Jakarta, Sarinah News, Tulisan pendek ini diambil dari WAG, July 13, 2023. Dan tulisan opini Iyyas Subiyakto yang akrab dipanggil ‘Biakto’ kami tulis kembali dengan sedikit editing dan tidak mengurang substansinya.
Saya (Biakto) lahir di era tahun 50an. Agama saya, agama keturunan, Islam. Saat sadar beragama pada usia masuk SD saya mulai dikenalkan dengan pengajian iqra’, kemudian sekolah di madrasah hanya sampai kelas 3, kemudian sekolahnya bubar.
Kehidupan kami sebagai Islam abangan di Sumatera tidak terlalu ketat beragama, light saja. Kami membaur dengan penganut agama lain dan tidak pernah risih apalagi terganggu.
Penganut kristen membangun gereja mudah saja. Ada tanah izin kepala desa berdiri. Apalagi membangun mushola, malah Keluarga umat kristen ikut gotong royong dan bercengkrama.
Melewati masa muda saya juga hanya shalat Jum’at rutin, shalat Fardu seingatnya, tanpa beban agama dijalankan. Kerjaan halal haram tak terekam. Mungkin saat itu nyaris tak mengenal tuhan sampai usia 40-50an.
Kesadaran menjalankan agama khususnya shalat fardhu mulai teratur setelah kami bermukim di Jawa. Pengajian mulai rutin diikuti, kajian agama mulai dimengerti tapi saya tetap membaurkan antara taklit dan rasional. Karena sejatinya saya kritis dan tidak mau menelan dogma begitu saja. Ini masuk era tahun 90an.
Makin kemari, saya merasa makin kacau saja orang beragama, khususnya Islam. Sejak banyak ormas seperti HTI, FPI, LDII, dan aliran lainnya kok semuanya bicara hitam putih tentang surga neraka. Islam menjadi seolah memonopoli kavling surga bahkan sesama penganut Islam saling mengkafirkan.
Zaman SBY ada pula deklarasi khhilafah di GBK. Sejak itu makin brutal saja prilaku kaum surga.
Mereka sinis terhadap sesama penganut Islam yg tak sealiran. Apalagi terhadap penganut agama diluar Islam. Sisanya sampai sekarang masih terasa di beberapa spot wilayah dimana kaum non muslim terganggu ibadahnya.
Ada yang sulit membangun rumah ibadah, ada yang beribadah dirumah dibubarkan. Alasannya rumah bukan rumah ibadah, tapi membangun rumah ibadah dipersulit.
KALIAN INI SEBENARNYA MAU APA. SELOGAN RAHMATAN LIL ALAMIN DIGEMAKAN, KELAKUANNYA RAHMATAN LIL MUSLIMIN
Memahami ciptaan Tuhan yang beragama saja tak mampu, kalau Tuhan mau membuat seragam, sampean itu atau kita dibuat jadi tikus semua ya bisa.
Kalau mau Tuhan membuat Islam semua atau Kristen semua apa susahnya. Tapi kan Tuhan membuat perbedaan untuk mengajari kita sadar akan kebesarannya. Bahkan di lahan yang sama ada tumbuh ragam pohon buah. Itu karunia Tuhan untuk hambanya. Kok mau menolaknya.
Sifat ambigu kita kadang jadi mengabaikan Tuhan. Seolah Tuhan kita beda dengan Tuhan penganut Hindu, Budha, Kristen, dan seterusnya. Wong yang menghadirkan semangka itu Tuhan yang sama.
Bagaimana kita kok bisa mengklaim Tuhan kita berbeda. Kalau cara menyapa Tuhan gak sama ya memang banget juklaknya. Kan malah harmoninya terasa ada masjid, gereja, vihara, pura, dan seterusnya.
Saya masih ingat apa yang disampaikan Prof. Quraisy Shihab. Kalau menuju Tuhan angkanya 10. Anda bisa pakai 9+1, 8+2, 7+3, dan seterusnya. Jadi jangan ada klaim kalau tidak 5+5 bukan sepuluh, atau gak nyampai ke Allah. Picik sampean. Tuhan itu maha dan luas, jadi jangan di persempit dengan pemahaman terbatas anda.
Kita kaum muslimin cenderung puritan maaf kalau saya salah. Tapi dari penerima hadiah Nobel saja sudah bisa terlihat parameternya yang bisa di jadikan indikator.
