SERIBU PAYUNG HITAM DAN SISANYA RINDU

SERIBU PAYUNG HITAM DAN SISANYA RINDU

SERIBU PAYUNG HITAM DAN SISANYA RINDU

(Film Layar Lebar Pertama Berdasarkan Puisi Esai)

BY Denny JA

Data itu datang dari riset PEW Research Center tahun 2012. Sebanyak 67 persen populasi menyenangi musik dan film.

Jika kita memiliki gagasan yang mencerahkan, dan ingin gagasan itu sebanyaknya menyentuh publik luas, maka sampaikanlah gagasan itu lewat musik dan film.

Bulan desember sejak tahun 2022 ini dicanangkan Komunitas Puisi Esai sebagai bulan puisi esai. Berbagai komunitas puisi esai dari Aceh hingga Papua di bulan Desember ini beramai- ramai menuliskan kesaksiannya mengenai masalah ketidak adilan, pelanggaran hak asasi manusia, melalui puisi esai.

Di bulan Desember 2022 ini juga, Studio Denny JA menanda tangani kerjasama (PKS) memproduksi film berdasarkan puisi esai. Hari Rabu 7 Desember 2022, Direktur Utama Produksi Film Negara, Dwi Heriyanto dan tim intinya bersama saya, Denny JA dan tim inti, menyusun rencana makro.

Bagus sekali jika PFN selaku wakil budaya dari pemerintah RI ikut menjadi fasilitator yang menumbuhkan inisiatif para kreator masyarakat melahirkan film yang mencerahkan.

Disepakati film kerjasama ini berjudul Seribu Payung Hitam dan Sisanya Rindu. Skenario film ini dikembangkan dari puisi esai Denny JA berjudul Kutunggu di Setiap Kamis.

Cerita asli puisi esai ini mengenai seorang perempuan muda yang menunggu suaminya yang hilang dalam peristiwa 1998. Suami menjanjikan pulang di hari kamis, entah kamis minggu ini, atau kamis sepuluh tahun lagi, ujarnya sambil bergurau.

Setiap kamis perempuan muda ini menunggu suaminya di stasiun kereta, berminggu, berbulan, hingga bertahun- tahun. Namun suaminya tak kunjung pulang.

Perempuan ini akhirnya pindah ke Jakarta. Ia bergabung dengan aksi kamisan dengan payung hitam, sesama warga yang kehilangan keluarganya masing- masing.

Skenario dalam film ini mengembangkan topiknya. Aksi kamisan dengan payung hitam ini tidak di Jakarta tapi di daerah lain yang terinspirasi oleh aksi kamisan di Jakarta.

Keluarga yang hilang dalam film ini juga bukan karena peristiwa politik. Tapi mereka hilang karena konflik sumber daya pertanahan, air dan lingkungan hidup.

Sebuah perusahaan multi nasional merebut tanah dan sumber daya alam rakyat banyak secara paksa. Mereka yang melawan banyak yang kemudian hilang, tak kunjung kembali.

Ini kisah gabungan antara isu lingkungan hidup, perjuangan perempuan dan kisah cinta.

Sudah banyak film layar lebar yang dibuat berdasarkan novel atau cerpen. Namun sangatlah jarang film dibuat berdasarkan puisi. Ini film layar lebar pertama yang dibuat berdasarkan puisi esai.

Kisah dalam puisi esai memang potensial untuk diangkat ke layar lebar. Dibandingkan dengan puisi biasa, puisi esai ini memang mengembangkan drama fiksi dengan karakter tokoh, dan plot, yang dituliskan secara puitis.

Kisah dalam puisi esai pun selalu berdasarkan peristiwa sebenarnya yang difiksikan. Dengan sendirinya publik luas menyimpan memori kolektif tentang isu yang diangkat dalam puisi esai.

Di tahun 2012, Hanung Bramantyo membuat lima film berdasarkan lima puisi esai saya. Namun saat itu, film yang dibuat berdurasi 45 menit untuk tujuan sosialisasi gerakan Indonesia Tanpa Diskriminasi.

Lima film itu bukan untuk layar lebar di bioskop. Para dosen acapkali memutarkan film itu untuk kelas humanity studies. Para aktivis memutarkan film itu sebagai awal diskusi isu diskriminasi di Indonesia.

Kini Seribu Payung Hitam dan Sisanya Rindu dibuat memang untuk film layar lebar yang akan diputar di bioskop komersial. Ia membuka pintu bagi puisi esai lainnya untuk juga diangkat ke layar lebar.

Film ini dalam rencana akan diikutkan dalam festival di dalam dan luar negeri.***

Release, Jumat, (9/12/2022), sarinah