Yang Tercecer di Era Kemerdekaan (12)
(Di zaman penjajahan Belanda sebelum tahun 1942, banyak gadis pribumi bekerja untuk tuan Belanda, sekaligus menjadi istri tak resmi, gundik, gadis simpanan, yang disebut Nyai. Tugas mereka hanya melayani Tuan Belanda. Tapi beberapa Nyai tumbuh memperkuat diri).
NYAI DEDEH MENCARI KUNANG-KUNANG
By Denny JA
Bogor, tahun 1935.
Menjelang malam, Dedeh dan Prabu, melewati jalan setapak, mengendap-endap, di kebun, tak ingin diketahui orang.
Sampailah mereka ke rumah Kyai.
Ia guru ngaji Prabu.
Dedeh pun menangis.
Usianya 16 tahun.
Bapak memintanya kerja,
menjadi pembantu tuan Belanda,
sekaligus sebagai gundik,
istri yang tak dinikahi.
Bapak pedagang batik.
Terlilit hutang.
Tuan Belanda membantu,
dengan syarat:
Dedeh menjadi gundiknya.
“Tolong aku, Kyai.
Nikahkan aku sekarang dengan Prabu.
Aku ingin pergi dari rumah.”
Air mata Dedeh tumpah.
Di langit, bulan ikut menangis.
Terdengar suara jangkrik yang meraung,
menahan luka.
Ujar Kiai,
“Nak, kau masih punya Ayah.
Walau ingin, Kiai tak bisa menikahkanmu.
Tak sah secara agama.
Percuma.
Ayahmu yang sah menikahkanmu, karena ia masih sehat.”
“Dengar kata Kiai:
Jangan jadi rumput.
Kau selalu diinjak-injak.
Jadilah pohon.
Itu Tuan Belanda kaya.
Jangan mati akal.” (1)
Kata Kiai itu seperti mantra.
Menancap di memori.
Dedeh terus menangis.
Prabu terdiam lesu.
Memandang kekasihnya.
Ia tak berdaya.
Di luar rumah Kiai,
di kebun itu,
Dedeh dan Prabu,
berpelukan, bertukar air mata.
Dedeh dan Prabu terpana.
Banyak kunang-kunang terbang di kebun.
Memberi cahaya.
“Aku akan menunggumu,” janji Prabu.
Selalu.
Aku berjanji di depan kunang-kunang.
Cintaku tak padam.”
Dedeh tertawa.
Mereka menangis kembali.
Tahu perpisahan segera datang.
Dedeh segera menjadi gundik Tuan Belanda.
Mereka berpelukan.
Pelukan yang terakhir.
Dedeh juga katakan itu:
“Cintaku terus menyala.
Aku juga janji di depan kunang-kunang.”
Zaman berganti.
Dedeh menjadi gundik Tuan Belanda.
Mereka pindah ke Batavia.
Dedeh punya anak.
Satu anak.
Dua anak.
Selalu ia ingat nasehat Kiai.
Jangan jadi rumput,
jika tak ingin diinjak.
Dedeh membujuk Tuan Belanda.
Ia ingin bantu usaha.
Anak-anak sudah besar
Dedeh pun belajar membaca.
Dengan sangat tekun.
Belajar menghitung.
Dengan sangat tekun.
Dedeh jalankan usaha.
Dengan sangat tekun.
Di kala sepi,
Dedeh sering teringat Prabu.
“Di manakah kini kau berada, sayangku?
Kau berjanji, menungguku.
Selalu.”
Tahun 1942,
Jepang datang.
Belanda dikalahkan.
Tuan Belanda kabur pulang ke negerinya.
Dua anak Dedeh dibawa serta.
Dedeh ditinggal begitu saja.
Tapi ini Dedeh yang berbeda.
Usaha Tuan Belanda menjadi miliknya.
Dedeh pun ke Bogor,
mencari Prabu.
Tujuh tahun sudah berlalu,
sejak jumpa terakhir.
Terdengar kabar,
Prabu bekerja sebagai Romusha.
Dikirim tentara Jepang ke Riau.
Membangun Rel Kereta Api.
Entah sampai kapan.
Menjelang malam,
Dedeh ke kebun Pak Kiai.
Ia ingin lihat kembali kunang-kunang.
Kenangan terakhirnya dengan Prabu.
Tapi kunang-kunang itu tak pernah datang lagi.
Prabu pun tak terdengar lagi.
Dedeh hidupkan kembali usaha bapaknya.
Usaha batik.
Ia beri merek baru.
Batik dengan merek Prabu.
Motif batik itu sering ia buat.
Batik motif kunang-kunang.
“Jika aku tak bisa bersatu denganmu di dunia nyata,
kita bersatu di kain batik ini.”
Batik itu ditekuninya sepenuh jiwa.
Motif kunang-kunang itu,
ditulisnya di kain,
untuk Prabu,
yang entah dimana.
Di tahun 2000,
batik merek Prabu itu sampai di tangan Yenni.
Sebagai peneliti sejarah,
Yenni mencari batik itu.
Ketika Yenni menghayati batik itu,
dan kisah cinta di baliknya,
kunang-kunang di batik itu, seolah hidup, terbang, banyak sekali, mengitari Yenni,
bercahaya.
Wow!, Yenni terpana.
“Kunang- kunang ini hidup.”
Berputar- putar,
itu kunang- kunang menyampaikan pesan,
kisah seorang gundik, seorang nyai, yang tak berdaya memberikan tubuhnya, tapi tetap memegang teguh cintanya.
Cinta sejati. ***
Reposted: sarinahnews.com
Jakarta, 18 Mei 2024
CATATAN
(1) Umumnya gadis pribumi yang dijadikan istri tak resmi, gundik, nyai bagi Tuan Belanda tak berdaya, dan layu di masa tua. Tapi ada juga nyai yang justru bangkit:
https://www.detik.com/jabar/budaya/d-6301218/melacak-jejak-nyai-saritem-sang-kembang-dayang-bandung/amp