DILEMA DI TANAH ASING

DILEMA DI TANAH ASING

Mereka Yang Terbuang di Tahun 1960-an (11)

DILEMA DI TANAH ASING
Denny JA

(Di masa tua, seorang mahasiswa Indonesia yang terusir dari negara akibat prahara tahun 1960-an, mengalami dilema antara rindu tanah air dan hidup nyaman di tanah asing)

-000-

 

Tahun enam-puluhan, aku berangkat dengan dada yang penuh,
tas lusuh.
Impian Bung Karno dititipkan di pundakku.

Kami adalah kapal kecil di samudra sejarah,
menuju negeri jauh, menggapai ilmu dan masa depan,
untuk tanah yang suatu hari akan kami pijak lagi.

Tapi angin berubah, cepat, liar.
Suara Bung Karno tenggelam,
nama yang terhapus dari lembar buku sejarah.

Kami, yang dulu dielu-elukan,
berubah jadi daun layu tertiup angin, tersingkir ke sudut senyap, tak lagi dilihat.

Dulu kami kibarkan bendera harapan, sekarang bayang-bayang kami memudar di mata sejarah.

Aku gemetar, kawan,
bukan karena dingin,
tapi karena dinding besi yang menunggu di ujung jalan.

Aku takut pada tuduhan yang datang seperti angin badai, membawa namaku ke tempat yang tak pernah kujejaki,
ke ruang sunyi tanpa suara pembelaan.

-000-

Di negeri ini, negeri asing,
yang tak pernah kubayangkan jadi tempatku menetap.

Aku menjadi perahu terdampar di pantai asing,
bertahan, tapi tak pernah benar-benar berlabuh.

Mereka memberiku atap untuk berlindung,
sejumput hak,
dan kehormatan yang dingin, seperti mantel yang melindungi tubuh, namun tak pernah menghangatkan jiwa yang mulai rapuh.

Tapi lihatlah hatiku.
Ia tertinggal di antara sawah menguning di Wonosobo,
di bawah langit yang senantiasa berubah,
di tanah yang tak pernah benar-benar hilang dari ingatan.

Tapi pulang? Pulang itu apa, kawan?
Aku memang rindu suara hujan di atap seng,
rindu harum tanah basah yang dulu kusapa setiap pagi di rumah ibu, di pinggir sawah.

Namun, apakah tanah itu masih mengenalku?

Apakah aku masih punya hak untuk berdiri di atasnya,
atau hanya bayangan yang tak lagi diingat?

Politik telah berubah,
reformasi katanya, pintu terbuka,
namun aku tetap terperangkap.
di antara kerinduan yang terus menggeliat
dan ketakutan yang tak kunjung padam.

Tubuhku renta,
di sini mereka memberiku kursi empuk,
segelas teh hangat,
dan janji bahwa aku tak perlu takut hari tua.

Tapi apakah itu cukup?
Apakah kursi empuk bisa menggantikan kerasnya rotan ibu?
Apakah teh hangat bisa menghapus kenangan kelapa segar
yang kuteguk di bawah terik matahari kampung halaman?

Aku bimbang, kawan,
langit Indonesia tetap memanggil,
namun di bawahnya, tanah yang dulu akrab kini terasa asing.

Aku ingin pulang,
tapi ketakutan membelit.
Aku takut negeri itu tak lagi mengenal wajahku yang penuh keriput,
takut tak ada lagi kehangatan menyambutku di sana.

Apa yang tersisa bagiku, setelah langkah-langkahku tak lagi meninggalkan jejak?

Di sini, aku terlindung dari badai,
tapi jiwaku mengambang dalam kehampaan.

Di sana, ada cinta yang dulu membara,
tapi apakah bara itu masih mengingat namaku, atau sudah padam tertiup angin waktu?

Aku tak tahu, kawan,
tak ada luka yang lebih dalam daripada tersesat di antara dua pintu,
yang keduanya terkunci rapat, dan tak ada kunci yang kubawa.***

 

 

Reposted: sarinahnews.com
Jakarta, 5 Oktober 2024

CATATAN:
(1) Puisi esai ini fiksi, diinspirasi oleh banyak kisah pelajar Indonesia yang disekolahkan ke luar negeri pada tahun 1960-an. Namun, prahara politik mengubah hidup mereka.

https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/09/150928_indonesia_lapsus_eksil_bui