MALANG | SARINAH NEWS || – Pagi itu sengaja saya bawa sepeda Mio-Yamaha keluaran tahun 2009-an. Bagi saya masih sangat mahal ukuran kantongku.
Di pinggir sawah, menatap air mengalir melewati celah pematang sawah, dan terhampar hijaunya dedaunan. Mataku terasa segar.
HP Androidku seolah lebih setia daripada istriku menemaniku kemana saja aku pergi, kecuali ke kamar mandi.
Kubuka WAG, bosan. Kugeser ke Tiktok, Snacks Vidio, kugeser lagi pada berita-berita updated hari ini, Kamis, (13/6/2024). Khususnya TAPERA (Tabungan Perumahan Rakyat).
Setelah melihat Tiktokers dengan tingkahnya yang lucu dan menggemaskan. Sepetnya mataku ketika melihat politikus tiktoker ngomong politik bahwa TAPERA seolah adalah product PDIP gagal.
Dalam hati saya ngoceh, wong iki ngomong opo sih! Ngomong pating pecotot. Merasa paling nasionalis dan paling pinter. Jangan-jangan orang ini product nasionalis gagal. Misalkan diberi kekuasaan, entar korupsi! Parah!
Akhirnya kuberanikan diri untuk menulis apa sebenarnya yang terjadi pada program Tapera pemerintah ini.
Program pemerintah, Tapera ini bukankah baru disahkan menjadi undang-undang (UU) pada tahun 2016 periode pertama regime Jokowi memimpin?!
Bukankah untuk menjadikan UU itu sudah digidog oleh 10 fraksi partai politik di parlemen sana?! UU Tapera product pemerintah dan DPR.
Emange DPR di Senayan itu isinya hanya PDIP saja? Golkar gak ada gitu? Ini wong Golkar bisa tersinggung lo! Ngomong po kemuh orang itu!
Setiap program kerakyatan yang menyangkut hajat hidup orang banyak itu selalu menegalami proses yang panjang. Gak ujug-ujug jadi, lalu diekskusi dan rakyatnya mau gak mau harus menerima.
Ndak begitu wak bro! Setelah UU dibuat, masih disosialisasikan dan banyak dibicarakan dengan masyarakat, kelompok-kelompok akademisi dan para ahli.
Dibutuhkan banyak kajian. Hingga dibuatkan peraturan pemerintah sesuai dengan masukan dari rakyatnya, baru diekskusi berdasarkan UU yang dibuat bersama DPR.
Finally, saya temukan artikel berdasarkan para pengamat kebijakan publik disampaikan dengan detail dan gamblang.
Beda dengan politikus warung kopi sok merasa paling pinter dan paling bener. Celakanya lagi merasa paling nasionalis.
Seolah dirinya ist uber allest!
Kembali soal Tapera. Beberapa poin menjadi pertanyaan mendasar agar pemerintahan Jokowi yang terkesan bernafsu untuk menjalankan programnya sebelum purna tugas.
Beberapa orang pengamat kebijakan publik mengatakan bahwa Tapera belum ada peraturan baku.
Apa cukup dengan PP Nomor 21 Tahun
2024 saja, tanpa memberikan peraturan cara mainnya? Apa bener PP No. 21. 2024 itu benar-benar penjabaran dari UU Tapera tahun 2016?
Rakyat harus diberikan penjelasan atau sosialisasi sampek program itu bener-bener difahami, bahwa Tapera itu binatang apa? Bentuknya seperti apa? Bagaimana cara membayar iurannya? Lokasi rumahnya di mana? Kapan rumahnya bisa ditempati? Kalau meninggal, bagaimana sifat tabungan atau iuran tersebut?
Apa tatacara itu semua sudah ada? Kayaknya belum ada sama sekali. Pantaslah reaksi masarakat menolak dan ribut. Kenapa? Ya karena gaji kecil, makan gak kenyang, gaji dipotong 3%. Tanpa babibu!
Pemerintah harus buat tatacara atau sekema secara detail dan sosialisasikan seperti Program BPJS dulu. Jangan malu tuk menyerap aspirasi masyarakat.
BPJS sebelum ditrapkan, ia disosialisasikan dulu hingga beberapa tahun. Saya terlibat itu! Ngalamali sendiri! Gitu aja masih ada lo anggota dewan dengan gobloknya mengatakan program BPJS itu progam penipuan.
Itu pun, BPJS masih banyak kendala di sana-sini. Masih perlu proses panjang penyempurnaan dalam perjalanannya hingga sekarang.
Tapera janganlah jadi program pengerukan uang rakyat tanpa ada kejelasan seperti kasus Taspen, Asabri dan Jiwasraya. Uang iuran rakyat dinikmati oleh para birokrat brengsek! Apa itu revolusi mental ala regime sekarang?
Kalau kita amati, peraturan pemerintah regime now ini terkesan sangat dipaksakan sebelum purna.
Tabungan atau iuran Tapera ini cocok buat CPNS, PNS/ASN, TNI dan POLRI. Potong aja gaji mereka. Berikan rumahnya sesuai alamatnya.
