DARI LUKISAN PAUS FRANSISKUS HINGGA DIMULAINYA PERGESERAN KREATIVITAS

DARI LUKISAN PAUS FRANSISKUS HINGGA DIMULAINYA PERGESERAN KREATIVITAS

AI, Kritik Sastra:
Revolusi Kreativitas Bersama Artificial Intelligence (1)

 

DARI LUKISAN PAUS FRANSISKUS HINGGA DIMULAINYA PERGESERAN KREATIVITAS
By Denny JA

 

“Itu adalah sebuah deklarasi. Dunia kreativitas sudah bergeser. Kita memasuki bab terakhir berkarya tanpa sentuhan Artificial Intelligence. Peradaban, termasuk dunia kreativitas, memasuki babak baru.

Itu yang saya katakan kepada wartawan, kolega, dan publik luas, ketika mereka bertanya. Apa arti penting pameran lukisan saya (Denny JA) di Galeri Nasional, Festival Toleransi, 2-4 September 2024, menyambut kedatangan Paus Fransiskus ke Jakarta.

Pameran lukisan itu cukup menarik perhatian tokoh pemerintahan, tokoh masyarakat dan publik luas. Tak hanya Menteri Koordinator MPK Muhajir Effendi dan 12 Duta Besar berfoto di depan lukisan itu. Tapi juga Ibu Sinta Nuriyah, istri Gus Dur, dan tokoh pro- keberagaman lain berpose di depan lukisan itu. (1)

Lukisan soal Paus Fransikus yang dihadirkan pada Festival Toleransi tidak hanya menyuarakan pesan mendalam tentang kerendahan hati dan keberagaman Paus Fransiskus. Tetapi yang jauh lebih mendasar lagi, dan efeknya jangka panjang, ia menandai hadirnya artificial intelligence sebagai mitra dalam proses kreatif.

Melibatkan AI dalam penciptaan seni tidak hanya sekadar sebuah tren. Itu penanda dari revolusi proses kreatif.

-000-

Pada tahun 2021, dunia seni visual mengalami kejutan besar ketika sebuah lukisan yang dihasilkan oleh AI terjual seharga $432.500 di rumah lelang Christie’s. Lukisan berjudul “Portrait of Edmond de Belamy”

ini tidak dilukis oleh tangan manusia, melainkan diciptakan oleh sebuah algoritma yang dikembangkan oleh kolektif seni Paris, Obvious. AI yang mereka gunakan adalah Generative Adversarial Network (GAN), sebuah model yang dilatih menggunakan ribuan potret dari periode Renaisans hingga kontemporer.

Momen ini tidak hanya menandai pencapaian baru dalam teknologi, tetapi juga memicu perdebatan tentang masa depan seni dan peran manusia dalam proses kreatif. Kasus ini dapat dilacak lebih lanjut melalui artikel di [The Verge](https://www.theverge.com/2018/10/25/18022906/ai-art-portrait-edmond-de-belamy-auction-christies).

Fenomena ini menggarisbawahi salah satu pertanyaan mendasar dalam dunia seni: Apakah seni yang diciptakan oleh AI dapat dianggap sebagai karya seni sejati?

Apakah teknologi dapat menggantikan intuisi, emosi, dan sentuhan manusia dalam menciptakan sesuatu yang benar-benar orisinal?

Seni visual, sepanjang sejarahnya, selalu menjadi cerminan dari jiwa manusia—ekspresi terdalam dari pengalaman, pemikiran, dan emosi kita.

Dari lukisan gua di Lascaux hingga karya abstrak Jackson Pollock, seni telah menjadi medium untuk memahami dan menginterpretasikan dunia di sekitar kita. Namun, dengan munculnya AI dalam proses kreatif, batas-batas antara seniman dan mesin mulai kabur.

Sejarah penggunaan teknologi dalam seni visual sebenarnya telah dimulai sejak lama. Pada abad ke-20, seniman seperti Marcel Duchamp dan Andy Warhol mulai menggunakan teknik-teknik baru, seperti cetak ulang dan kolase, yang memanfaatkan teknologi untuk menciptakan karya seni yang revolusioner.

Warhol, misalnya, menggunakan teknik cetak saring untuk memproduksi massal gambar-gambar ikonik seperti “Marilyn Diptych,” yang memadukan seni dan komersialisme dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Namun, meskipun teknologi telah lama menjadi alat bagi seniman, keputusan kreatif dan visi artistik tetap berada di tangan manusia.

Kemajuan teknologi pada abad ke-21 membawa kita ke era di mana AI seperti GANs (Generative Adversarial Networks) dan DALL·E mulai memainkan peran yang lebih besar dalam penciptaan seni.

GANs, seperti yang digunakan dalam penciptaan “Portrait of Edmond de Belamy,” bekerja dengan cara mempelajari data set gambar dan menghasilkan karya baru yang meniru pola-pola yang ditemukan dalam data tersebut.

