023 menyebutkan, sebanyak 344 kasus korupsi melibatkan anggota DPR dan DPRD. Jumlah ini terbanyak ketiga, di bawah kasus korupsi yang menjerat kalangan swasta dan pejabat eselon I-IV (Kompas.com, 19/07/2023).
Data Indonesia Corruption Watch (ICW) juga menunjukkan peningkatan jumlah kasus korupsi di Indonesia tiga tahun terakhir.
Tahun 2021 tercatat 533 kasus, dengan 1.173 tersangka. Meningkat pada 2022, sebanyak 579 kasus, dengan 1.396 tersangka. Pada 2023 meningkat lagi menjadi 791 kasus, dengan 1.695 tersangka (Kompas.com, 19/05/2024).
Sungguh mengerikan sekaligus memprihatinkan. Korupsi telah menjerat lembaga-lembaga negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Lalu, di luar korupsi, di kepolisian ada perwira tinggi polisi membunuh anak buahnya (kasus Ferdy Sambo). Ada pula perwira tinggi tersangkut narkotika (kasus Teddy Minahasa). Teramat banyak kasus moralitas mendera elite lembaga negara, penyelenggara negara (pemimpin pemerintahan).
Apa yang sesungguhnya terjadi?
Tak bisa diabaikan pula, fenomena politik uang yang amat luar biasa pada Pemilu 2024, baik pemilihan presiden maupun pemilihan anggota legislatif. Wujudnya macam-macam, kemasannya memberi kesan “sosial” dan “legal”.
Ideologi ‘Ngedan’
Dahulu fenomena tersebut oleh pujangga sastra Jawa, Ranggawarsita, disebut “ngedan” (ikut-ikutan gila). Serat Kalatidha karya Ranggawarsita yang menggambarkan “zaman edan” (ditulis sekitar 1860) seperti baru beberapa tahun lalu.
Zaman seperti tak berubah. Revolusi kemerdekaan Indonesia rupanya hanyalah mengubah kelembagaan (struktur) negara. Belum menyentuh perubahan nilai-nilai (kultur) bernegara.
Secara semiotik, penandanya (signifier) saja yang berubah, petandanya (signified) tak berubah.
Sebagaimana ditulis di Serat Kalatidha, masyarakat (negara) mengalami kemerosotan tata nilai. Banyak orang meninggalkan norma-norma kehidupan.
Dalam konteks bernegara Indonesia, norma-norma itu adalah Pancasila sebagai dasar negara dan turunannya.
Kekayaan material dipuja-puja mengalahkan keluhuran budi. Orang dihormati dan diikuti karena kepemilikannya, bukan perilakunya.
Praktik politik uang merefleksikan perihal ini. Manusia sibuk menumpuk kekayaan material. Tak peduli bahwa cara yang dilakukan itu merampas hak hidup orang lain dan merugikan banyak orang, serta bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial yang diinginkan Pancasila.
Ranggawarsita juga melihat krisis ketauladan dari para pemimpin. Mereka suka ingkar janji.
Kini pun sama. Saat pemilu begitu indah kata-kata calon pemimpin. Setelah menjadi pemimpin suka KKN, lupa janjinya. Tak segan pula merekayasa aturan dan lembaga demi ambisinya.
Para pemimpin terkesan saling menyandera.
Di zaman edan, kata Ranggawarsita, seseorang takut miskin dan kelaparan bila tak “ngedan”. Kini pun sama. “Ngedan” lalu menjadi paham (mazhab) yang bersifat ideologis.
Diikuti dan dipraktikkan oleh orang banyak dalam kehidupan bernegara, menantang Pancasila.
Ideologi “ngedan” tak bisa diremehkan. Pengikutnya akan membangun jejaring yang menyandera negara untuk mengeruk kekayaannya demi kemakmuraan dan kesejahteraan sendiri.
Jelas-jelas berlawanan dengan Pancasila yang menghendaki kekayaan Indonesia sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Negara Pancasila
Indonesia secara tekstual (normatif) adalah negara Pancasila. Para pendiri bangsa memilih Pancasila sebagai dasar negara bukanlah tiba-tiba.
Pilihan tersebut menyejarah. Menurut Yudi Latif (2011), melintasi tiga fase, yakni pembuahan, perumusan, dan pengesahan.
Bung Karno menyebutnya “digali dari bumi Indonesia”. Dari rentang sejarah kolonialisme-imperialisme bumi Nusantara dengan segenap penderitaan rakyatnya. Karena itu, konseptualisasi Pancasila mengikat kehidupan bernegara Indonesia.
Materi, semangat dan suasana kebatinan dari fase pembuahan, perumusan dan pengesahan Pancasila sebagai dasar negara haruslah melandasi praktik bernegara.
Mari kita simak alinea terakhir Pembukaan UUD 1945:
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang berbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Alinea itu tidak sampai 100 kata, tapi dengan jelas memperlihatkan tujuan bernegara, falsafah hidup dan pandangan dunia bangsa Indonesia.
Dinyatakan dengan tegas pula lima nilai dasar bernegara, yang oleh Bung Karno saat pidato 1 Juni 1945 di sidang BPUPK (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan) disebut Pancasila.
Dengan demikian, Pancasila merupakan acuan sistem dan moral bernegara. Konstitusi dan segenap turunannya serta perilaku lembaga dan pemimpin negara haruslah dalam kerangka lima nilai dasar itu.
Maka, saya mengamini Yudi Latif (2020), sosialisasi Pancasila tidak cukup hanya pada dimensi mentalitas-moralitas.
Harus pula memasuki dimensi kelembagaan sosial-politik dan kesejahteraan.
Ketiga dimensi tersebut bisa dilihat dari perspektif penyelenggara negara (pemimpin pemerintahan) dan rakyat pada umumnya.
