PEREMPUAN ITU BELAJAR DI BAWAH CAHAYA KUNANG-KUNANG

PEREMPUAN ITU BELAJAR DI BAWAH CAHAYA KUNANG-KUNANG

Mereka Yang Terbuang di Tahun 60-an (9)

PEREMPUAN ITU BELAJAR DI BAWAH CAHAYA KUNANG-KUNANG

By Denny JA

 

(Di tahun 1960-an, Sartika dikirim sekolah ke Bulgaria. Prahara politik di dekade itu mengubah hidupnya)

-000-

 

Malam di Vietnam, 1963.
Suara ledakan menghantam langit,
tanah di bawah kaki Sartika dipenuhi darah hangat.
Arus sungai tumpah dari tubuh tak bernyawa.

Wajahnya memucat,
bertanya dalam diam—siapa pemilik darah ini?

Di antara pohon-pohon yang bisu,
ia melihat revolusi tak lagi berwujud kata,
tapi luka yang tak terhindarkan,
Peluru.
Bom.
Dinamit.
Darah.

Sartika duduk,
botol kecil berisi kunang-kunang di tangannya,
cahaya mereka bergetar,
melawan kegelapan malam yang menelan segala.

Di bawah nyala kunang- kunang,
ia membuka buku tentang revolusi,
namun kata-kata di sana mengalir menjadi sungai yang terpecah,
menggulung janji-janji yang kini terasa tak nyata.

Bagi Sartika,
revolusi kini bukan lagi mimpi di atas kertas,
itu adalah bara di nadi,
menghanguskan ketakutan,
memercikkan api keberanian di setiap langkah.

Agustus 1965.
Sartika kembali ke Jakarta,
revolusi makin berdenyut di dada.

Indonesia bersinar,
Pagi, Bung Karno adalah matahari.
Malam, Bung Karno bintang di langit.
Api Sartika mengambil bagian,

Revolusi kian memanggil.
Ia dikirim sekolah ke Bulgaria.
Tapi Bung Karno jatuh.
Badai topan berbelok.
Langit runtuh.

mimpi-mimpi kini berhamburan,
menjadi kaca, pecah tanpa suara.

Paspor Sartika dicabut,
Ia menjadi burung tanpa sarang,
melayang di atas tanah-tanah yang asing,
tak ada panggilan pulang.

-000-

Di Belanda,
di tanah asing yang dingin,
Sartika mulai merasakan perubahan.

Dulu, api revolusi adalah senjata api,
bom,
dinamit.

Debu pertempuran sudah mengendap,
Sartika merasakan bisikan lain,
bukan dentuman senjata,
bukan kilatan api.

Datang suara yang halus seperti angin,
membawa cerita dari jiwa-jiwa perempuan,
yang tertindas,
terkubur.

Ya, ya, kini menyala api lain,
lebih lembut,
tapi kuat.

Dilihatnya perempuan tersingkir.
Burung membawa wahyu kecil padanya.
kekuatan tidak hanya peluru.
Ledakan itu datang dari kata-kata,
yang ditenun dengan hati.

Kata bisa menghancurkan kebisuan yang telah lama menindas.

Feminisme menyentuh jiwa,
bangkitkan revolusi bentuk lain,
tak bakar tubuh,
tetapi bebaskan pikiran terpenjara.

Sartika dirikan jurnal,
menulis bukan untuk berbicara,
tapi untuk membelah sunyi,
dan merajut kembali sejarah yang melupakan mereka yang kalah.

Kini ia tahu,
perjuangannya bukan hanya untuk satu bangsa,
tapi untuk perempuan yang suaranya dibungkam,
mereka yang terbuang dari sejarah.

“Rumah tak lagi di tanah tempat kakiku berpijak,”
bisiknya, “tapi di setiap suara yang kubangkitkan.”

Ia menatap jauh ke depan,
melihat gema perempuan yang terlupakan,
suara-suara yang menunggu untuk dihidupkan kembali,
dari keheningan yang membelenggu.

Dan cahaya kunang-kunang,
yang dulu kecil dan rapuh,
kini menyala di jiwanya.

Ia semakin yakin.
Sejarah tak hanya ditulis dengan darah,
tapi juga dengan kata.***

 

 

Reposted: sarinahnews.com            Jakarta, 3 Oktober 2024

 

CATATAN:

Kisah ini adalah fiksi, terinspirasi dari kehidupan eksil politik Indonesia, dengan tambahan fiksi: Farida Ishaja, akibat prahara tahun 1960-an:

Secuil Kisah Eksil ’65 Farida Ishaja dan Aminah Idris Di Belanda, Diantaranya Keduanya Kemudian Aktif di Yayasan Dian – Organisasi Perempuan Indonesia di Belanda – Perpustakaan Online Genosida 1965-1966