JAKARTA, SARINAH NEWS, – Respon, Anick HT seorang editor juga tertarik dengan pemikiran Denny JA soal Agama Sebagai Warisan Kultural Milik Kita Bersama yang saat ini menjadi sorotan para pemikir sosial dan akademisi
Pada tahun 1960-1970an, para intelektual dunia ramai-ramai membangun tesis bahwa pada saatnya nanti, agama tak akan laku lagi. Manusia semakin tak punya alasan yang cukup rasional untuk memeluk agama.
Tesis ini diamini banyak orang, hingga kemudian Pippa Norris dan Ronald Inglehart mengukurnya melalui analisis data survei yang ketat.
Mereka menganalisis data tentang tren agama di 49 negara selama periode 1981-2007. Hasilnya, di 33 dari 49 negara itu, orang menjadi lebih religius selama tahun-tahun itu.
Hal ini berlaku di sebagian besar negara bekas komunis, di sebagian besar negara berkembang, dan bahkan di sejumlah negara berpenghasilan tinggi.
Temuan itu memperjelas bahwa industrialisasi dan penyebaran pengetahuan ilmiah tidak menyebabkan agama menghilang, seperti yang pernah diasumsikan beberapa sarjana.
Namun sejak 2007, banyak hal telah berubah dengan kecepatan yang mengejutkan. Dari sekitar 2007 hingga 2019, sebagian besar negara yang tersebut—43 dari 49—menjadi kurang religius.
Penurunan kepercayaan tidak terbatas pada negara-negara berpenghasilan tinggi dan muncul di sebagian besar dunia. Semakin banyak orang tidak lagi menganggap agama sebagai sumber dukungan dan makna yang diperlukan dalam hidup mereka.
Bahkan Amerika Serikat—yang telah lama dikutip sebagai bukti bahwa masyarakat yang maju secara ekonomi bisa menjadi sangat religius—kini telah bergabung dengan negara-negara kaya lainnya untuk menjauh dari agama. (Inglehart, “Giving up on God: The Global Decline of Religion,” 2021).
Dan Denny JA menangkap pasang surut agama ini dengan berbagai analisisnya yang juga sangat kaya dan berbasis data akademik, yang oleh Ahmad Gaus disebutnya sebagai “iman berbasis riset.”
Denny berpandangan bahwa agama pun tunduk pada hukum perubahan. Agama-agama akan bertahan kalau mereka mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan.
Begitu juga iman. Ia harus berbasis pada riset, jika hendak bertahan.
Orang beriman saat ini dapat mengecek sistem keimanan mereka dengan temuan-temuan terbaru di dunia ilmu pengetahuan dan teknologi.
Jika sistem keimanan itu masih memadai dan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan maka ia akan dipertahankan. Tapi jika tidak, maka ia akan ditinggalkan.
Riset-riset mutakhir memang menunjukkan kecenderungan semakin melemahnya peran dan pengaruh agama dalam kehidupan manusia modern.
Menurut Denny, di negara yang indeks kebahagiaannya tinggi (World Happiness Index), umumnya level beragama masyarakatnya rendah.
Negara yang paling mampu membuat warganya bahagia, sebagaimana diukur oleh World Happines Index, populasi di negara itu cenderung menganggap agama tak lagi penting dalam kehidupan mereka (diukur dari religiosity index).
Kabar buruk juga terlihat dari hubungan agama dengan tingkat korupsi. Di negara yang tingkat beragamanya tinggi (Religiosity Index), pemerintahannya cenderung korup.
Banyak negara yang lebih dari 90 persen populasinya menyatakan agama sangat penting dalam hidupnya justru tingkat korupsi di pemerintahannya juga sangat tinggi (diukur dengan The Corruption Perception Index).
Denny JA juga mengutip hasil riset oleh University of Rochester yang secara khusus mengukur hubungan antara tingkat IQ dan agama. Di situ disebutkan bahwa masyarakat yang tingkat beragamanya tinggi memiliki kecerdasan rata-rata (Cognitive Test Measurement) lebih rendah dibandingkan masyarakat yang tingkat beragamanya lebih rendah.
Apa Yang Awet dari Agama?
Dalam melihat agama, Denny JA melakukannya dengan dua pendekatan. Pertama, melihat agama sebagai insititusi yang cenderung menjadikan ajarannya sebagai sejenis konstitusi ruang publik yang memaksa orang dengan tafsir tertentu.
Wujud agama ini lebih nampak institusional daripada substantif, kerena ini seringkali disebut sebagai organized religion yang cenderung kaku dan dogmatis. Klaim kebenaran dan keselamatan menjadi salah satu elemen penting dalam agama sejenis ini.
Agama jenis inilah yang kemudian secara perlahan ditinggalkan penganutnya. Dari 4.300 jenis agama yang pernah lahir di dunia, banyak di antaranya yang sudah tinggal nama alias tidak memiliki penganut.
Agama menjadi tidak relevan karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman.
Meski agama memiliki kekenyalan daya tahannya sendiri, namun tren yang ditemukan oleh Norris dan Inglehart menemukan relevansinya dalam konteks seperti ini.
Lalu apa yang bisa diawetkan dari agama? Denny menawarkan pendekatan berikutnya, yakni melihat agama sebagai warisan kultural milik bersama.
Masing-masing agama memiliki harta karunnya sendiri yang sangat kaya.
Bagi Denny, peradaban manusia saat ini sudah sampai di titik kematangannya.
Manusia yang berbeda agama, negara, dan bahasa kini berinteraksi secara sangat intens. Sejalan dengan kemenangan ide-ide mengenai demokrasi dan kebebasan, prinsip hak asasi manusia kini membuat homo sapiens itu setara dan bebas memilih keyakinannya.