Dari sudut penyelenggara negara, Pancasila merupakan paradigma bagi proses pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan politik melalui mekanisme dan lembaga sosial-politik, yang berujung pada kesejahteraan rakyat.
Luarannya berupa regulasi, kebijakan, program, dan perilaku (penyelenggara) negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Dari sisi rakyat, Pancasila dapat difungsikan sebagai ideologi kritik. Rakyat menggunakan Pancasila sebagai kerangka evaluasi (kritik) terhadap kebijakan dan keputusan politik.
Juga melalui mekanisme dan lembaga sosial-politik yang tersedia. Di sanalah ruang demokratik titik temu antara pemimpin pemerintahan dan rakyat.
Acuannya sama, yakni Pancasila. Arah tujuannya pun sama, yakni kesejahteraan rakyat.
Namun, ada yang amat penting dan tak boleh dilupakan – sebagaimana diingatkan pada bagian Penjelasan UUD 1945 – yakni “semangat penyelenggara negara, semangat pemimpin pemerintahan”.
Kata “semangat” patut diperhatikan. Semangat yang dimaksud adalah semangat untuk gotong royong, bukan individualisme.
Berikut saya kutip pernyataan di dalam Penjelasan UUD 1945.
“Yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hal hidupnya negara ialah semangat, semangat para penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan. Meskipun dibikin Undang-Undang Dasar yang menurut kata-katanya bersifat kekeluargaan, apabila semangat para penyelenggara negara, para pemimpin pemerintahan itu bersifat perseorangan, Undang-Undang Dasar tadi tentu tidak ada artinya dalam praktik.”
UUD 1945 sudah diamandemen. Sejumlah pasalnya sudah berubah.
Bagian Penjelasan UUD 1945 pun ditiadakan. Konstitusi kita hanya terdiri atas pembukaan dan pasal-pasal. Itulah fakta normatif konstitusi Indonesia.
Profesor Maria Farida Indrati pernah menyampaikan kritik tajam atas penghilangan Penjelasan UUD 1945.
Melalui pidato purnabakti berjudul “Eksistensi Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 Sesudah Perubahan (Ditinjau dari Gesetzgebungswissenschaft)” di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 26 September 2019, Profesor Maria menerangkan bahwa Penjelasan UUD 1945 bukan norma yang berdiri sendiri, tapi satu kesatuan dengan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945.
Penghapusan Penjelasan UUD 1945 dengan memasukkan hal-hal yang normatif ke dalam pasal-pasal dikhawatirkan berakibat hilangnya makna Pembukaan UUD 1945, terkait dengan Pancasila, baik sebagai “cita hukum” (rechtsidee) maupun “norma fundamental negara”
(staatsfundamentalnorm).
Hal itu bisa menyebabkan pengabaian Pancasila sebagai filosofi dan pedoman dasar dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Bisa berdampak pula pada pengingkaran terhadap Pancasila.
Penghilangan bagian Penjelasan UUD 1945 dengan sendirinya juga menghilangkan penekanan dan penjelasan perihal semangat penyelenggara negara yang tak kalah penting dibandingkan bunyi pasal-pasal.
Karena itu, menurut hemat saya, para penyelenggara negara (pemimpin pemerintahan) semestinya mengetahui dan menyadari betul hal itu (melalui sosialisasi). Meski secara tekstual konstitusi tak lagi menjelaskan.
Di situlah antara lain arti penting sosialisasi Pancasila sebagai dasar negara secara utuh dan menyeluruh (materi, semangat dan suasana kebatinan dari fase pembuahan, perumusan dan pengesahan Pancasila, serta perubahan UUD 1945 pascareformasi), terutama bagi pemimpin pemerintahan.
Pun penting sebagai materi pembelajaran Pancasila di pendidikan tinggi sebagai sumber calon pemimpin.
Namun, jangan-jangan ke-Pancasila-an itu menipis pada dimensi mentalitas-moralitas, di antaranya lantaran tak ada lagi tuntutan secara tekstual sebagaimana dikhawatirkan Profesor Maria.
Karena teksnya hilang, tak ada pengetahuan yang diturunkan. Tak ada materi sosialisasi yang terus-menerus mengingat-ingatkan perihal semangat gotong-royong tersebut.
Yang muncul lalu semangat “ngedan”. Semangat semau-maunya sendiri dalam mengelola kekuasaan.
Di hadapan ideologi “ngedan”, pasal-pasal peraturan perundang-undangan tak akan ada artinya, meski dibuat dengan paradigma Pancasila.
Pasal-pasal itu bisa disiasati, diakali, bahkan diubah sesuai selera dan kepentingannya.
Ranggawarsita mengingatkan, “Begja-begjane kang lali, luwih begja kang éling lan waspada” (Sebahagia-bahagianya orang yang lalai, akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada).
Saat berpidato pada sidang BPUPK, 1 Juni 1945, Bung Karno juga mengingatkan, “Tidak ada satu Weltanschauung dapat menjadi kenyataan, menjadi realiteit, jika tidak dengan perjoangan.”
Dan, “éling lan waspada” (dimaknai secara progresif) adalah bagian dari perjuangan tersebut. Butuh kesabaran revolusioner. Hidup Pancasila!
Reposted: sarinahnews.com
Jember, June 1, 2024
Sumber: Pancasila Vs Ideologi “Ngedan”
https://nasional.kompas.com/read/2024/06/01/06450071/pancasila-vs-ideologi-ngedan-?page=all#page2
Oleh: Andang Subaharianto, Antropolog, dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember, Rektor UNTAG Banyuwangi, Sekjen PERTINASIA (Perkumpulan Perguruan Tinggi Nasionalis Indonesia).