PEMULUNG ITU SEORANG DOKTOR

PEMULUNG ITU SEORANG DOKTOR

Mereka Yang Terbuang di Tahun 60-an (2)

PEMULUNG ITU SEORANG DOKTOR
By Denny JA

 

(Akibat gejolak politik tahun 1960-an, ia hanya bisa mencari nafkah sebagai pemulung. Padahal ia seorang doktor, ekonom lulusan Rusia.)

-000-

“Hidupku buku yang koyak.
Setiap lembar penuh luka,”
kata Wira.

Ia doktor ekonomi,
lulusan universitas terkemuka di Rusia.
Kini menjadi pemulung sampah.
Apa daya.
Hanya itu yang tersedia. (1)

Lihatlah tangan Wira.
Dulu, tangan itu untuk menulis teori ilmu pengetahuan.

Kini, tangan yang sama mengais sisa-sisa makanan,
botol bekas, plastik,
di antara tumpukan kotoran.

Prahara politik menendangnya.
Keras sekali.
Menjerat lehernya.
Sakit sekali.

Ia sekejap berubah,
menjadi bukan siapa-siapa.
Bukan lagi cendekiawan.
Bukan pula elit terpelajar.

Tahun 1973,
ketika pulang dari Rusia,
ia datang dengan seribu kunang-kunang menyala di hati.
Di langit, dilihatnya pabrik,
sekolah, dan laboratorium tergantung-gantung,
menanti sentuhan tangannya.

Yang terjadi sebaliknya.
Ia langsung dijemput aparat.
Bandara ternyata bukan gerbang pulang,
tapi penjara tanpa jeruji.

Lantai dan atap bandara,
menggelantung banyak borgol besi, menjerat leher.

Tanpa pengadilan, tanpa bukti,
ia dituduh terlibat PKI.
Lima setengah tahun,
ia dikubur di balik jeruji.

Tak pernah ia pahami.
Mengapa ia dipenjara?
Apakah karena ia sekolah di Rusia?
Apakah ia adik seorang penulis kritis?

Ketika bebas,
dunia di luar sama kejam.
Ia doktor ekonomi,
lulusan negeri besar,
namun tak ada pekerjaan,
tak ada penerimaan.

Lapar ini butuh makanan.
Tak bisa ditunda.
Tapi yang ia temui hanya tudingan dan kecaman.

Ia menjadi pemulung,
berjalan di antara sudut-sudut kota.
Hanya tumpukan sampah yang ramah padanya.

Ia lihat lagi tangannya.
Dulu, tangan ini memegang pena,
kini memegang karung lusuh,
basah dan busuk.

Tahun 1980,
Wira bertemu kakaknya,
seorang penulis terkenal,
baru keluar dari penjara.

Bahkan kakak kandungnya sendiri,
tak mengenalinya.
“Kak, aku ini adikmu.
Ayahmu juga ayahku.”

Penampilannya yang lusuh,
wajahnya yang telah digerus waktu,
membuat kakaknya tak menyadari.

Wira hanya tersenyum pahit,
lalu pergi sebelum sempat mengucap salam.

Di akhir hidup,
Wira mendirikan perpustakaan kecil di Blora,
mengarsipkan novel karya kakaknya.

Langit di kota itu,
tak pernah lagi ramah padanya.

Kepada angin yang lewat,
Wira berharap.
“Ubah aku menjadi kata saja,
agar aku bisa bersembunyi di buku.”

 

Reposted: sarinahnews.com
Jakarta, 15 September 2024

CATATAN:
(1) Kisah ini terinspirasi dan dikembangkan dari kehidupan Susilo Toer, doktor ekonomi lulusan Rusia, adik penulis Pramoedya Ananta Toer.

[https://regional.kompas.com/read/2018/06/05/10033231/kisah-soesilo-toer-mengenang-pramoedya-ananta-toer-cinta-tanah-air-dan-islam?page=all](https://regional.kompas.com/read/2018/06/05/10033231/kisah-soesilo-toer-mengenang-pramoedya-ananta-toer-cinta-tanah-air-dan-islam?page=all)