BERAGAMA DI ERA GOOGLE: Membedah Pemikiran Denny JA

BERAGAMA DI ERA GOOGLE: Membedah Pemikiran Denny JA

 
YOGYAKARTA, SARINAH NEWS, – Diskusi di Rumah Kearifan, Yogyakarta pada 1 April 2023, dalam diskusi bedah pemikiran Denny JA, bahwa, mengapa di negara yang menganggab agama penting tapi korupsinya juga tingg? Selasa, (12/4/2023)

Di manakah posisi agama di tengah perkembangan sains dan teknologi yang kini menjadi kekuatan kreatif peradaban? Bagaimana cara kita menempatkan keimanan kita di antara keimanan orang lain yang kian asertif di era Google saat ini? Dan sejauhmana pula Google telah mengubah cara pandang kita terhadap agama?
 
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang coba dibahas oleh Ahmad Gaus dalam acara bedah buku karyanya yang berjudul Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama: Sembilan Pemikiran Denny JA soal Agama di Era Google, penerbit Cerah Budaya Indonesia, 2023. 
 
Acara yang berlangsung di Rumah Kearifan (House of Wisdom), Banguntapan, Bantul, Yogyakarta, pada 1 April 2023, itu dihadiri puluhan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta. 

Tampak pula dosen Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka), Yogyakarta, Prof. Dr. Euis Nurlaelawati, dan pakar pendidikan nilai (values education) dari UIN Suka, Dr. Muqowim selaku pembahas buku. 
 
Gaus mengawali pembahasannya dengan menguraikan pandangan-pandangan Denny JA sebagai seorang ilmuwan yang bergelut dengan riset-riset kuantitatif.

Selama ini, ujarnya, kita lebih banyak mendengar isu-isu keagamaan dinarasikan oleh para ulama, mubaligh, dan sarjana-sarjana Islam. Jarang sekali kita mempertimbangkan pandangan ilmuwan non-agama.

Padahal pandangan mereka tidak kurang pentingnya karena menawarkan perspektif yang berbeda.

“Pandangan para agamawan itu cenderung apologetik dan subjektif karena tujuannya dakwah. Sedangkan pandangan ilmuwan sosial seperti Denny JA itu objektif dan empirik karena didasarkan pada hasil riset kuantitatif,” ujar Gaus.
 
Dalam buku setebal 164 halaman itu, Gaus menguraikan pandangan Denny JA seputar pergeseran pemahaman agama di era Google.

Ia merujuk data. Di negara yang indeks kebahagiaannya tinggi (World Happiness Index), umumnya level beragama masyarakatnya rendah.

Negara yang paling mampu membuat warganya bahagia, sebagaimana diukur oleh World Happines Index, populasi di negara itu cenderung menganggap agama tak lagi penting dalam kehidupan mereka (diukur dari religiosity index).
 
Fakta lainnya, di negara yang tingkat beragamanya tinggi (Religiosity Index), pemerintahannya cenderung korup.

Banyak negara yang lebih dari 90 persen populasinya menyatakan agama sangat penting dalam hidupnya, justru tingkat korupsi pemerintahannya juga sangat tinggi (diukur dengan The Corruption Perception Index).

“Ini data-data kuantitatif dari Denny JA yang penting kita perhatikan karena selama ini kita selalu mengklaim bahwa ketaatan pada agama secara otomatis berdampak baik pada kehidupan. Buktinya mana,” tandas Gaus.
 
Ia menambahkan, di negara yang pembangunan manusianya tinggi (Human Development Index/HDI), tingkat beragama masyarakatnya cenderung rendah.

Top 10 negara yang tertinggi HDI-nya, cenderung masyarakatnya tak menganggap agama sebagai hal yang penting dalam hidupnya.
 
Selain itu, masyarakat yang tingkat beragamanya tinggi, memiliki kecerdasan rata-rata (Cognitive Test Measurement) lebih rendah dibandingkan masyarakat yang tingkat beragamanya lebih rendah.

University of Rocherter secara khusus mengukur hubungan antara tingkat IQ dan agama. Hasil temuan itu diterapkan untuk seluruh dunia.
 
Ironisnya, semua orang saat ini berbicara mengenai kebangkitan agama. Google memberi tahu kita bahwa kini hidup 4.300 agama yang berbeda. Kita menyaksikan pula pertarungan kaum fanatik yang masing-masing mengklaim kebenaran mutlak agamanya sendiri.

“Ini menunjukkan kepicikan karena tidak ada sesuatu pun dari isu pokok masalah itu yang dapat diklarifikssi. Lebih gawat dari itu, konflik akibat klaim kebenaran mutlak itu sangat berbahaya bagi kelangsungan peradaban,” tegas Gaus.
 
Ia mengapresiasi pemikiran Denny JA yang menawarkan solusi jalan tengah. Alih-alih dipahami sebagai kebenaran mutlak yang rawan menimbulkan benturan, agama sebaiknya diterima sebagai warisan kekayaan kultural milik bersama umat manusia.

“Itu beberapa contoh data-data kuantitatfi yang ditemukan Denny JA. Fakta-fakta itu menjadi hukum besi yang, perlahan tapi pasti, mendorong kita untuk menghormati dan menikmati agama yang kini jumlahnya 4.300 itu sebagai kekayaan kultural milik bersama,” ungkapnya.
 
Dalam hal ini ia mencontohkan, perayaan hari besar agama, seperti Natal, kini mulai dirayakan oleh penganut agama lain, termasuk oleh umat Islam.

Bagi mereka, Natal adalah peristiwa kultural yang cukup syahdu untuk ikut dirayakan walau mereka tak meyakini agama Kristen.

