Mereka Yang Terbuang di Tahun 60-an (1)
“AYAH, SEMOGA ABU JASADMU SAMPAI KE PANTAI INDONESIA”
By Denny JA
(Di tahun 2024, seorang gadis melempar abu jasad ayahnya ke laut, sesuai wasiat sang ayah. Meski tubuhnya tak diizinkan pulang akibat prahara politik tahun 1960-an, ia berharap abu jasadnya mencapai pantai Indonesia, tanah kelahirannya.)
-000-
“Pergilah, Ayah…
biarlah laut membawa engkau kembali.
Wahai samudra, ibu yang bergelombang,
bawa abu jasad Ayahku ke pantai Indonesia,
ke tanah tempat ia dilahirkan.”
Air matanya jatuh,
bercampur dengan ombak.
Rina, anak gadis Baskara, berdiri
di tepi kapal,
menggenggam abu jasad Ayah,
yang terbungkus kain putih.
Gelombang menjauh membawa abu jasad Ayah.
Anak gadis itu menjadi burung,
terbang menemani abu.
Ini wasiat terakhir Baskara:
“Jika aku tak bisa dikubur di Indonesia,
biarkan abuku yang pulang,
dihempas laut hingga berlabuh
di pantai negeriku.”
Indonesia tempat ia dilahirkan,
tapi ia dilarang dikubur di sana.
Seumur hidup,
Baskara terasing.
Tahun 1965, di Beijing,
Baskara masih muda,
23 tahun, penuh harapan.
Ia dikirim Bung Karno
untuk belajar.
Ilmu pertanian,
sebagai bekal masa depan
untuk tanah airnya. (1)
Namun takdir berkata lain.
Gerakan 30 September pecah.
Baskara terjebak di negeri orang.
Paspor ditahan.
Hak kewarganegaraan dicabut.
Ia bukan lagi orang Indonesia,
meski darahnya,
meski cintanya,
masih melekat pada negeri itu.
“Kenapa mereka mengambil hakku?”
Baskara sering bertanya.
Namun tak ada jawab.
Ia terasing di negeri orang.
Tak bisa kembali.
Teman-temannya yang pulang,
hilang tanpa kabar.
Ia juga mendengar,
jika pulang, ia segera dipenjara dan disiksa.
Dan ayahnya,
dituduh Soekarnois,
kiri, komunis, hilang entah di mana.
Padahal Ayah hanya petani sederhana.
Ia hanya mendengar sayup-sayup,
Ayah dibunuh di satu tempat.
Hidup di Beijing,
Baskara menjadi pohon tanpa akar.
Tubuhnya gentayangan di negeri asing.
Tapi jiwanya tertinggal di Indonesia.
Tujuh tahun lamanya,
menunggu tanpa harapan.
Negara yang dikira akan menjemput
malah membuangnya.
Tak tahan menjadi warga tanpa negara,
Baskara pun menjadi warga Swedia.
Tahun 2015,
Baskara pulang,
menjenguk ibu,
juga mencari Ayah yang tak kunjung pulang.
Namun, ia dideportasi.
Dituduh berniat bangkitkan komunisme.
Di masa tua,
duduk di beranda rumah,
di Swedia,
angin menyanyikan lagu keroncong,
yang sering didengarnya saat kecil,
ketika ia digendong ibu.
Langit di atas rumah,
di Swedia,
memancarkan masa silam.
Terbentang sepetak sawah.
Sebagai bocah,
dirinya berlari di sana,
disiram hujan gerimis.
Ia tertawa lepas,
bersama ibu dan Ayah.
Baskara rindu kampung halaman.
Ia rindu Indonesia.
Kini, ombak memeluk abu jasad Baskara.
Mungkin, suatu hari,
angin akan membawanya ke pantai,
ke tanah air yang selalu ia rindukan. ***)
Reposted: sarinahnews.com
Jakarta, 15 September 2024
CATATAN
(1) Kisah ini terinspirasi dan dikembangkan dengan fiksi tambahan, dari kehidupan eksil 1965, Tom Iljas, yang terpisah dari tanah airnya akibat perubahan politik.
https://news.detik.com/x/detail/spotlight/20231002/Eksil-1965-Diusir-daripada-Rezim-Soeharto/