Kami Iklas Dikubur Hidup-hidup

Kami Iklas Dikubur Hidup-hidup

KAMI IKHLAS DIKUBUR HIDUP-HIDUP

– Kasus Ahmadiyah di NTB, 2006-2022

Denny JA

Satu sore yang sedih.
Menjelang hari proklamasi.
Agustus 2022.

Angin meronta dari pohon-pohon.
Ia ingin lepas agar bebas kembali ke awan.

Burung-burung berontak dari sangkar.
Mereka ingin terbang bebas pulang ke sarang.

Majdi, wartawan itu, masih termenung di sana.
Di Transito, Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Ia menangkap gejolak.
Jeritan terpendam penduduk di Transito.
Kehendak untuk bebas.
Pulang ke kampung halaman.

Enam belas tahun sudah.
Dipaksa atau terpaksa,
mereka hidup di pengungsian.

Enam belas tahun sudah.
Didesak atau terdesak,
mereka tak bisa pulang ke kampung halaman.

Tak bisa pulang ke tanah milik mereka sendiri.
Tak bisa kembali ke tanah tempat mereka dilahirkan.

Tak bisa hidup di tempat mereka dibesarkan.
Padahal mereka warga Indonesia yang sama.
Sudah menjadi Indonesia turun- temurun.

Dibacanya lagi itu dokumen.
Kutipan ini memukulnya.
Menghentak.
Keras sekali.

“Jika kami dianggap menodai agama, jebloskanlah kami ke dalam penjara.

Kami seluruh warga Ahmadi, pengungsi laki-laki, perempuan, tua, muda maupun anak-anak, lahir batin, ikhlas dipenjara.

Jika sama sekali tidak ada tempat bagi kami di ruang penjara, maka galikanlah bagi kami, Bapak Wali Kota, kuburan.

Kami seluruh warga Ahmadi pengungsi, laki-laki, perempuan, tua, muda maupun anak-anak, siap, dan ikhlas dikubur hidup-hidup. (1)”

Dokumen ini Majdi kumpulkan. Riset untuk reportase.

Pimpinan di kantor memberi tugas.
“Majdi, tak lama lagi hari proklamasi.
Kau gali isu yang kritis.”

Pimpinan mengirim screen shoot di WA japri.
Lalu bunyi teks pimpinan:

“Tak ada yang lebih ironi dari kisah ini.
Warga negara menjadi pengungsi di negaranya sendiri.
Dari tahun 2006 hingga 2022.
Enam belas tahun sudah.”

Pesan pimpinan:
“Cari penyebabnya.
Riset. Eksplor.
Tonjolkan pesan kemanusiaan.
Itu hadiah kita.
75 tahun sudah usia republik ini.”

-000-

Majdi ingin pahami.
Apa penyebab kemarahan publik di NTB kepada Ahmadiyah?
Hingga penganut Ahmadiyah diusir,
tak boleh pulang.
Mereka ditampung di area pengungsian.

Di tahun 2005,
setahun sebelum warga Ahmadiyah diusir dari kampung halamannya sendiri di Ketapang,
MUI mengeluarkan fatwa:

“Ahmadiyah paham yang sesat!”

Seru MUI:
“Ahmadiyah ajaran menyimpang.
Itu di luar Islam.
Ia harus dibubarkan.
Perbedaan teologi Ahmadiyah dengan Islam tidak dapat ditoleransi.” (2)

Tiga tahun kemudian.
Ada kebijakan resmi pemerintah.
Surat Keputusan Bersama
di tahun 2008.
Ditandatangani menteri agama, menteri dalam negeri, dan jaksa agung. (3)

Ini isi yang memicu.

“Memberi peringatan dan memerintahkan.
kepada penganut dan pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia.”

“Sepanjang mengaku beragama Islam.
Harus menghentikan penyebaran.
Juga menghentikan penafsiran.
Yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam.

“Ialah penyebaran faham.
Yang mengakui adanya nabi, setelah Nabi Muhammad SAW.”

Majdi mengerenyitkan kening.
Menteri itu wakil pemerintahan.
Mengapa terlibat memihak kepada perbedaan paham agama masyarakat?

Apa pula patokan perbedaan yang bisa ditoleransi dan tidak?

Bukankah Tuhan itu hal paling penting?
Perbedaan konsep tentang Tuhan saja bisa ditoleransi.”

“Islam menyatakan Tuhan memberikan wahyu agar sholat menghadap kiblat?
Bukankah penganut agama lain tak percaya itu perintah Tuhan?”

“Mereka tidak sholat.
Berdoa pun mereka tak peduli soal kiblat.
Mereka memiliki citra Tuhan dan cara berdoa yang berbeda.”

Toh ini bisa ditoleransi.
Dan pemerintah tak ikut campur, keyakinan mana yang benar. Pemerintah tak melarang keyakinan yang berbeda.

Agama Kristen menyatakan Yesus mati di salib.
Agama Islam tak percaya.
islam meyakini Yesus atau Nabi Isa tidak disalib.

Toh, ini juga bisa ditoleransi. Yang satu tak dianggap menista agama yang lain.

Agama Kristen menyatakan yang akan dikurbankan oleh Nabi Ibrahim adalah anaknya bernama Ishak.

Agama Islam membantah.
Bukan, yang akan dikorbankan itu anaknya bernama Ismail.

Apa jadinya jika pemerintah ikut campur?
Hanya membolehkan meyakini Ishak saja? Atau Ismail saja?
Lalu keyakinan yang berbeda dilarang?