Sebaliknya, bulan Ramadan kini juga telah “dimiliki” oleh seluruh umat. Momen satu bulan itu, dan hari raya di ujungnya, tak hanya dirayakan oleh penganut Islam. Penganut agama lain, dan bahkan yang tak beragama ikut merayakannya.

Mereka ikut menikmati keunikan berpuasa, walau tak percaya konsep surga hanya untuk orang Muslim.

Orang-orang non-Hindu kini juga merayakan Hari Nyepi. Mereka ikut menikmati keunikan tahun baru Saka, walau tak percaya hadirnya dunia dewa-dewa.
 
Pemikiran Agama Berbasis Rsiet
 
Sementara itu Dr. Muqowin mengupas secara rinci gagasan Denny JA dalam buku yang ditulis oleh Gaus.

Menghadirkan isu-isu keagamaan berbasis riset kuantitatif ujarnya, sudah sepatutnya diberi tempat karena dengan begitu kita akan melihat kekurangan kita sendiri.

Ia mencontohkan index Islamicity yang menempatkan kota-kota yang disebut islami itu ternyata bukan kota-kota di negara-negara Islam, melainkan di negara-negara non-Islam.

“Apa yang dapat kita pelajari dari riset semacam itu, artinya kita umat Islam gagal mewujudkan nilai-nilai Islam itu sendiri. Persis kata-kata Syeikh Muhammad Abduh, al-islam mahjub bil muslimin (Islam itu tertutup oleh kaum Muslim),” tegasnya.
 
Muqowin juga membahas gagasan Denny JA mengenai spiritualitas baru abad 21 yang didasarkan pada riset ilmu pengetahuan. Spiritualitas yang dimaksud dirumuskan dalam formula  3P + 2S  = Personal Relationship, Positivity, dan Passion. Dan prinsip 2S yakni Small Winning dan Spiritual Blue Diamonds.

 Menurut Muqowim, apa yang dilakukan oleh Denny JA merupakan sumbangan terhadap trend spiritualitas yang belakangan mulai lesu akibat agama hadir dengan wajah yang terlalu formal.

Karena itu ia menyambut baik pemikiran Denny JA yang berusaha mengembalikan agama ke spiritnya.
 
Acara yang dipandu oleh Direktur Rumah Kearifan, Ziadatul Husnah, M.Pd, ini berlangsung meriah dengan munculnya beragam tanggapan dari para peserta.

Selain itu, juga diramaikan dengan pembacaan puisi secara bergantian oleh tiga orang mahasiswa. Acara berakhir ketika azan magrib berkumandang. Dan ditutup dengan berbuka puasa bersama.

Sembilan Pemikiran Denny JA

Buku “Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama: Sembilan Pemikiran Denny JA Soal Agama di Era Google., diterbitkan oleh Cerah Budaya Indonesia (CBI), Maret 2023.  

Di dalamnya terdapat sembilan bab yang masing-masing membahas mengenai aspek-aspek pemikiran Denny JA seputar femomena agama mutakhir dan spiritualitas, yakni:

Bab 1, Iman Berbasis Riset.  Bab 2, Manusia: Dengan atau Tanpa Agama. Bab 3, Kitab Suci di Abad 21.

Bab 4, Moderasi Beragama dan Kesetaraan Warga. Bab 5, Hijrah Menuju Demokrasi. Bab 6, Perebutan Tafsir Agama. Bab 7, Menggandeng Sains dan Jalaluddin Rumi.  

Bab 8, Spiritualitas Baru Abad 21, dan Bab 9, Agama: Warisan Kultural Bersama Umat Manusia.

Gaus juga meringkas pemikiran Denny JA seputar agama di era Google dalam sembilan butir sbb:

1. Pentingnya pendekatan kuantitatif untuk membuat perbandingan soal  peran agama  di masyarakat.
 
2. Para arkeolog berjasa mengkonstruksi ulang kisah agama.
 
3. Setelah Nabi tiada, tiada pula tafsir tunggal agama. Yang tersisa adalah perebutan tafsir. Penting kita memilih tafsir yang sesuai dengan prinsip HAM.
 
4. Islam Eropa memgembangkan tafsir Islamnya sendiri yang sesuai dengan kultur Eropa.  Kita pun di Indonesia tak perlu terikat dengan tafsir kultur Timur Tengah.
 
5. Bagi yang tak meyakini agama, agama dapat dinikmati sebagai sastra. Apa yang terjadi pada Laligo (kitab suci) dapat juga terjadi pada agama lain.
 
6. Pentingnya mencari intisari semua agama berdasarkan the science of happiness dan neuro science. Denny JA mengembangkan spirituality of happiness.
 
7. Mendekat agama sebagai kekayaan kultural milik bersama. Merayakan hari besar agama lain sebagai social gathering lintas agama.
 
8. LGBT isu HAM masa kini. Pentingnya mengembangkan tafsir agama yang tidak mendiskriminasi kaum LGBT.
 
9. Perlunya menggandeng Science dan Jalaluddin Rumi.
 
Itulah ringkasan sembilan pemikiran Denny JA dari sembilan esai dalam buku

karangan Ahmad Gaus. Namun menurutnya, ia tidak mengklaim bahwa sembilan butir itu mewakili seluruh pemikiran Denny JA yang tersebat dalam ratusan karyanya.

Buku ini hanya diniatkan untuk menyorot aspek-aspek pemikiran Denny JA yang terpenting, yang terkait dengan agama dan spiritualitas. (sarinah)

Rewriten : sarinah

Artikel ini telah dimuat Inews.id pada April 3, 2023 dengan judul, “BERAGAMA DI ERA GOOGLE: Membedah Pemikiran Denny JA”