IBU DARI CIAWI MENCARI ANAKNYA ORANG BELANDA

IBU DARI CIAWI MENCARI ANAKNYA ORANG BELANDA

Yang Tercecer di Era Kemerdekaan (15)

(Sebelum tahun 1942 di era penjajahan Belanda, banyak perempuan pribumi menjadi pembantu rumah tangga, sekaligus gundik, gadis simpanan, istri yang tak pernah dinikahi pria Belanda. Mereka melahirkan anak. Umumnya anak ini dibawa Ayah mereka ke Belanda ketika Jepang datang. Untuk banyak kasus, perempuan itu di masa tua hingga mati merindukan anaknya)

IBU DARI CIAWI MENCARI ANAKNYA ORANG BELANDA
By Denny JA

 

“Usiaku tak lama lagi.
Bantu aku, Joko.”
Sekali saja, saat ini saja.”

Ingin kulihat wajah anakku lagi.
Lima puluh dua tahun sudah,
Ia dipisahkan dariku.”

“Elmo, Elmo.
Ke sini, Nak.
Ke sini.”

Kata-kata ini,
berulang-ulang dikatakan Bi Inah.

Bogor, tahun 1994.
Badan Bi Inah sudah lunglai.
Usia 76 tahun.
Dua minggu sudah.
Ia hanya tergeletak di kamar.

Empat orang,
duduk di kamar itu, menemani.
Mereka terus saja mengaji, berulang-ulang membaca
kitab suci.

Tiba- tiba Bi Inah teriak:
“Jangan tembak, jangan tembak.
Ini anak saya.
Jangan Pak.”

Bu Inah seperti terbang ke masa silam.
Tiga tentara Jepang mencekik
Elmo, anaknya, si sinyo Belanda.

Mereka yang mengaji kaget,
saling tengok.
“Ada apa dengan Bi Inah?”
Joko menenangkan mereka:
“Kita terus saja mengaji,”

Bi Inah adalah misteri.
Siapa Bi inah?
Tak ada yang tahu.
Asal dari mana?
Tak ada yang tahu.
Mengapa ia sering ngomong soal Belanda?
Tak ada yang tahu.

Tetangga hanya dengar samar-samar.
Bi Inah dari Cimahi.
Tapi tak ada keluarganya,
yang pernah datang.

Sudah dua puluh tahun memang.
Bu Inah pindah ke Bogor.
Membeli rumah itu.
Buka warung di depan rumah.

Bi Inah tidak bergaul,
menutup diri.
Hanya kadang pergi ke pasar.

Juga samar terdengar,
Joko anak angkatnya.

Selesai mengaji,
tetangga bubar.
Joko khusyuk berzikir.
Dipegangnya tangan Bi Inah,
diajaknya bersama melafalkan nama Tuhan.

Surat Al Fatihah dibaca Joko, berulang-ulang bercampur nafas Bi Inah yang semakin jarang.

Joko melihat Bi Inah, seperti melihat luka menganga.
Gumpalan derita.
Rindu yang tak sampai.
Tak berdaya.

Tahun 1936, di Cimahi.
Usia Bi Inah baru 18 tahun.
Ia dijual ayahnya ke tentara KNIL Belanda.
Keluarga Bi Inah dililit hutang.

Bi inah berontak.
“Aku tak mau,
aku sudah punya calon suami.”

Bi Inah kabur dari rumah tentara Belanda.
Tapi Ayah dan Ibunya dijadikan sandera.
Itu perjanjian ketika Bi inah dijual.

Pagi, siang, malam, tak henti.
Bi Inah melayani tuan Belanda.
Ia pun hamil.
Elmo lahir.

Bi inah besarkan Elmo.
Ia menyusuinya.
Ia timang- timang agar tidur.
Hanya Elmo hiburannya.
Ia berikan nyawanya untuk Elmo.
Cinta ibu pada anak.

Tahun 1942, Jepang datang.
Belanda dikalahkan.
Malam itu rumah tuan Belanda digerebek Jepang.
Tuan Belanda sedang tak di rumah.

Wajah Elmo terlihat mirip Belanda.
Senapan diarahkan ke wajah Elmo.
“Mana Ayahmu,”
tanya tentara Jepang.
Elmo menangis ketakutan.

Bi Inah teriak histeris.
“Jangan Pak, bunuh saya saja.
Ia anak saya.
Tak tahu apa-apa.”

Itulah awal Elmo dibawa pergi Ayahnya, ke Belanda.
“Aku dan Elmo tak aman tinggal di sini,” kata tuan Belanda itu,
lelaki yang dilayaninya bertahun-tahun.

Bi Inah memohon dibawa serta, tapi tak didengar oleh Tuan Belanda.
Bi Inah menangis.
Diciumnya tapak kaki tuan Belanda.
Memohon.
Agar ia tak dipisahkan dari anaknya.
Tak digubris.

Itu terakhir kali, Bi Inah melihat anaknya, Elmo.
Usia Elmo lima tahun.

Tuan Belanda hanya sampaikan pesan.
“Ini.
Jika rindu anakmu,
kirim surat ke alamat ini.
Di Den Haag, di Belanda.” (1)

“Rumah dan usaha ini,
semua kamu ambil.
Tapi anak ini, anakku, ikut aku.”

Elmo juga menangis,
tak ingin dipisahkan.
Tapi Elmo dibawa paksa, pergi.
Pergi pula mataharinya.

Setiap minggu Bi Inah kirim surat.
Tak berbalas.
Sudah ratusan surat ditulisnya.
Tak berbalas.
Tahunan sudah.
Tak berbalas.

Tahun 1967, Bi Inah ditemani seorang aktivis terpelajar, ke Belanda,
mencari Elmo.
Ternyata itu alamat palsu.
Tak ada alamat itu.

“Tak heran, suratku tak berbalas,”
Bi Inah menangis dalam hati.
“Teganya, kau Tuan Ernest.
Ia juga anakku.”

Kembali ke Cimahi,
Bi Inah kembali ke derita.
Ia dianggap sampah masyarakat,
menjadi gundik orang kafir Belanda.
Berzinah dengan tuan Belanda, tak pernah dinikahi resmi.

Hanya Joko, anak angkatnya,
yang memahami.
Rumah itu, yang ditinggalinya sejak dulu,
kenangannya dengan Elmo, dijualnya.

Bi Inah pindah ke Bogor.
Ia perlu lingkungan baru.
Ia ingin lepas dari masa lalu.
Ia harus ke tempat yang tak mengenal dirinya.

Tapi ke manapun ia pergi,
bayangan Elmo, anaknya
tetap menemani.
Foto Elmo, selalu di sana,
di dompetnya.

“Elmo, Elmo.”
Itu kata terakhir yang disebut Bi Inah.
Bantal guling itu dalam pelukan,
ketika Bi Inah wafat.

Di mata Joko,
bantal guling yang dipeluk Bi Inah, berubah bentuk,
menjadi Elmo, si sinyo Belanda.

Menuju akhirat,
di mata Joko
Bi Inah bukan memeluk bantal guling,
tapi memeluk Elmo,
anaknya,
yang sangat dirindukannya,
yang entah di mana.*

 

Reposted: sarinahnews.com
Jakarta, 28 Mei 2024

CATATAN
(1) Banyak keturuhan Indo Belanda mulai menyadari nenek buyut mereka gadis pribumi Indonesia yang dijadikan gundik oleh kakek buyut mereka.

https://www.thejakartapost.com/news/2016/08/01/nyai-primal-mother-indo-europeans.html