Bukankah Ahmadiyah sudah ada di Indonesia sejak tahun 1925?

Juga kini Ahmadiyah sudah mendunia, hidup di 200 negara?

Mengapa baru di era reformasi, Ahmadiyah diintervensi oleh Surat Keputusan Bersama 3 Menteri?”

Majdi memastikan.
Ia ingin membuat reportase yang berimbang.

Sanggah Majdi lagi:

“Bukankah di dunia kini sudah ada 4200 agama?
Semakin banyak perbedaan di masyarakat.

Apa jadinya jika pemerintah tak mengayomi semua?”

Majdi menggumam sendiri.

“Negara harus membiarkan agama menjadi urusan masyarakat.

Negara harus membebaskan interpretasi agama menjadi urusan komunitas.

Negara tak boleh ikut campur.
Tak memihak interpretasi manapun.

Yang dilarang negara hanya satu: kekerasan, paksaan, dan kriminal.

Keyakinan atas paham agama apapun itu bukan kriminal.

“Ah,” keluh Majdi.
“Aku tak bisa hanya menceritakan data dan fakta,”

“Keyakinan atas hak asasi manusia menjadi pilihanku.
Apakah aku sudah bias?”

Majdi ingin juga kritis kepada dirinya sendiri.

“Bisakah aku lebih netral?
Tapi haruskah aku netral untuk isu sepenting ini? Haruskah netral untuk hal fundamental bagi hak warga negara?

Konflik batin juga membimbangkan Majdi

-000-

Tapi soal anak-anak Majdi tidak bimbang.
Soal kondisi para bocah Ahmadiyah di pengungsian, Majdi tak pernah ragu.

Itu anak-anak Ahmadiyah lahir dan tumbuh di area pengungsian.
Padahal orang tua mereka punya kampung halaman.

Tempat bermain anak- anak itu sangatlah terbatas.
Tak memadai.

Juga soal makanan mereka.
Soal kesehatan mereka.
Soal pendidikan mereka.
Tak memadai.

Tekad Majdi:
“Saya akan buat reportase.
Dunia anak-anak ini yang diutamakan.
Pentingnya pertumbuhan mereka, jiwa dan raga.
Kurangnya lingkungan yang sehat.”

Majdi melihat jumlah tabungannya di bank online.
Akan ia sumbangkan sebagian tabungannya untuk keperluan sekolah anak-anak di pengungsian ini.

Majdi kumpulkan anak-anak itu.
“Adik-adik mau hadiah makan apa dari saya?”

Agak kaget Majdi.
Mayoritas minta Kentucky Fried Chicken.
Mereka melihatnya di TV.

Siang itu juga Majdi ke kota.
Ia bawakan Kentucky Fried Chicken.

Melihat anak- anak di area pengungsian,
Majdi teringat anak-anaknya sendiri.
Usia anak Majdi: 7 tahun dan 10 tahun.
Mereka sebaya dengan anak-anak Ahmadiyah.

Majdi teringat pertengkarannya dengan istri:
“Kau sibuk, terlalu sibuk dengan kerjamu.
Dengan TV-mu.”

“Mana waktumu untuk anak-anak?
Anak sulungmu ulang tahun, kau tidak di rumah.

Anak bungsumu mentas di panggung sekolah, kau tidak hadir.”

“Mereka juga butuh Ayahnya.”

Majdi terdiam.
Anak-anak Ahmadiyah di pengungsian ini, sungguh sesuatu.
Perannya sebagai Ayah tersentak di sini.

Dalam hati Majdi sebut nama anaknya.
“Rafa dan Dava,
maafkan Ayahmu.”

“Tak banyak Ayah habiskan waktu bersamamu.
Tapi Ayah sungguh mencintaimu.”

Majdi meminta ijin ketua RT.
Ia ingin memanjat pohon mangga itu.
Akan dipetik Majdi dua buah mangga, untuk dua anaknya.

Akan ia katakan pada anaknya.
“Ini bukan dari supermarket.
Ayahmu memanjatnya sendiri.
Dari pohon aslinya, di kota Mataram.”

Sepulangnya dari Transito,
Majdi ingin memeluk dua anak-anaknya.
Ingin memeluknya dalam sekali.
Sangat dalam. ***

Agustus 2022

CATATAN

1. Ekspresi komunitas Ahmadiyah itu dituliskan oleh Djohan Effendi

http://theahmadiyya.blogspot.com/2011/09/surat-djohan-effendi-untuk-petinggi.html?m=1

2. Fatwa MUI soal Ahmadiyah tahun 2005 https://news.detik.com/berita/d-412058/mui-kembali-fatwakan-ahmadiyah-sebagai-aliran-sesat

3. SKB 3 menteri No 3 Tahun 2008 soal Ahmadiyah

SKB 3 Menteri No. 3 Tahun 2008

-000-

Puisi Esai Mini ini bagian dari buku “JERITAN SETELAH KEBEBASAN” yang segera terbit (Denny JA, 2022).

Ini kumpulan kisah konflik primordial di Era Reformasi: Konflik agama di Maluku (1991-2002), Konflik suku Dayak versus Madura di Sampit (2001), Konflik Ahmadiyah di Mataram (2002-2017), Konflik Rasial di Jakarta (Mei 1998), dan konflik pendatang Bali dan penduduk asli di Lampung (2012).  (Release.sarinah)