Nobel adalah penghargaan keilmuan yg mempunyai kontribusi atas kemanusiaan, tanpa temuan keilmuan dunia akan terhenti, tidak ada penerangan, tidak ada obat, tidak ada mobil, pesawat, teknologi yang sekarang sudah pada tahap era AI (artificial Inteligence) yang konon kemampuan computer akan melebihi otak manusia.
Penerima Nobel dalam katagori penganut agama. Kristen, Katholik 62%, Yahudi 22%, Islam 0,8%, Budha 0,7%, Hindu 0,7%. Sisanya agama lainnya.
Jadi kalau dilihat kontribusi kemanfaatan sebagai manusia, maka Kristen dan Yahudi yang bermanfaat sebagai manusia sebesar 88%.
Ini yang dikatakan nabi Muhammad. Sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat kepada manusia lainnya. Lha terus kita dimana, islammu kemana, akhlakmu gimana.
Ada tulisan WAG yang membahas kerusuhan Paris. Sekarang Perancis adalah negara yang terbesar menerima imigran dari Timur Tengah. Jumlahnya mencapai 9% dari populasi Perancis. Kemarin ribut gegara ada anak muda turunan Aljazair yg di tembak polisi karena di-stop dia tidak berhenti.
Sampai ada analisa apakah ini inti beragamanya, maksudnya Islam. Trauma ini merembet kepada kekhawatiran bahwa di Timteng sendiri sesama bangsa mereka satu jazirah pecah menjadi 17 negara. Apa pola ini yang mau di tularkan ke negara orang lain yang menampungnya. Absurd !!!
Mungkin ada yang salah dengan pemahaman dan metode pengajaran agama ini. Sekarang saja yang terlihat ketertinggalan dan ngamuk’an, mutungan, angopan.
Saat ini secara pararel Tiongkok sedang melahap dunia teknologi dan industri. Mereka sudah trial G6. Kita G4 saja BTSnya di telan.
Siapa yang bisa menghalangi Tiongkok. Amerika saja sudah sesak nafas. Tau apa agama, apa yang mayoritas di Tiongkok, Kong Hu Chu, Cuk !.
Kita lihat hadiah Nobel 20 tahun kedepan, mungkin akan terjadi pergeseran.
Islam ikut bangkit atau makin kejepit. Bakal jadi sendal jepit, lu pada tau ya, fungsi sendal jepit.
Gelombang Wahabi yang menerapkan puritanisme atau pemurnian Islam kembali ke abad awal kelahiran Islam bertolak belakang dengan Islam itu sendiri yang menyandang nama agama rahmatan Lil alamin.
Bagaimana bisa di klaim rahmatan Lil alamin, kalau perkembangan peradaban Islam tidak berkontribusi sama sekali. Sebagai penikmat pun kadang mengupat. Semua dijadikan bid’an sekaligus di sungkah.
Kalau kita menyoroti apa yang terjadi di Indonesia jujur sudah pada tahap mengkhawatirkan.
Isu khilafah, via HTI dan FPI. Bahkan PKS pada awal kehadirannya sebagai partai yang memakai ideologi Islam tidak mau mengakui Pancasila.
Bagaimana otak piciknya dijalankan. Lahir di Indonesia, makan berak disini, enak saja mereka mau mengganti ideologi. Go to hell with you.
Kaum munafikun ini harus di gerus, karena agama hanya di jadikan kedok. Sudah kelihatan prilakunya. Ngaji one day one Juzz, tapi nyusu Cendana.
Saya sebagai penganut Islam sudah lama merasakan ada yang gak bener dalam kajian atau penerapan keberagamaannya.
Ini perlu kajian yang lebih indeep dan konferhensif. Sehingga kehadiran seorang Islam minimal bermanfaat untuk tetangganya atau pada radius 40 rumah. Gak perlu ngirim donasi ke Palestina.
Ngerti ya, dah gitu aja. Jangan jadi Fake Religion.
By. Iyyas Subiakto
Editor : sarinahnews
Jakarta, July 13, 2023
Biografi Iyyas Subiakto
Nama lahir: lyyas Subiakto
Nama Panggilan: Biakto
Tanggal Lahir: 9 Desember 1955
Umur: 67 Tahun
Asal: Kampung Persiakan, Kota Tebing Tinggi, Sumatera Utara
Kewarganegaraan: Indonesia
Profesi: Pengamat politik, Pebisnis
Agama: Islam
Status: Menikah (23 Maret 1987)
Nama Istri: Lia Subiakto
Anak: 3 Cucu: 2