Jacob Ereste: Putusan MA Menyusul Putusan MK Yang Abai Terhadap Etika

Jacob Ereste: Putusan MA Menyusul Putusan MK Yang Abai Terhadap Etika

JAKARTA | SARINAH NEWS || – Artikel ini ditemukan di salah satu WAG Politik. Artikel ini sangat menarik, pengamatan konstitusi dan etika diabaikan oleh penguasa.

Apakah penguasa memang berhak mengatur dan mengutak atik konstitusi dan etika demi kepentingan pribadi dan kelompoknya? Apa harus memang begitu watak semua penguasa? Mampukah menyongsong Indonesia emas 2045 didasari pada abai etika dan moral? Apakah hal itu justru akan membawa kemunduran kembali ke era abai kebebasan berbicara dan etika?

Pilpres memang finished. Kita akui Prabowo Subiyanto sebagai presiden terpilih, terlepas suka maupun tidak suka! Pemerintahan harus tetap berjalan. Terlepas seluruh programnya sesuai ideologi negara atau tidak.

Suasana aura Pilpres masih terasa. Konyolnya lagi, pelanggaran etika dan otak-atik konstitusi terus berlaku asal keluarga penguasa senang.

Otak-atik konstitusi dan mengabaikan etika ditrapkan lagi pada Pilkada serentak bulan November 2024. Cakada berumur kurang 30th boleh!

Ah! Luar biasa! Rakyat dianggab sebatas bisa teriak! Partai pendukung seqkan tidak mau tau soal itu, yang penting menang! Dan jadi penguasa!

Dalam WAG, Jacob Erests tuliskan:

“Akibat abai pada etika, moral dan akhlak, semua bidang — tak hanya hukum yang tidak beretika dan abai terhadap moral hingga tidak berakhlak — terus dilabrak dengan berbagai dalih hukum formal yang mengandalkan retorika yang keblinger.

Itulah yang ditandai oleh putusan MK (Mahkamah Konstitusi) No. 90 Tahun 2024 yang disusul putusan MA (Mahkamah Agung) soal batas usia calon kepala daerah terkesan semakin ugal-ugalan dilakukan.

Pelanggaran etika yang dalam putusan MK, tetap dibenarkan secara hukum terhadap putusan itu. Sedangkan putusan MA tak hanya melabrak etika, tapi juga tatanan hukum yang dilakukan sekehendak hati.

Kebobrokan etika, moral hingga akhlak penegak hukum seperti itu adalah cermin wajah tata negara dan tata berbangsa Indonesia yang tak lagi bisa dicegah, kecuali pasrah kepada azab Allah semata.

Sebab para pakar hukum pun tampak tidak melakukan apa-apa, seakan membiarkan kemarahan dilakukan oleh rakyat yang merasa terzalimi, akibat hukum yang tidak lagi bisa diharap memberikan kepastian dan keadilan bagi rakyat.

Bobroknya etika, moral dan akhlak aparatur pemerintah hanya mungkin disikapi dengan pembangkangan dan perlawanan non hukum.

Sebab pelaksanaan hukum pun sudah berulang kali dilakukan dengan mengabaikan etika dan moral yang tidak berakhlak.

Lalu budaya seperti apa yang akan berlanjut kemudian bila tata etika dan moral tak lagi dapat dijadikan sandaran sebagai sikap dan laku dalam menata negara dan bangsa yang ingin menyongsong Indonesia Emas pada tahun 2045?

Sungguhkah dengan modal etika dan moral yang ambruk itu kita bisa membangun masa depan rakyat memasuki gerbang Indonesia Emas yang tinggal satu generasi lagi paling lama usianya?

Sungguh miris dan menyedihkan, gerakan kebangkitan kesadaran dan pemahaman spiritual yang berbasis etika, moral dan mengunggulkan tatanan moral yang mulia sebagai manusia yang beradab, seperti semakin menjauh, layak bumi yang terbelah oleh bencana yang maha dahsyat.

Itulah sebabnya, kata Sri Eko Sriyanto Galgendu Indonesia sekarang ini memerlukan pemimpin spiritual yang kukuh berbasis pada etika, moral dan akhlak mulia, percaya kepada Tuhan yang bisa murka dan marah menurunkan azab tanpa pernah bisa dielakkan.

Maka itu, perhatian kepada semua pemangku kepentingan, agar mau melihat tanda-tanda zaman edan, serta berani untuk tidak keduman, seperti pesan tersirat dari Ronggo Warsito.” Demikian yang ia tulis. Jakarta, June 5, 2024. (sarinah)

 

Editor: sarinah
Posted: sarinahnews.com
Jakarta, June 15, 2024