ILMU MENJADI TANAH AIR PENGGANTI

ILMU MENJADI TANAH AIR PENGGANTI

Mereka Yang Terbuang di Tahun 1960-an (10)

ILMU MENJADI TANAH AIR PENGGANTI
By Denny JA

(Di tahun 1960-an, ketika tak bisa pulang ke tanah air Indonesia, Sartono menemukan “rumah” baru dalam ilmu pengetahuan, berjuang melawan keterasingan di negeri yang tak dikenal)

-000-

 

“Aku peramu ilmu,
bukan prajurit ideologi.
Negaraku tak terlukis di peta,
tapi di dunia ilmu pengetahuan.”

Di tepi sungai Spree,
Sartono menatap bayangannya,
rapuh dan kabur,
terbias arus yang dingin.
Harapannya retak.
Ia adalah kaca yang pecah tanpa suara.

Dingin malam Berlin
membangkitkan luka yang tak sembuh,
meski tahun-tahun berlalu,
tersembunyi di balik senyap salju.

“Ini bukan revolusiku,
bukan medan tempurku,”
bisiknya lirih,
terperangkap dalam janji yang pupus.
“Aku terjebak,
menjadi bayangan yang terus memudar,
tanpa arah, tanpa akhir.”

Tangannya gemetar,
bukan karena udara yang menusuk,
tapi masa depan yang padam,
jejak yang hilang ditelan badai.

Pulang?
Paspor telah dicabut,
tanah air memalingkan wajah.
Di mana rumah,
jika kenangan adalah serpihan?
Di mana aku menemukan jalan pulang
di dunia yang tak mengenalku lagi?

Tahun 1960-an,
Bung Karno mengirimnya ke Moskow,
untuk memetik bunga revolusi.

Namun pohon besar itu tumbang.
Segala akarnya dicabut.
Dihempas angin topan.

Aku daun kecil ikut terbawa,
melayang- layang,
berputar tanpa arah,
tak menapak tanah.

Sepi datang, menjadi virus
lebih dingin dari salju,
lebih kejam dari revolusi yang gagal,
mengiris jiwaku,
mengoyak mimpi yang pernah mekar,
di atas ilusi kekuasaan.

“Aku berlari,
tapi dari apa?
Dari diriku sendiri?”

Namun di tengah kehancuran,
seberkas cahaya muncul,
bukan dari api revolusi yang meredup,
melainkan dari dunia ilmu pengetahuan,
yang diam-diam menyusup,
membuka jendela ke dunia yang lebih luas.

Jika tak ada tanah untukku,
aku akan menciptakan rumah
dari ilmu yang kupelajari.

Ini rumah tanpa batas,
tanpa paspor,
tanpa negara,
setiap molekul menjadi pijakan.

Dari Moskow, Sartono mencari jalan, ke Berlin, lewat jalan rahasia, tersembunyi.
Rasa takut dikalahkan jeritan kebebasan.

Berlin Barat, 1977.
Aku tiba dengan tangan kosong,
berlindung dari bayangan masa lalu.
Tak ada nama yang memanggilku,
tak ada jejak yang mengenaliku.

Namun di Max Planck,
aku temukan tanah air baru,
bukan dari tanah,
tapi dari rumus dan formula ilmu,
yang menjawab sepi dalam dadaku.

“Ilmu adalah jalanku pulang,”
bisikku pada malam tanpa bintang.

Setiap rumus yang kugoreskan
adalah puisi,
setiap temuan riset adalah nyanyian,
membangkitkan jiwa yang pernah hilang.

Sartono, di tepi sungai Spree,
berdialog dengan bayangannya.
“Apakah ini akhir pencarianku?
Apakah ini jawabannya?”

Ilmu telah menjadi bahasaku,
dan dalam setiap kajian buku,
aku menemukan kembali diriku.

“Tanah air bukan di mana kakiku berpijak,”
“Tapi di setiap pengetahuan yang kugenggam.”

Kembali ke Indonesia dua kali,
tapi semuanya terasa asing.
Hanya ilmu yang setia,
tak pernah meninggalkanku.

Malam di Berlin,
di tepi sungai yang beku,
aku tak lagi bertanya soal paspor atau bendera.
Ilmu adalah tanah air keduaku,
dan di dalam buku,
aku telah pulang.

Aku bukan lagi daun yang
melayang di badai, melainkan pohon yang
berakar kuat,
berdiri kokoh di tanah
pengetahuan.

Ilmu adalah bahasaku,
Buku adalah benderaku.
“Tanah air bukan di mana
kakiku berpijak,
tapi di mana pikiranku
bertumbuh.***

 

Reposted: sarinahnews.com
Jakarta, October 4, 2024

CATATAN
Kisah ini fiksi, terinspirasi dari kehidupan Waruno Mahdi, seorang eksil Indonesia yang kehilangan kewarganegaraannya akibat peristiwa 1965, namun menemukan identitas dan “rumah” dalam ilmu pengetahuan.

Waruno Mahdi : “Saya tak punya tempat ke mana saya pulang…. Berangkat, ya, ke mana-mana…”** #Eksil1965