Konflik Suku Dayak dan Madura di Sampit (2001) dalam Puisi Esai Denny JA
KONFLIK DAYAK – MADURA & AL- A’RAF 176
By Hatim Gazali
(Dua film dari puisi esai Denny JA pernah saya gunakan di kampus untuk mata kuliah Humanistic Studies)
Membaca buku “Jeritan Setelah Kebebasan” karya Denny JA ini menyedot 2 energi besar sekaligus: emosional dan intelektual.
Denny JA menamainya “puisi esai”. Ia tak sepenuhnya puisi, juga tak sepenuhnya esai, seperti al-manzilu bayna manzilatayn. Di dalamnya berisi data-data penting, mulai dari waktu kejadian sebuah peristiwa, jumlah korban kekerasan, setting sosial saat itu. Semuanya dibungkus dengan diksi apik ala puisi.
Karenanya Denny di pengantarnya menulis “bahwa setting sosial dalam puisi esai itu memang fakta yang terjadi di panggung sejarah. Tapi drama dalam setting faktual itu semata tambahan imajinasi”.
Dampaknya, membaca karya Denny JA sungguh menggetarkan; emosional yang berdasar pada data. Dengan cara yang demikian ini, buku puisi esai Denny JA bukan hanya dapat dirasakan oleh para penikmat karya sastra, namun–seperti yang dikatakan Denny–“yang bukan penyair diundang untuk ambil bagian”.
Dari Denny kita semakin percaya, bahwa puisi bukan hanya tentang kata dan kalimat, tapi juga menghadirkan pesan penting untuk kemanusiaan, karenanya ia memiliki kekuatan besar.
Sesungguhnya, “Jeritan Setelah Kebebasan” ini bukan karya pertama puisi esai Denny JA. Sebelumnya, pada tahun 2012, ia memproduksi puisi esai dengan judul “Atas Nama Cinta”, dalam bentuk buku dan film.
Dua dari film “Atas Nama Cinta” tersebut saya gunakan untuk mengajar di kampus untuk mata kuliah “Humanistic Studies”.
Yang pertama “Sapu Tangan Fang Yin” yang memotret kekerasan kepada etnis Tionghoa pada peristiwa Mei 98.
Kedua, “Minah tetap Dipancung” yang menyuguhkan nasib hukuman pancung terhadap Tenaga Kerja Wanita padahal ia adalah korban.
Buku puisi esai Denny JA, Jeritan Setelah Kebebasan, ini merekam 25 kasus konflik primordial pasca reformasi melalui 25 kisah drama fiksi.
Dari 25 kasus tersebut, Denny mendata lima kasus terburuk yang dipilih berdasarkan indikator korban yang tewas, luas konflik yang terjadi, lama konflik, kerugian materi, dan frekuensi berita.
Salah satu dari lima konflik tersebut adalah kerusuhan Sampit tahun 2001 yang melibatkan suku Dayak dan Madura.
Denny menamai babnya dengan Kerusuhan Sampit 2001, Suku Dayak Versus Madura. Di dalamnya memuat lima judul: “Mengungsilah dulu, sayangku”, “Ayahku Menggali kuburan Massal”, “Kakakku Berburu Kepala”, “Jika Kau Rindu, Pandanglah Bintang Paling Terang”, “Ulfah Mencari Ayah Kandung”.
Jika Anda membaca kelima bab tersebut, konflik Dayak-Madura di Sampit yang terjadi 21 tahun yang lalu seakan terjadi baru kemarin; bau anyir darah manusia masih tercium jelas, ratusan kepala suku Madura yang ditebas suku Dayak masih tampak berserakan di jalan-jalan, isak tangis anak yang kehilangan orang tua dan orang tua kehilangan anak masih terdengar.
Melalui puisi esai ini, Denny JA berhasil merecall memori 21 tahun ini dengan sangat detail. Luka batin kembali menganga. Perpisahan dua kekasih yang diberi nama Jazil (Madura) dan Sanja (Dayak), bukan fiktif belaka. Peristiwa itu benar terjadi, dan tidak hanya menimpa satu-dua orang.
Saat Denny menyebut Panglima Burung, pemimpin spiritual Dayak, saya kembali teringat cerita teman-teman saya: suku Madura yang tinggal di Pulau Kalimantan, khususnya Sampit.
Digambarkan Panglima Burung adalah sosok yang demikian sakti, tak terlihat mata, namun mampu melepaskan kepala dari tubuh dalam sekejap.
Denny benar-benar cukup cerdik. Agar puisi esainya tak diyakini sebagai karya ilmiah, ia mengawali dengan kalimat “Teks di WA japri itu singkat saja” pada bab “Kakakku Berburu Kepala”. Padahal Denny tahu bahwa WA (atau Whatsapp) itu baru ada tahun 2009, delapan tahun setelah peristiwa Sampit itu.
Dengan cara sederhana tapi cerdik ini, pembaca kembali tersadar bahwa yang dibacanya adalah puisi esai, bukan laporan investigasi.
Hutang kepada sejarah
Mendekati akhir bab kelima dari drama kisah Dayak-Madura yang dikisahkan Denny ini, saya tetiba teringat satu ayat penting dalam al-Qur’an, tepatnya surat al-A’raf ayat 176. Bunyinya demikian: “Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir”.
Benar saja, kisah drama konflik Dayak-Madura yang terjadi 21 tahun silam yang diceritakan Denny dalam buku ini tak hanya membuka luka batin. Sejurus kemudian, kisah-kisah tersebut membuat kita berpikir ihwal pelajaran apa yang dapat kita petik dari peristiwa tersebut.
Konflik-perang, apa pun motifnya pasti menyisakan luka bagi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Tugas kita saat ini tak cukup hanya mengutuk peristiwa kelam masa lalu. Darah konflik itu biarkan ikut terkubur bersama jasad korban.
Generasi penerus tak boleh merawat permusuhan dan konflik generasi sebelumnya. Tujuannya, agar kita mampu menghentikan siklus kekerasan, dendam dan permusuhan, saat ini dan masa mendatang.
Selanjutnya, kita bangun harmoni antar sesama; apa pun suku, etnis, dan agamanya.
Kiranya, kisah drama yang ditulis oleh Denny JA cukup menjadi pelajaran penting agar kita tak terjerembab ke dalam kubangan konflik primordial serupa.
“Keledai saja tak jatuh di lubang sama untuk kedua kalinya”. Demikian juga kita sebagai makhluk Tuhan yang dikaruniai akal dan nurani untuk menjadi bijaksana, tak boleh mengulang permusuhan, konflik dan pertumpahan darah.
Membunuh satu jiwa sama dengan membunuh manusia seluruhnya, demikian firman Allah dalam surat al-Maidah: 32. []
–0–
Hatim Gazali. Peneliti, pengajar, dan penulis. Dalam dunia akademik, Hatim adalah peneliti Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) dan pengajar di Universitas Sampoerna.
-000-
– Buku Puisi Esai Denny JA mengenai 25 drama kisah konflik primordial di 5 wilayah dalam bahasa Inggris dapat diklik di sini: SCREAMS FOLLOWING LIBERATION (2022)
https://www.puisiesai.com/wp-content/uploads/2022/11/Screams-Following-Liberation_compressed.pdf
Release, sarinah (6/12/2022)