Sementara itu, DALL·E, yang dikembangkan oleh OpenAI, mampu menghasilkan gambar-gambar yang belum pernah ada sebelumnya berdasarkan deskripsi teks yang diberikan oleh pengguna.

Misalnya, jika diminta untuk membuat gambar “sebuah kubis yang berjalan di atas roda,” DALL·E dapat menciptakan ilustrasi yang unik dan kreatif yang benar-benar menggabungkan elemen-elemen ini.

Namun, meskipun AI mampu menciptakan karya seni yang mengesankan secara teknis, ada satu elemen penting yang masih kurang: personalisasi dari seniman manusia.

Seni bukan hanya tentang keindahan visual atau keterampilan teknis; seni adalah tentang ekspresi, tentang cara seniman melihat dunia dan bagaimana mereka ingin menyampaikan visi mereka kepada orang lain.

AI mungkin dapat menghasilkan lukisan yang mirip dengan karya seorang master, tetapi ia tidak dapat memahami atau merasakan emosi yang mendorong penciptaan karya tersebut. Di sinilah peran manusia menjadi sangat penting—sebagai kreator yang memberikan roh pada karya seni yang dihasilkan.

Dengan munculnya Chat GPT 4.0, AI telah mengambil langkah lebih jauh dalam dunia seni visual. Chat GPT 4.0, misalnya, tidak hanya mampu menghasilkan deskripsi teks yang dapat digunakan untuk menciptakan karya seni visual, tetapi juga dapat memberikan analisis tentang gaya artistik tertentu dan bagaimana gaya tersebut dapat dikembangkan lebih lanjut.

Ini membuka kemungkinan baru bagi seniman untuk bereksperimen dengan gaya dan teknik yang sebelumnya tidak mereka pertimbangkan, sambil tetap mempertahankan suara kreatif mereka sendiri.

Namun, dalam kolaborasi antara manusia dan AI, tantangan etis dan filosofis tetap ada. Apakah kita sebagai masyarakat siap menerima karya seni yang diciptakan oleh mesin sebagai bagian dari kanon seni kita?

Bagaimana kita menilai kualitas dan orisinalitas karya yang sebagian besar dihasilkan oleh algoritma? Pertanyaan-pertanyaan ini sangat relevan di era di mana teknologi dan seni semakin terintegrasi, dan di mana batas antara kreator dan alat menjadi semakin kabur.

-000-

Dalam kajian teori, konsep The Extended Mind”yang dikemukakan oleh Andy Clark dan David Chalmers dapat memberikan perspektif menarik tentang bagaimana kita memahami peran AI dalam seni.

Menurut konsep ini, alat dan teknologi yang kita gunakan bisa dianggap sebagai perpanjangan dari pikiran kita sendiri. Dalam konteks seni visual, AI bisa dilihat sebagai ekstensi dari kreativitas seniman, sebuah alat yang memperluas batas-batas apa yang bisa dicapai oleh imajinasi manusia.

Namun, AI tidak bisa menggantikan pengalaman, intuisi, dan emosi manusia—unsur-unsur yang memberikan kedalaman pada karya seni.

Seperti yang pernah dikatakan oleh Pablo Picasso, “Every act of creation is an act of destruction.” Dalam setiap inovasi yang dibawa oleh AI, ada bagian dari tradisi dan metode lama yang ditinggalkan. Namun, dalam proses ini, kita juga membuka jalan bagi bentuk-bentuk baru dari ekspresi artistik yang belum pernah ada sebelumnya.

AI dalam seni visual bukan hanya tentang menggantikan seniman, tetapi tentang memberi mereka alat baru untuk mengeksplorasi ide-ide dan konsep-konsep yang lebih besar.

Pada akhirnya, AI memberikan draft dasar, tetapi manusialah yang harus melakukan personalisasi. Hanya dengan begitu, karya seni bisa memiliki kedalaman dan makna yang benar-benar beresonansi dengan penikmatnya.

Dalam kolaborasi ini, AI dan manusia bersama-sama menciptakan sesuatu yang baru—sebuah kanvas di mana teknologi dan kemanusiaan bertemu.

Tetapi, dalam kanvas ini, manusia tetaplah pelukisnya, memastikan bahwa setiap garis, setiap warna, bergetar dengan keindahan dan kekuatan dari pengalaman hidup yang sejati.***)

 

Reposted: sarinahnews.com
Jogyakarta, September 4, 2024

 

***Ditulis di Kereta Api, Jakarta- Jogjakarta, 4 Sept 2024

CATATAN:
(1) Pameran lukisan Denny JA dengan asisten Artificial Intelligence, di Festival Toleransi, Galeri Nasional, 2-4 September 2024:

Memandang Lukisan Paus Fransiskus Membasuh Kaki Rakyat Indonesia