Pandangan dan keyakinan tak bisa dipaksakan dan terus berevolusi.
Keberagaman tak tehindarkan. Kita adalah homo sapiens yang sama, menempati bumi yang sama. Persamaan kita jauh lebih dalam, lebih asli, ketimbang segala perbedaan.
Karena itu bagi Denny, ini adalah saatnya bersama kita kembangkan narasi besar yang baru: Satu Bumi. Satu Homo Sapiens. Satu Spiritualitas.
Inilah yang kemudian disebutnya sebagai spiritualitas baru abad 21.
Spiritualitas baru ini baginya adalah narasi besar agama gelombang ketiga.
Dalam bacaan Denny, narasi besar gelombang pertama agama memberikan panduan berdasarkan mitologi. Narasi besar gelombang kedua memberi panduan lewat otoritas wahyu. Sedangkan narasi besar gelombang ketiga memberi panduan berdasarkan riset empirik.
Spiritualitas baru ini lahir dari hasil riset ilmu pengetahuan. Tentu spiritualitas baru tak pernah berbicara tentang dunia metafisik, seperti apakah surga dan neraka itu ada atau tidak. Itu adalah wilayah narasi besar gelombang satu dan dua.
Spiritualitas baru membatasi diri hanya memberi panduan hidup bermakna, bahagia, berbuat kebaikan yang semuanya semata hasil riset empirik. Tak ada panduan spiritualitas baru tanpa dihasilkan dan terbukti dari hasil riset akademik.
Bagaimana dengan perayaan-perayaan agama? Bagi Denny, dalam spiritualitas baru ini, segala kekayaan agama bisa dianggap sebagai kekayaan kultural milik bersama. Dan gejala ke arah ini sudah mulai terlihat.
Saat ini perayaan Natal tidak hanya dirayakan oleh umat Kristiani tapi juga oleh umat agama lain, termasuk umat Islam. Bahkan kaum ateis, dan mereka yang tidak percaya Yesus lahir pada 25 Desember, ikut pula merayakan Natal, dan menghias rumah mereka dengan pernak-pernik Natal.
Kaum muslim di Eropa juga merayakan Natal dengan mengundang umat Kristen ke rumah mereka.
Begitu juga dengan Ramadan dan Idulfitri. Perayaan berbasis ajaran Islam ini juga dirayakan oleh banyak sekali penganut agama lain. Demikian pula yang terjadi di India, di mana perayaan ritus berbasis Hindu dilakukan oleh berbagai kalangan agama.
Spiritualitas baru ini diasumsikan tidak akan mampu menggantikan agama, mengingat agama selalu mengandung unsur metafisis yang tak terbantahkan.
Justru spiritualitas baru ini mendorong kehidupan publik yang lebih harmonis, tanpa menghilangkan peran agama bagi individu-individu penganutnya.
Spiritualitas baru ini mengawetkan elemen-elemen yang tetap relevan dalam agama, dan perlahan membuang cara beragama yang usang dan eksklusif.
Tentang Buku Ini
Pemikiran Denny JA tentang agama tersebar dalam sejumlah buku, dan ditulis dengan beberapa konteks yang berbeda. Pemikiran-pemikiran itu sebenarnya tak terlalu runut, namun Ahmad Gaus berhasil menstrukturisasi keseluruhan pemikiran itu dan mengkategorisasinya dalam “Sembilan Pemikian Denny JA tentang Agama.”
Gaus berhasil memotret konsistensi cara berpikir dan refleksi perjalanan spitual Denny JA sehingga menghasilkan serangkai pemikiran ini.
Tentu saja, melihat produktivitas dan konsistensi Denny JA dalam memutakhirkan informasi, pemikiran Denny JA tidak akan berhenti sampai di sini. Namun setidaknya, melalui buku Ahmad Gaus tersebut, tergambar jelas hasil permenungan yang mendalam dan sangat reflektif dari perjalanan Denny JA sampai hari ini dalam melihat agama sebagai fenomena sosial, pengaruhnya terhadap tata kelola dunia, serta elemen-elemen spiritualitas dalam perjalanan manusia.
Tak kalah penting, Denny memaknainya dengan sudut pandang yang sangat kaya dan menarik.
Nah, buku Ahmad Gaus berjudul “Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama” itulah yang kemudian ditanggapi para ahli dan penulis dalam buku di hadapan Anda ini.
Buku ini adalah kumpulan tanggapan terhadap pemikiran Denny JA yang distrukturisasi oleh Gaus tersebut.
Sebagai editor, saya sengaja mengundang penulis dan ahli dengan berbagai latar belakang agama maupun kecenderungan concern akademis. Jadilah buku ini sangat kaya perspektif dan sangat mencerahkan.
Apresiasi yang muncul dari berbagai perspektif agama terhadap pemikiran Denny JA ini menunjukkan bahwa pada dasarnya elemen substansial agama memang mengandung sesuatu yang bisa dilihat dengan cara pandang yang berbeda, yang lebih inklusif, universal, sekaligus kultural.
Juga bahwa tradisi riset-riset akademis yang dirujuk Denny dalam melihat peran agama di era saat ini terlalu kuat untuk terbantahkan.
Ada beberapa catatan kritis juga dalam beberapa tulisan ini yang sangat layak untuk dipertimbangkan tentang analisis Denny JA. Juga terhadap cara Denny JA memosisikan sains dan agama yang memang sampai hari ini masih menjadi polemik tak berujung. [sarinah]
Rewriter: sarinah.
Jakarta, Mey 9, 2023
Anick HT. Penggiat isu kebebasan beragama. Editor. Menulis berbagai pemikiran dan refleksi tentang agama, dialog lintas iman, dan hak-hak kelompok minoritas. Alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Menulis buku puisi esai “Kuburlah Kami Hidup-hidup.” (2014)