Kenapa? Karena masih banyak anak PNS yang belum punya rumah. Kasihan kan?
Buruh pabrik dan rakyat kecil dengan UMR kecil jangan dijadikan sapi perahan korban bayar utang negara yang hampir 8.000 trilyun.
Apakah Non-PNS gak boleh? Ya tentu saja sangat diharapkan oleh rakyat kecil. Tapi cara mainnya harus jelas. Uang rakyat jangan dipermainkan!
Contoh kecil, ketika rakyat tak mampu bayar, jangankan buat iuran, buat makan saja susah, tapi mereka punya tanah yang tak mampu dibangun sebuah rumah kecil. Apa yang akan pemerintah lakukan? Bisakah dengan uang iuran atau tabungan Tapera sebagai solusi membangun rumah sederhana? Gimana merumuskannya?
Perusahaan mana yang mau jadi sapi perahan? Lama-lama investor lari dari negeri ini, karena banyaknya iuran yang dibebankan pada investor. Perusahaan tambang malah cuci tangan. Kayaknya angel tagihan pajak’e. Hehehe geli aku.
Kayaknya masih ada Peraturan Pemerintah yang bersifat glondongan. Belum ada peraturan yang terinci. Gitu kok langsung ngegas! Kayaknya rakyat dianggab bodoh.
Melihat kondisi seperti ini, wajarlah apabila ada gelombang penolakan dari masyarakat
soal iuran Tapera.
Rakyat curiga masak salah?! Apa uang iuran buat biaya IKN yang belum ada investornya?
Apa jadi tambal utang negara? Atau apa?!
Prinsipnya kepercayaan rakyat sudah mulai kendor, karena banyaknya pejabat negara mentalnya korup!
Dan, hak atas uang rakyat kecil harus jelas. Jangan lahan tidak ada, dibangun rusunawa karena penduduk di dalam kota kemudian para pejabatnya rame-rame minta jatah atas nama Si A dan Si B. Ah! Jatah proyek!
Kalau memang Tapera itu tabungan perumahan untuk rakyat kecil, yang kaya jangan ikut-ikutan beli untuk selingkuhannya! Brengsek itu namanya!
Saya baca di Kompas.id, bahwa Tapera diatur dalam peraturan Pemerintah (PP) No. 21 Tahun 2024. Tapera adalah program tabungan rakyat untuk menghimpun dan menyediakan dana murah dalam jangka waktu yang panjang dan berkelanjutan untuk mendapatkan pembiayaan rumah layak huni.
Tepatnya, Tapera diberikan tugas untuk
menyalurkan pembiayaan rumah
berbasis simpanan dengan prinsip
gotong royong.
Mari kita perhatikan setelah PP Nomor 21 Tahun 2024 diteken, dan menyatakan bahwa pekerja dan pekerja mandiri diwajibkan untuk mengikuti dan menyetorkan iuran Tapera yang dipotong 3% dari gajinya.
Selanjutnya, Pasal 15 ayat (1) dan (2), menyatakan bahwa pekerja akan menanggung 2,5% iuran Tapera, sementara 0,5% ditanggung oleh perusahaan atau pemberi kerja.
Sementara pekerja mandiri diwajibkan
nembayar penuh 3% iuran Tapera
dari penghasilannya.
Siap-siap UMKM baru bernafas langsung ngegas dipotong 3% dari pendapatannya. Lo lo lo…. Abis lumpuh kena covid, terus ambeyen kena pajak.
Ah! Gak abis pikir aku! Apa bener ibu melahirkan kena pajak? Mikir iuran Tapera belum kelar harus bayar pajak melahirkan. Pengantin muda yang belum punya uang jangan hamil. Bahaya pajak menunggu.
Silahkan program Tapera dijalankan! Kami hanya butuh kejelasan dan cara mainnya saja yang jelas!
Kami tidak mau seperti kasus Taspen, Asabri dan Jiwas Raya yang gak jelas! Janganlah Tapera justru menguntungkan para pengelolah dan keluargannya saja!
Emange uang rakyat untuk memakmurkan mereka?! Kami butuh rumah, gak butuh melihat mereka tertawa terbahak-bahak menikmati uang kami.
Kami gak ikhlas! Jangan sampai rumah tidak ada, hanya bekupon omahe doro yang kami dapat!
Jare Cak Durasim, “Bekupon Omahe Doro, Melok Nippon Tambah Soro!”
Dengan Tuhan saja kalian gak takut, bahkan kalian bohongi, apalagi dengan kami wong cilik.
Tak terasa, sudah 2 jam saya duduk di tepi sawah milik warga Kecamatan Wagir Kabupaten Malang. Saya harus cepat pulang. Isteriku pasti menunggu. ***)
Posted: sarinahnews.com
Malang, June 13, 2024
Artikel ini ditulis oleh John K, dengan judul, “Tapera: Madu Po Racun, Omah Po Bekupon?!”